Setelah makan siang, Niken dan Mamanya pamit. Meninggalkan Pram dan Irene berdua. Ada rasa tak enak di hati Pram, saat Irene menangkap basah dirinya dengan Niken di kamar tadi. Sebenarnya Pram bisa saja tak ambil pusing, tapi dalam hatinya dia tetap saja mengatakan bahwa itu salah. Dia benci dengan perselingkuhan, jangan sampai dia dicap seperti itu oleh Irene.
"Saya bisa jelasin!" kata Pram, Irene tak menyinggung masalah tadi, tapi Pram berinisiatif untuk memulai lebih dulu. Irene hanya perlu tahu apa yang terjadi sebenarnya, bisa saja Irene berpikir, dialah yang mengundang Niken ke kamarnya, dan itu akan melukai harga dirinya di mata Irene. Pram tak mau itu.
"Yang mana? Oh, yang Bapak sama Kak Niken kepergok berdua di kamar?" Irene mengangkat piring kotor ke dalam westafel. Irene mengangguk-angguk, sikap itu terasa seperti sindiran bagi Pram.
"Saya nggak tau, kenapa Niken berani masuk ke dalam kamar saya." Pram mengatakan yang sejujurnya. Dia tengah menyendiri, menyisih dari Niken, serta bisa menghirup udara dengan leluasa. Akan tetapi Niken malah tiba-tiba muncul.
"Mungkin dia sudah terbiasa masuk ke dalam kamar Bapak dulu, dia juga bilang, sebenernya rumah ini dibuat untuk dirinya, sebelum dia putus dengan bapak. Bahkan konsep taman itu juga idenya. Hebat ya, Kak Niken. Belum pasti jadi nikah sama Bapak, udah dibikinkan rumah. Eh, tunggu! Atau malah Bapak yang bodoh, mau saja membuatkan rumah padahal belum jadi istri Bapak." Irene menyampaikan apa yang dikatakan Niken saat mereka berjalan berdua di kolam renang tadi.
"Kenapa Bapak memberi tahu? Padahal saya tidak masalah, kok." Irene berbohong.
"Kami tak pernah melakukan apa pun. Walaupun dia terbiasa masuk ke kamar saya, kami tak pernah melakukan apa pun. Pacaran kami sehat dan terjaga."
Tangan Irene berhenti bekerja. Lalu menoleh mendapati Pram yang terlihat serius.
"Kenapa Bapak jelasin ini ke saya?"
"Karena kamu istri saya. Saya menghormati pernikahan ini."
Irene tersenyum masam.
"Istri? Yang tak dianggap, kan?"
"Irene ...."
"Pak, saya tau, mungkin Bapak menganggap saya bodoh dan t***l, mau saja diperlukan begini. Bapak bilang, tak usah saling peduli, tak usah saling mencampuri, kita hanya terikat pernikahan dan tak perlu bersikap seperti suami istri yang lain. Saya patuhi itu semua. Tapi, membiarkan wanita asing masuk ke dalam kamar, itu sangat tak beretika, Pak."
"Saya tak membiarkannya, dia yang masuk sendiri. Dua kalimat itu berbeda makna, tidak sama."
Irene mengambil napas, lalu mengembuskannya keras sehingga menerbangkan poninya. Pemandangan itu cukup lucu bagi Pram. Akan tetapi, Pram berusaha menghalau senyum gelinya.
"Saya tau, apa niat Kak Niken ke sini. Dari dulu, dia selalu menganggap saya ini tidak ada apa-apanya dengan dia. Walaupun itu memang kenyataan. Kak Niken mendapatkan cinta dari siapa pun, sementara saya hanya sebagai timun bungkuk. Bapak ngerti, kan? Timun bungkuk?"
"Enggak," sahut Pram asal. Dia ingin tau, apa yang ingin dijelaskan Irene. Irene tak pernah membahas keluarganya sebelum ini, kalau pun ada keperluan, itu hanya urusan kampus dan pelajaran.
"Timun bungkuk itu, orang yang tak diperhitungkan, kehadirannya tak dibutuhkan. Mati pun tak akan ada yang menangisi. Intinya, ada dan tidak ada sama saja. Begitulah kira-kira." Irene mengedikkan bahunya. Dia terbiasa diperlakukan begitu, karena bagi orangtuanya, yang sempurna adalah Niken. Entah gen siapa yang ditirunya. Padahal Papanya seorang TNI. Mamanya pun, cerdas semasa sekolah, persis Niken.
"Kok, sampai bicara mati segala." Pram makin berpura-pura bodoh. Gaya bicara Irene yang meledak-ledak dan mengangkat dagunya itu amat lucu baginya.
"Intinya tak penting, saya tak pernah penting bagi siapa pun, tak penting bagi orang tua saya, tak penting bagi Kak Niken dan juga tak penting bagi Bapak." Irene berkata cuek.
"Silakan Bapak kalau mau kembali pada Kak Niken!" sambungnya.
Dahi Pram berkerut. "Maksudnya apa?"
"Bapak masih cinta kan sama Kak Niken? Sekarang dia sudah janda. Bapak bisa kok kembali ke pada dia, tapi kita bercerai dulu." Irene kembali mencuci piring dan membelakangi Pram.
"Kamu cemburu?"
"Saya? Cemburu? Hahahaha." Irene tertawa lebar. "Hei, Pak Pram. Saya sudah bilang, Bapak bukan tipe saya, saya benci pria tampan, apa lagi sok ketampanan seperti Bapak."
Pram tak percaya apa yang didengarnya. Sok ketampanan, Pram tersinggung mendengarnya.
"Pernikahan ini tak ada artinya buat saya, atau buat Bapak sendiri. Jika Bapak yang mengakhiri, saya tak perlu menjelaskan ke pada orang tua saya. Semua akan lebih mudah, kan?"
Irene tersenyum lebar, amat menyebalkan bagi Pram. Irene pergi begitu saja, bahkan meninggalkan piring yang belum selesai dibilas.
"Irene, piringnya!"
"Nanti saja, sudah malas."
Selanjutnya, Irene sudah menghilang di balik tangga rumah.
***
Kembali pada Niken? Pram tertawa. Di tengah rasa sakit, dia memang belum bisa melupakan wanita itu seutuhnya. Akan tetapi, menjadi cadangan bagi wanita itu, jelas saja melukai harga dirinya. Dia telah dicampakkan di masa lalu, bahkan tanpa punya kesalahan. Dia bukan barang yang bisa dibuang dan dipungut sesuka hati.
Bagaimanapun, dia tak ingin mengulangi rasa sakit yang sama dengan Niken. Dulu, dia telah mengorbankan banyak hal dengan wanita itu, dia mencintai Niken dengan sepenuh hatinya, menjaga Niken dengan sempurna tanpa menyentuhya sama sekali sampai mereka menikah. Pram sangat menghormati wanita itu. Sayangnya, Niken tetap saja berpaling dari kesempurnaan cintanya.
Lalu, Irene. Mungkin Pram memang jahat, menjadikan Irene hanya pelarian rasa sakit hati dan tak memberikan dia hak sebagai istri selain dari nafkah uang. Bukan Pram tak mengerti dengan kewajiban sebagai suami, tentu saja dia paham. Akan tetapi, untuk saat ini, dia belum berniat merubah apa pun di pernikahan mereka. Toh, Irene pun tidak pernah protes.
Setelah perdebatan di dapur siang tadi, Pram tak keluar dari kamarnya. Dia menikmati waktunya untuk sendiri. Sekarang pukul delapan malam, terlalu dini untuk tidur.
Pintu diketuk, Pram yakin itu adalah Irene. Siapa lagi makhluk peganggu di rumah ini selain dia.
Pram membuka pintu sedikit, sengaja menahan pintu itu tak terbuka agar Irene tak menerobos masuk seperti kemaren.
"Ada apa?"
"Boleh pinjam motor Bapak? Mobil saya keknya kehabisan bensin."
"Kamu mau ke mana jam segini?"
"Pembalut saya habis. Bisa pinjam, kan?"
"Di luar gerimis."
"Kalau begitu, mobil Bapak saja."
Irene yang gigih dan pemaksa, membuat Pram mendengkus.
"Saya tak bisa percayakan mobil saya ke kamu. Keahlian menyetir kamu belum teruji."
"Bapak ini kenapa pelit, sih?" Irene mulai jengkel. "Saya tak mungkin jalan kaki, mini market dari rumah cukup jauh."
Pram mengamati wajah kesal itu. Lalu berucap, "Saya antar!"