Playing Victim

1177 Kata
Emosi masih menyelimuti pikiran Alehandro setelah pertengkarannya dengan Zelaza. Dia merasakan sesal. Dan dia mengakui bahwa dia sudah melukai Zelaza, dan juga seorang pengecut. Tapi dia begitu kecewa karena Zelaza begitu keras dan tak mau memaafkan dirinya. Dengan langkah berat, dia memutuskan untuk mencari Zelaza lagi. Dia ingin memohon lagi karena dia yakin bahwa Zelaza tak bisa secepat itu berpaling dari cintanya. Ia harus terus meminta maaf, menariknya dalam pelukannya, dan berjanji akan setia selalu untuknya. Alehandro berjalan menyusuri pantai, matanya mencari setiap sosok perempuan yang mungkin sedang duduk sendirian dan menangis. “Di mana dia?” gumamnya berbisik. Setelah berputar-putar di pantai tanpa hasil, Alehandro memutuskan untuk menelusuri area resort. Mungkin Zelaza ada di kolam renang, atau di lobby, atau di cafe kecil di ujung taman. Resort itu luas, sebuah kompleks mewah dengan taman tropis yang rimbun, kolam air terjun, dan gazebo-gazebo minimalis. Alehandro berjalan tanpa arah yang jelas, masih berharap bisa bicara pada Zelaza lagi. Hingga akhirnya, di sudut yang paling sepi, di sebuah jalan setapak kecil yang memisahkan resort dengan pantai pribadi, matanya menangkap sebuah pemandangan yang membuat darahnya membeku dan kemudian mendidih dalam sekejap. Zelaza di depannya bersama seorang pria yang tak dikenal Alehandro. Pria itu memiliki banyak tato di tubuhnya dan terlihat jelas karena tak bertelanjang d**a. Dan yang membuat napas Alehandro tercekat bukan hanya kehadiran pria itu, tetapi apa yang mereka lakukan. Mereka berpelukan. Bukan pelukan biasa. Ini pelukan yang erat, intim, seperti mereka sudah mengenal lama. Pria itu memeluk erat tubuh Zelaza hingga wajahnya hampir terkubur di lehernya, sementara tangan Zelaza memeluk punggung pria itu, jari-jemarinya mencengkeram punggung Donzello seolah takut kehilangan. ‘Jadi ini alasan yang sebenarnya? Dia juga berhianat, karena tak mungkin mereka baru saling mengenal setelah kami putus,’ bisik suara jahat di kepala Alehandro, suara yang selalu curiga dan melukai harga dirinya. Ini selingkuhan yang sebenarnya. Inilah yang disembunyikan Zelaza. Begitulah yang ada di kepala Alehandro saat ini. Penyesalannya tadi menguap, digantikan debgan rasa marah yang membara dan penghianatan. Dengan langkah cepat dan penuh amarah, dia mendekati mereka seperti badai yang siap mengamuk. “Zelaza!” teriaknya, suaranya serak dan penuh kemarahan, memecah keheningan sudut taman yang sepi. Zelaza terkejut, memisahkan pelukan mereka dengan cepat, namun Donzello masih tenang, bahkan terlihat terlalu tenang. Wajah Zelaza pucat, matanya masih bengkak dan merah, karena baru saja menangis. Tapi bagi Alehandro, itu adalah bukti rasa bersalah. “Kau?” Zelaza berbisik, terkejut. “Apa lagi? Kita sudah—“ “Apa yang kau lakukan dengannya?” Alehandro memotong ucapan Zelaza dan mendekat, wajahnya begitu marah karena merasa Zelaza telah mengoyak harga dirinya. Jaraknya kini hanya berjarak beberapa inci darinya. Suaranya meninggi, penuh tuduhan. “Aku mencarimu sejak tadi. Aku dipenuhi rasa sesal dan bersalah yang begitu besar. Dan ternyata … ternyata kau di sini! Berpelukan mesra dengan … dengan selingkuhanmu! Ck ck ck … sebuah drama yang bagus. Kau membuatku buruk di depan media, padahal kau—“ “Kau pikir aku sepertimu?” suara Zelaza mulai bergetar karena sangat marah, malu pada Donzello, dan frustrasi. Air mata barunya mulai menggenang. Tapi Alehandro sudah terlalu jauh tenggelam dalam pikirannya sendiri. Kebenaran sudah tak terdengar di telinganya yang kini dipenuhi perasaan cemburu butanya. “Kau sama buruknya! Kau bersembunyi di balik topeng polosmu. Kau berbohong, kau berselingkuh, dan kau memanfaatkanku! Aku yang menjadi korban di sini! Karirku mulai goyang karena—“ “Kau menyalahkanku? Oh God … kau gila, hah?” teriak Zelaza. Donzello sejak tadi diam, hanya mengamati dengan tenang. Sorot matanya tajam, menganalisis, tetapi sama sekali tak terpancing dengan ucapan Alehandro. Ia tidak berkata apa-apa, hanya memberinya ruang pada sepasang mantan kekasih yang sedang berseteru. “Kau playing victim, Alehandro!” tangis Zelaza, sekarang air matanya mengalir deras. “Kau b******k!!” “What? Kau juga brengseek, Zelaza! Kau pikir sekarang aku percaya bahwa kau perawan? Come on … aku terlalu bodoh mempercayaimu. Kau tak mungkin tak melakukannya dengan pria ini!” Alehandro menuding tajam ke arah Donzello, yang akhirnya bereaksi. Alis Donzello berkerut, tetapi dia masih diam, napasnya teratur. “Diam, Alehandro! Kau tidak tahu apa-apa dan jangan membuatku malu!” bentak Zelaza, suaranya memperlihatkan betapa hancur hatinya saat ini. “Apakah ayahmu tahu bahwa anak gadis kesayangannya ini ternyata sama dengan ibunya? Sama-sama murahan!” Zelaza menghela napas ketika mendengar kata-kata kejam itu. Kata-kata penghinaan untuk mendiang ibunya. Hingga akhirnya, setelah Alehandro mengucapkan kata-kata yang tak bisa ditarik kembali, “Kau tak berbeda jauh dengannya, Zelaza! Seorang pengkhianat yang pantas untuk dibuang! Seperti ibumu!” Donzello bergerak. Gerakannya tenang namun tegas. Ia melangkah maju, menempatkan dirinya di antara Alehandro dan Zelaza yang nyaris roboh. Ia meletakkan tangannya perlahan di bahu Zelaza, menariknya ke belakang dengan protektif. Akhirnya, dia berbicara. Suaranya rendah, dalam, dan sangat tenang, justru kontras dengan amukan Alehandro. “Cukup,” katanya, singkat. Tatapannya sekarang tertuju penuh pada Alehandro, dingin dan tajam. “Kau sudah mengatakan cukup banyak hal yang sangat bodoh.” Alehandro, terkejut dengan balasan itu, dan justru kemarahannya semakin menjadi. “Kau bukan apa-apa dibanding aku, Brengsekk!” Donzello tak terpancing sama sekali. Pria itu hanya menghela napas panjang, melihat betapa bodohnya pria di depannya. “Pergilah. Sekarang. Sebelum kau mempermalukan dirimu lebih jauh.” Tapi Alehandro sudah kehilangan kontrol. Penolakan itu memicu amarah yang lebih dalam kagi. Ia merasa dikalahkan, dipermalukan. Tanpa peringatan, didorong oleh rasa marahnya yang besar, Alehandro mengayunkan tinjunya. Sebuah pukulan ceroboh dan emosional yang ditujukan ke arah wajah Donzello. Tapi Donzello tidaklah seperti Alehandro. Tenaganya bukan dari emosi, tapi dari ketenangan. Sebelum tinju itu sampai, tangannya sudah bergerak. Dengan gerakan refleks yang cepat dan terlatih sebagai seorang mafia, da menangkis pukulan Alehandro dengan mudah. Dan kemudian, datanglah balasannya. Itu bukan pukulan yang emosional. Itu adalah pukulan yang tenang tapi mematikan. Sebuah pukulan yang dilatih ribuan kali. Donzello tidak mengayun. Hanya sebuah gerakan pendek dan cepat dari bahu dan tangannya yang mustahil dihindari oleh Alehandro. BUG! Suara itu tak kerasc tapi bergema di heningnya malam. Tinju Donzello mendarat sempurna di hidung Alehandro. Tepat di batang hidung, titik yang paling rapuh. Tidak ada drama. Tidak ada jeritan. Alehandro bahkan tidak sempat mengerang. Matanya membelalak, menatap kosong, mencoba mencerna apa yang terjadi pada pukulan itu. Rasanya seperti ditabrak palu godam. Matanya berputar dan kemarahan di matanta padam seketika. Lututnya tertekuk, dan tubuhnya yang menjadi asetnya itu roboh ke atas rumput hijau seperti sebuah pohon yang ditebang. Tumbang. Dan kini tak bergerak sama sekali. * * Hening. Zelaza menjerit kecil, tangannya menutup mulutnya yang otomatis terbuka ketika melihat adegan itu. Donzello masih berdiri di tempatnya, napasnya teratur dan sama sekali tak menunjukkan emosi di sana. Tangannya masih dalam posisi meninju, namun mata tajamnya melihat Alehandro dengan ekspresi datar. Tak ada kepuasan di wajah Donzello, dan tak ada penyesalan. Darah mulai mengalir dari hidung Alehandro yang jelas sudah patah, membasahi pipi dan bibir pria itu. “Alehandro!” teriak Zelaza akhirnya, dan akan melangkah menghampiri Alehandro, namun Donzello menahan tangannya. Zelaza menatap Donzello. Donzello mengangguk pelan. “Dia akan baik-baik saja. Itu hanya … pukulan penenang saja. Nanti pegawaiku yang akan membereskannya. Ayo, kita pergi ke pantai. Semua tamu menungguku.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN