Setelah percakapan kecil mereka di meja makan tadi pagi, Pram memutuskan untuk masuk ke dalam kamarnya. Hal yang ingin dia lakukan sehari ini, adalah menyelesaikan laporan penelitian yang telah dilakukannya selama beberapa bulan terakhir.
Sejenak, dia termangu, saat mendapatkan pertanyaan dari Irene. Kenapa dia menikah dengan Irene? Seperti kata gadis itu, dia sama sekali tak menarik. Irene dan Niken, amat jauh berbeda. Niken memiliki kulit yang putih dan wajah yang cantik serta berkepribadian lembut, dia begitu anggun dan mencerminkan sosok wanita yang sempurna. Tubuhnya berukuran sedang tidak terlalu tinggi. Otaknya cerdas, bahkan pernah mengikuti pertukaran pelajar ke negara asing.
Sedangkan Irene, berkulit agak gelap, bukan hitam. Tapi lebih gelap dari kulit Niken yang putih bersih. Wajahnya hanya terkesan manis tanpa polesan make up, tidak cantik. Hanya sedikit manis. Sikapnya arogan, terkesan agak kasar. Dia tak pernah memikirkan apa yang telah dia keluarkan dari mulutnya, tak peduli dengan lawan bicaranya sendiri. Tubuhnya tinggi agak berisi. Dia terbiasa memakai kemeja atau kaus longgar. Serta celana jins yang bahkan robek di lutut. Rambutnya diikat asal. Tak pernah digerai seperti rambut Niken.
Kenapa Pram menikahi Irene? Karena Irene sama sekali bukan seleranya, hatinya tak ingin jatuh cinta lagi, karena cinta begitu menyakitkan. Menikah dengan Irene yang juga tak suka padanya, membuatnya tak akan merasa bersalah pada gadis itu. Anggap saja mereka tinggal satu atap tapi memiliki kehidupan masing-masing.
Dan dia ingin membuat Niken tersakiti, karena dia memilih adik wanita itu sendiri.
Pram mengalihkan perhatiannya pada pintu yang diketuk. Irene muncul, dengan wajah yang terlihat kesal.
"Pak, Mama datang ...."
"Benarkah?"
"Iya, tak sendiri."
"Sama papamu?"
Irene tak langsung menjawab. Dia menatap Pram dengan tajam. Seolah menunggu apa reaksi wajah itu jika dia mengatakannya.
"Dengan Kak Niken ...."
Bisu. Wajah Pram berubah pias.
***
Luka itu masih ada, masih basah dan berdarah. Walaupun Pram berusaha untuk biasa saja, tetap saja dia merasa amat canggung. Wanita penyebab luka, yang telah lama menghilang muncul kembali tanpa merasa terbebani.
Niken memberinya senyuman tipis. Agak kaku, walaupun dia berusaha tampak baik-baik saja, tapi kisah mereka takkan bisa dilupakan begitu saja. Mata Pram melirik pada anak laki-laki yang berusia sekitar dua tahun lebih, yang berada di gendongan mertuanya.
Pram tebak, bocah itu anak Niken. Ada perpaduan dua wajah di sana, wajah Niken, dan pastinya wajah suaminya, yang tak dikenal oleh Pram.
"Silakan duduk, Kak. Maaf, Ma. Mejanya berantakan," kata Irene mengemasi sampah makanan ringan yang berada di atas meja tamu. Niken duduk dengan canggung, sedangkan mata mamanya menyapu seisi ruangan di rumah itu. Banyak hal yang tak pada tempatnya, misalnya jaket Irene yang terletak di sofa. Sepatu yang berceceran di bawah tangga. Mama Irene mendengkus.
"Foto pernikahanmu, belum dipajang?"
"Eh? Belum." Pram yang menyahut. Tak menyangka akan diberikan pertanyaan seperti itu.
"Gimana mau dipajang, dicetak saja belum. Kata Pak Pram, kapan-kapan saja." Irene berkata cuek. Sedangkan Niken tersentak dengan ucapan Irene. Pram menahan diri untuk menegur Irene. Bagaimanapun, dia tak ingin Niken tau, bahwa dia sedang menjalani pernikahan yang aneh dengan Irene.
"Minum apa, Kak? Ma?" tanya Irene yang tak mau ambil pusing dengan keterkejutan orang di ruangan ini.
"Memang adanya apa?" tanya Niken. Agak geli.
"Air putih, nggak ada jus, di rumah lagi kehabisan gula. Aku belum belanja."
"Air putih saja." Niken menyahut. Irene berjalan ke dapur. Meninggalkan tiga orang itu yang belum memulai percakapan.
"Bagaimana kabarnya, Nak Pram. Sejak menikah, tak pernah berkunjung ke rumah," kata Mama Irene dengan senyuman. Niken bersikap jadi pendengar yang baik.
"Maaf, Ma. Saya sangat sibuk mengajar dan melakukan penelitian. Rencana akhir pekan depan mau berkunjung, maaf." Pram tersenyum hambar. Dia berusaha tak menatap wanita di samping mertuanya. Sedangkan Niken memperhatikan Pram dari atas sampai ke bawah. Dia masih setampan yang dulu. Rambut yang dipangkas rapi, wajahnya terbebas dari kumis dan jenggot. Di memakai baju kaus berwarna putih selengan, yang memamerkan ototnya yang sempurna, dipadukan dengan celana pendek selutut berwarna krem.
"Mama pikir kamu sakit, makanya Mama ke sini, sekalian mengantar Niken yang katanya ingin melihat rumah baru Irene."
Niken menunduk. Sedangkan Pram hanya mengangguk pelan. Dia tak punya kosa kata untuk menyahut ucapan Mama Irene. Sebenarnya, alangkah lebih baik Niken tak ada di antara mereka, supaya dia lebih leluasa.
Irene datang, dengan membawa empat gelas air putih. Menit berikutnya, percakapan hanya didominasi oleh Irene dan mamanya.
***
"Apa kabar, Pram?"
Pram terlonjak kaget, saat tiba-tiba Niken berada di belakangnya. Dia sedang mencari ketenangan di balkon. Sayangnya, wanita ini tau persis seluk beluk rumah ini.
Pram melihat ke belakang, tak ada Irene. Sangat tak enak memergoki mereka berdua di sini.
"Tenang, dia sedang belajar memasak dengan Mama."
Niken tersenyum, lalu mengambil tempat di samping Pram. Ikut melihat pucuk pohon Cemara di depan rumahnya.
"Kenapa ke sini?" tanya Pram dingin.
"Kau belum menjawab pertanyaanku."
Pram tersenyum pahit.
"Aku sangat baik, tak perlu khawatir."
"Tapi aku melihat, kau tidak baik-baik saja. Kau dan Irene, seperti tak harmonis."
Pram menoleh, kemudian mengalihkan tatapannya kembali.
"Kau hanya melihat sekilas, kami berdua saling mencintai."
"Bohong ...."
Pram mengepalkan tangannya. Niken takkan pernah berhenti menggali isi hatinya. Dia tau persis siapa wanita itu.
"Aku tau kau benci padaku, Pram. Tapi menjadikan adikku sebagai tumbal untuk balas dendam, kau akan terlihat jahat."
"Jangan berkata sembarangan, kau tak tau apa-apa. Hubungan kita sudah selesai. Kau paham? Sekarang kau tak lebih dari kakak iparku, tak layak seorang kakak ipar masuk ke dalam kamar adik iparnya sendiri."
Niken malah tertawa.
"Rumah ini, dulu akan kau berikan padaku. Ternyata Irene tak merawatnya dengan baik. Aku lihat rumah ini berantakan bahkan bunga di depan rumah telah dikelilingi oleh semak."
"Niken ...."
"Aku sudah bercerai ...."
***
"Jadi kamu tak pernah memasak?" Suara mana Irene meninggi.
"Mama tau betul masakanku tak enak. Buat apa masak? Kalau gofood ada."
Mama Irene menggelengkan kepalanya.
"Jadi, selama ini kalian cuma makan gofood?"
"Bukan kami, tapi aku. Kalau Pak Pram aku tak tahu." Irene mengatakan apa adanya.
"Maksudmu, kau tak memasak dan tak tau apa yang dimakan suamimu? Ya ampun, Irene. Isteri macam apa kamu ini?"
"Ma, nggak usah lebay, deh. Kami baik-baik saja dengan begini. Lagi pula, tak ada kewajiban memasak di sini, kami bebas melakukan apa saja, asal kami aman dan nyaman."
"Susah ngomong sama kamu! Panggikan Pram, kita mau makan siang."
Irene hanya menurut, tanpa banyak kata, dia mendorong pintu kamar Pram yang merenggang, dan ... Matanya menangkap, siapa yang tengah berdua di balkon itu.
"Kak Niken?"