Penyesalan Niken

1102 Kata
Apa yang paling disyukuri oleh Niken dalam hidupnya, yaitu pertemuannya dengan Pram beberapa beberapa tahun yang lalu. Tepatnya saat dia kelas dua SMA. Pram pria pertama yang yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama. Niken masih ingat, saat mereka sama-sama berteduh menunggu hujan reda. Di sebuah museum tua. Seperti biasa, Niken akan menghabiskan akhir pekan pada tempat-tempat yang mungkin bagi sebagian besar orang amat membosankan. Sore itu, Pram mengajaknya berbincang, perkenalan awal yang langsung mengena karena ternyata mereka memiliki hobi yang sama. Perkenalan itu berlanjut dengan saling tukar nomor telepon, sampai mereka memutuskan untuk berpacaran beberapa bulan kemudian. Tak pernah ada pertengkaran di antara mereka. Mereka cocok dalam semua hal. Memiliki kebiasaan yang sama dan visi hidup yang sama juga. Lama kelamaan, Niken mulai jenuh dengan hubungan mereka yang selalu baik-baik saja. Dia butuh hal yang baru. Dan ... Pria itu, pria yang menjadi mantan suaminya, berhasil mengalihkan dunia Niken. Niken baru tau, ada hal indah yang lebih berkesan selain belajar, bekerja dan hidup teratur. Sampai saatnya, dia hamil dengan pria itu. Kehamilan yang amat membuatnya panik, kehamilan yang membuat dia harus mengakhiri semua mimpi bersama Pram. Namun, kebahagiaan hanya bertahan dua bulan setelah menikah. Tahun pertama mulai dihiasi pertengkaran. Mantan suami yang pengangguran dan suka berbuat kasar, berhasil membuatnya makan hati. Niken bertahan demi anak, tapi Rumah tangga yang baru seumur jagung itu akhirnya kandas. Setelah wanita yang mengaku juga selingkuhan mantan suaminya, hamil dan menuntut pertanggung jawaban. Mantan suaminya berselingkuh di mana mana. Niken sudah tau itu, tapi yang satu ini sampai hamil. Niken tak bisa lagi bersabar. Niken menyesal. Dia memilih mundur. Mengundurkan diri dari tempat dia bekerja, dan memilih berpisah dari pada dia gila karena sudah tak tahan lagi dengan mantan suaminya itu. Bunyi ketukan pintu menyadarkan lamunan Niken. Dia mengusap air matanya dan menyelimuti anak semata wayangnya yang sudah terlelap. "Boleh mama masuk?" Mamanya muncul. Niken memaksakan senyum dan mengangguk. Mamanya duduk di sisi ranjang Niken. Mengusap punggung anak sulungnya itu penuh kasih. "Jangan menangis!" Suara lembut wanita yang melahirkannya membuat pertahanan Niken runtuh. Niken yang diperintahkan begitu, malah memeluk mamanya. Menumpahkan segala kegundahan yang dia tahan. Perasaannya campur aduk, tak bisa dipungkiri, dia tak rela melihat Pram telah menjadi suami Irene. Bagaimanapun dia berusaha menerima kenyataan, dia tetap mengalah pada ego. Bahwa, Pram bukan untuk Irene. "Andai waktu bisa diulang, aku akan mengubah semua lagi seperti seharusnya. Sayangnya, semua telah terjadi, aku terlalu gegabah, Ma." Mamanya menatap sendu Niken. Sambil membarut punggung wanita cantik itu. "Aku bodoh, sangat bodoh. Andaikan aku bisa berpikir jernih, semua ini takkan terjadi. Aku terbuai dengan rayuan semu yang penuh tipu daya." Mama Niken menunduk. Dia menyayangi Niken, juga Pram. Pram sering mampir ke rumah dan bertingkah sangat sopan sekali padanya. Sebagai orangtua, dia ingin sekali Pram jadi menantunya. "Maafkan Mama, pernikahan Irene dan Pram, adalah kehendak mama dan papa. Maafkan Mama." "Mama tidak salah, aku yang salah." Niken menggigit bibirnya. "Aku mau bertanya pada Mama, tapi mama berjanji takkan marah, kan?" "Apa?" "Andai, ini baru andai. Jika Pram dan Irene bercerai, apa Pram bisa kembali kepada Niken?" Mama Niken terdiam. Lidahnya kelu, pertanyaan ini sangat sulit untuk dijawab. *** "Bapak masukin ini semua untuk apa?" Irene yang sejak tadi menahan kesal akhirnya menumpahkan kekesalannya. Di troli, Pram membeli macam-macam sabun. Mulai dari sabun padat dan cair dengan berbagai merek. "Bapak mau jualan?" "Bukan, hanya untuk stok. Kamu lupa bahwa sabun mandi di kamar mandi saya telah habis dan kamu tak berniat membelinya sama sekali." Irene tersadar. Benar, otaknya sama sekali tak sampai memikirkan bahwa sabun Pram juga harus dia beli. Yang dia tau, setelah rekeningnya diisi pria itu, yang pertama yang akan dilakukannya adalah memesan gofood setiap saat. Makan apa saja yang dia inginkan. Mata Irene membola, saat tangan Pram dengan cekatan memasukkan benda yang berasal dari rak pembalut. "Apa ini?" "Beli banyak, agar stok kamu selalu ada, saya malas menemani kamu setiap kali datang bulan dan kamu tak punya stok." Pram meraih satu lagi. Tangannya langsung disetop Irene. "Ini pembalut bersalin." Irene menahan suaranya agar tak berteriak. "Oh, beda, ya?" Irene memutar matanya malas. Tangannya dengan cekatan meletakkan kembali benda itu pada tempatnya. Menyisakan dua buah saja. "Bapak ini terlalu lebay, coba Bapak ingat lagi dengan otak S3 Bapak. Saya tak pernah menyuruh Bapak mengantar saya." "Tapi kamu minjam motor saya, kan?" Pram berhenti mendadak, membuat kening Irene bertabrakan dengan punggungnya. Kondisi super market cukup sepi, hanya ada beberapa orang saja. Mungkin orang enggan keluar karena hujan turun dari sore. "Saya meminjam, bukan minta antar." "Dan tengah turun hujan, bahaya naik motor." "Terus, apa saya minta Bapak mengantarkan saya pakai mobil?" "Tidak." "Makanya, Bapak jangan asal ngomong, saya lebih baik diantar om ojol hamil dari pada diantar Bapak." Irene berlalu, merebut troli di tangan Pram. Pram tak percaya apa yang barusan dia dengar. Om ojol hamil? Pram ingin tertawa tapi dia gengsi. Yang ada dia berdeham dan menutup mulutnya dengan lengannya agar senyum lebar penuh kegelian itu tak terlihat oleh Irene. Sesampai di rumah, yang mereka lakukan adalah makan mie instan. Hujan malah tambah lebat, tak ada tanda-tanda akan reda. Awalnya Pram menolak keras ajakan Irene makan mie instan, setelah mencium aroma menggugah selera itu, pertahanan Pram runtuh. "Lama kelamaan, saya bisa masuk rumah sakit jika mengikuti gaya hidup kamu." Pram mengaduk mie yang berada dalam cup mie itu. Asap mengepul menandakan belum bisa dimakan. Sayangnya Irene malah tak menghiraukan dan makan seperti orang kesetanan. Malah dalam hitungan menit, dia menandaskan semuanya sampai meminum kuahnya sampai tak bersisa. "Lama kelamaan, saya bisa hipertensi jika mengikuti gaya hidup Bapak yang sok sempurna." Irene menepuk perutnya, lalu mengeluarkan suara sendawa tanpa malu. Hal itu membuat Pram meringis. "Apa kamu begini pada semua orang?" "Maksud Bapak?" Irene mengusap mulutnya dengan tisu. "Maaf, seperti tak ada etika dan sopan santun." Irene malah tertawa lebar, tanpa tersinggung sama sekali. "Tak perlu minta maaf segala, Pak. Saya begini pada siapa pun. Tak hanya Bapak. Bapak belum tau saja, saya memiliki suara kentut yang mengalahkan suara halilintar." Pram makin meringis. Seumur hidup, baru kali ini dia melihat gadis tak tau malu seperti Irene. "Kamu pernah punya pacar?" "Tidak." "Pantaslah." "Kenapa memangnya, Pak." "Laki-laki tak suka wanita seperti kamu. Termasuk saya." Wajah penuh tawa Irene berubah serius. "Memangnya saya berharap disukai oleh Bapak? Oh, No, Pak. Bapak ini terlalu pasaran. Terlalu biasa, alias tak ada uniknya sama sekali." Dikatai begitu, Pram merasa tersinggung. "Jadi, Bapak bukan selera saya. Saya tak suka dengan yang pasaran. Jadi tak perlu menjadi apa yang Bapak mau. Ngerti, kan?" Pram tak berkutik, seumur hidup, baru kali ini ada wanita yang mengatakan dia terlalu pasaran. Tepat di mata kepalanya sendiri. Irene memang ajaib.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN