"Setelah ujian semester, aku mau ambil cuti kuliah dulu." Irene mengaduk Jus jeruknya. Mereka tengah berada di kantin kampus. Jam kuliah mereka sedang kosong, hanya ada beberapa orang yang duduk di sana. Pasti mereka yang memang tak ada jam pagi.
"Loh? Jangan, dong, Ren. Kita udah semester lima, bentar lagi KKN, masa ngambil cuti lagi, KKN-mu bisa diundur tahun depan." Jelly berkata dengan semangat yang menggebu-gebu.
"Entahlah, Jel. Aku lagi dalam mode tidak ingin berpikir banyak, ingin santai sejenak, mungkin dengan cara mencari pekerjaan sampingan. Kuliah ini amat membosankan bagiku, aku butuh pengalihan untuk beberapa waktu." Irene menatap ke area parkiran. Dia melihat mobil Pram baru saja datang.
"Banyak cara yang bisa dilakukan selain cuti. Jangan deh, aku mohon jangan! Kamu kenapa? Ada masalah? Kalau ada cerita sama aku."
Irene menggeleng. Dia tak pernah memberitahu statusnya pada siapa pun di kampus ini. Membicarakan permasalahannya dengan Jelly, bukan keputusan tepat.
"Jel, menurut kamu, pernikahan itu apa sih?"
"Kenapa tiba-tiba tanya? Kamu mau menikah?
"Bu ... Bukan. Maksud aku, apa itu pernikahan, dalam sudut pandang kamu. Aku mau cerita, Kak Niken kembali ke rumah, dia bercerai dengan suaminya."
"Astaga, serius? Kenapa? Padahal Kak Niken sangat sempurna. Kenapa ada laki-laki yang tak bersyukur mendapatkan istri seperti Kak Niken. Wah, aku nggak habis pikir."
Irene tersenyum tipis. Ya, begitulah semua orang memandang Niken, serba sempurna. Memang, orang tak salah akan itu. Irene sendiri mengakui Niken sangat menarik semua orang, tak dipungkiri, orangtuanya pun, lebih sayang ke Niken dari pada dirinya. Akan tetapi, Irene tetap bercermin dan menerima kenyataan, dia memang tak bisa diandalkan dalam segala hal. Wajar orang memandangnya sebelah mata.
"Itu yang aku tanyakan, kenapa orang sesempurna Niken, tetap saja gagal dalam pernikahan."
Jelly mengangguk, wajahnya mulai serius. Sebagai seorang gadis yang amat dewasa, Jelly adalah teman yang tepat untuk diajak bertukar pikiran.
"Pernikahan itu misteri, Ren. Ada yang telah berpacaran lama, tapi cuma bertahan beberapa bulan saat menikah, ada yang dijodohkan tanpa cinta, malah langgeng sampai tua. Ada yang sudah puluhan tahun hidup bersama, tapi tetap saja bercerai. Contohnya orang tuaku. Hal itu, membuat aku takut untuk menikah, Ren. Sepertinya menikah hanya akan membebani diriku sendiri. Lebih baik hidup sendiri."
Ada nada luka di suara Jelly, Irene mengenggam tangan Jelly untuk menguatkan. Sebagai keluarga yang utuh, dia ikut prihatin dengan apa yang menimpa Jelly beberapa bulan ini, yaitu perceraian orang tuanya.
"Kami punya banyak uang, tapi mamiku tak bahagia, karena Papi selalu berselingkuh. Banyak di luar sana, mereka yang hidup sederhana bahagia. Jadi, pernikahan adalah misteri, Ren."
Irene mengangguk. Apa yang dikatakan Jelly benar. Baru saja dia ingin menanggapi, sebuah pesan masuk. Dosen Sok Tampan, itu yang tertera.
"Ke ruangan saya sekarang!"
Irene mengembuskan napas. Dia sedang malas bertemu Pram. Kalau bisa, di kampus ini mereka tidak usah berinteraksi. Karen sudah bosan bertemu di rumah.
"Jel, aku dipanggil Pak Pram."
"Loh, kenapa? Kamu nggak bikin tugas lagi?"
"Nggak tau kenapa, tunggu aku di sini, ya."
"Aku tunggu kamu di perpustakaan saja." Jelly ikut bangkit.
"Oke. Boleh."
Irene bangkit, ponselnya bergetar. Sebuah panggilan masuk, dari Dosen Sok Tampan.
"Mau apa, sih? Dosen nyebelin ini manggil aku."
Irene menggerutu sendiri. Dia berjalan cepat, menuju ruangan dosen. Baru saja sampai di teras, Pram muncul dari dalam.
"Ikut saya, saya tunggu di luar gerbang."
"Loh, kenapa, Pak? Ada apa?"
"Nanti aja bertanya, ini bukan urusan kampus." Pram berjalan cepat meninggalkan Irene.
"Dasar Dosen Sok Tampan."
***
"Jadi, Ibu Bapak bakal nginap di rumah selama seminggu? Oh My God." Irene terkejut bukan main. Sekarang dia berada di dalam mobil Pram. Mereka berhenti di pinggir jalan yang agak sepi.
"Iya, itu masalahnya. Ibu bakal sampai nanti sore. Masalahnya, kamar kita cuma ada dua. Nggak enak sama Ibu, kalau ketahuan pisah kamar."
"Saya juga nggak enak kalau sekamar sama Bapak." Irene menjawab sengit.
"Yang saya bahas sekarang bukan kamu, tapi ibu saya, paham?" Pram mulai jengkel.
"Saya nggak mau ibu jadi marah-marah jika tau dengan kondisi pernikahan kita yang sebenernya. Pilihan cuma ada satu, salah satu kamar harus dikosongkan."
"Bukan kamar saya."
"Terus kamar saya?" Pram menjawab sengit.
"Iyalah, Pak. Masa kamar saya."
"Baiklah! Ibu saya juga nggak bakal kuat naik turun tangga. Saya yang akan pindah ke kamar kamu."
"Eh, Pak ...."
"Sehabis kuliah, langsung pulang, kita kerja sama buat mengosongkan."
"Eh, Pak. Saya belum bilang setuju."
"Saya nggak nunggu persetujuan dari kamu. Ayo, kembali ke kampus, sepuluh menit lagi saya ada kelas."
Irene tak bisa menjawab apa-apa lagi, dia bahkan tak bisa menolak lebih keras. Ibu Pram, tentu saja Irene ingat. Sama seperti kebanyakan orang, yang tak begitu puas dengan pernikahan mereka. Ibu Pram pun begitu, mungkin agak sedikit kecewa saat yang menjadi menantunya bukanlah Niken yang selama ini diperkenalkan Pram padanya. Entah perasaan Irene saja, Ibu Pram tak menyukainya. Dia lebih banyak diam saat Irene mencoba berbasa-basi. Ya, sekali lagi, dia terbiasa dipandang sebelah mata.
Jam dua siang, mereka pulang ke rumah. Berjalan beriringan dengan kendaraan masing-masing. Mereka tak pernah berada dalam kendaraan yang sama jika ke kampus, walaupun mereka searah.
"Jadi, Bapak akan memasukkan pakaian sebanyak itu ke lemari saya?" Ini adalah protes ke sekian Irene. Pram meletakkan baju-bajunya yang masih berada di hanger itu di atas ranjang Irene. Tangannya secara lincah membuka lemari Irene.
"Kosongkan yang sebelah kanan! Ya ampun, ini lemari atau tong sampah, pakaian digulung tanpa dilipat." Pram terperangah dengan lemari tiga pintu bercat putih itu. Tak ada kesan rapi sama sekali. Sangat berantakan.
"Kalau numpang di lemari orang jangan banyak protes, Pak." Irene berjalan mendekat, Pram refleks menjauh, dia terganggu dengan aroma minyak telon yang menguar dari tubuh Irene.
Walau mengomel, Irene mengeluarkan semua pakaian yang berada di sebelah kanan. Sebenarnya dia tak punya banyak barang, karena dia bukan penggila belanja. Bajunya itu-itu saja. Hanya saja tempatnya tidak teratur, padahal bagian kiri masih banyak yang kosong.
"Pak, Bapak yakin, kita akan tidur berdua?" Irene bertanya lagi. Dia malah mendapatkan tatapan kesal dari Pram. Padahal dia berharap, pria itu membatalkan niatnya.
"Terus, kamu maunya gimana?"
"Ya ... Nggak tau juga." Irene mengangguk tengkuknya yang tak gatal.
"Kalau suka protes, mesti punya solusi. Protes aja gampang. Oh, kamu khawatir saya bakal nyentuh kamu?" Pram menunjukkan senyum geli di hadapan Irene. Seolah meremehkan gadis itu.
"Saya pastikan Bapak tak lagi bernapas besok pagi, jika Bapak menyentuh saya."
"Kamu terlalu percaya diri, tak ada satu pun dari bagian diri kamu yang membuat saya tertarik." Pram berbalik, membuka pintu keluar, serentak dengan teriakan Irene.
"Jangan sok tampan, Pak. Bapak sama sekali tak menarik bagi saya, hanya wanita yang matanya katarak yang terpesona sama Bapak!"
Pram yang berniat menuruni tangga, terhenti. Ucapan Irene terngiang kembali dengan sempurnanya, hanya wanita katarak yang menyukainya? sungguh terlalu Irene.
Mukanya memerah sempurna. Merasa sangat terhina oleh mulut pedas itu.
"Apa kamu bilang?"