Apa Kamu Hamil?

1026 Kata
"Ibu saya nggak bisa makan masakan yang dibeli, beliau suka makan makanan rumahan, tanpa micin dan sudah dipastikan bersih proses pembuatannya. Satu lagi, ibu nggak bisa memakan makanan yang sama selama dua kali. Misalnya bikin lauk untuk makan siang, kalau bersisa, ibu akan langsung membuang." Pram terus saja berbicara sambil memotong wortel, sedangkan Irene membersihkan lagi ayam yang sudah membeku dan keras. Menu mereka malam ini, sup ayam. Pram yang memiliki ide begitu, bermodal tutorial masak sup yang dia lihat di YouTube. Dari tadi, Irene hanya mendengarkan cerita Pram yang terus saja menyebutkan kebiasaan makan ibunya. Bagi Irene, sangat merepotkan. Lauk tak boleh dimakan dua kali, harus masakan rumah dan tak boleh pakai micin. Sangat perfeksionis. Sepulang dari kampus, tak hanya membereskan rumah, mereka pergi membeli bahan untuk dimasak secara kilat, dan langsung memprosesnya di dapur. Pram amat semangat menyambut kedatangan ibunya. Berbeda dengan Irene yang sudah ketar-ketir. "Bagaimana kalau masakan saya nggak enak? Saya hanya bisa masak seadanya, nggak bisa menu-menu rumit, itu pun rasanya belum terjamin. Nggak mungkin, kan? Saya menyuguhi ibu Bapak dengan telor ceplok setiap saat, beli juga nggak boleh. Rumit." Pram berhenti memotong wortel. Menatap Irene jengkel. "Jika Ibu di sini, kamu harus belajar memasak. Di pagi hari, ibu tidak minum teh, tapi makan salad buah dan sereal. Tentu saja yang buatan rumah. " "Loh, Pak. Kok malah jadi ada aturan baru? Jadi saya mesti membuat itu setiap pagi?" "Setidaknya tunjukkan bahwa pernikahan kita normal di depan Ibu. Tidur sekamar, rajin memasak, melayani suami dan mertua. Begitu istri yang baik." Tangan Irene berhenti mencuci ayam. Matanya mendelik. "Melayani suami? Maksud Bapak?" "Jangan mikir aneh-aneh. Melayani suami itu seperti membuatkan kopi di pagi hari, menyediakan sarapan, menyiapkan stelan kerja dan menyemir sepatu di depan ibu. Saya tak minta kamu melayani saya di tempat tidur, kalau pun kamu menawarkan, saya nggak mau." Pram berujar kesal. Dia merasa jengkel dengan semua ucapan Irene yang selalu membantahnya tanpa berpikir dulu. Dikatai begitu, Irene malah tambah meradang. "Bapak pikir Bapak siapa? Najis!" Irene berkacak pinggang. Lalu dia pergi begitu saja. Pram hanya memandang Irene datar. "Dasar bocah ingusan." Pram melanjutkan sendiri memasak tanpa Irene, tentu saja berbekal tutorial di YouTube. Dia sudah memprediksi, Irene akan menolak. Jadi dia tidak terkejut. Di kamar, Irene memukul bantal sepuas hati. Semua aturan baru itu mencekiknya, melayani mertua dan suami. Suami durhakanya. "Dasar Dosen Sok kegantengan Oon. Mulutnya lemes kek cucian. Sebel." Irene merebahkan dirinya di ranjang. Tidak berapa lama, dia langsung ketiduran. Irene lupa, keteledorannya akan menghancurkan segalanya. *** Irene terbangun saat mendapati kamar dalam keadaan gelap. Dia meraba Ponselnya dan melihat, pukul delapan malam. Dia tidur selama itu? Dan Pram tak membangunkannya. Oh ya, Irene ingat, mereka dalam mode berperang. Irene bangun dan mengucek matanya, lalu berjalan mencari saklar lampu. Dia mesti bangun untuk makan, perutnya sudah minta diisi. Irene mencuci mukanya dan berganti pakaian dengan kaus kebesaran dan celana pendek. Dia berjalan ke luar lalu menuruni tangga, Irene tak sadar, dua orang yang tengah makan di meja makan mengehentikan gerakan sendok mereka dan menatap Irene serentak. Irene masih tak sadar, dia tetap berjalan ke dapur. Dapur yang melewati meja makan yang menyatu dengan ruang tamu. Saat Irene mengambil air minum, bahunya dipegang seseorang. Irene terlonjak. "Astaga!" Irene menemukan tatapan dingin Pram. "Kamu nggak lihat, ibu sudah ada di sini?" Tersadar, Irene melirik ke arah meja makan. Dadanya berdebar. "Kenapa Bapak nggak bangunkan saya?" Irene menahan suaranya agar tak didengar mertuanya. "Kamar kamu terkunci. Saya pasrah jika sesuatu terjadi dengan kamu. Dari tadi ibu nanyain kamu dan saya jawab, kamu tidur dari sore dan tak bangun-bangun." Seharusnya Irene biasa saja, akan tetapi, saat dia memberanikan diri melihat ke meja makan, dia menemukan tatapan aneh mertuanya. Disertai dengan senyuman miring. Irene bergegas menuju meja makan, mengangguk sekilas pada ibu Pram disertai dengan senyum dipaksakan. "Ayo, makan! Sup buatan Pram cukup enak." Suaranya tegas tapi menusuk, Irene merasa ada nada sindiran di kalimat yang dilontarkan Ibu Pram. Sebenarnya Irene lapar, akan tetapi, mendapatkan tatapan Pram dan ibunya, seleranya langsung surut. "Oh, ya. Tidur kamu nyenyak banget ya. Kata Pram dari sore nggak bangun-bangun. Tapi ngak apa-apa, artinya kamu ngantuk berat." Ibu Pram tersenyum lagi. Sedangkan Pram memilih fokus ke makanannya. "Tambah lagi, Pram? Sup buatan kamu harus habis malam ini. Sepertinya Irene kenyang." Irene tak berkutik, suasana malam ini terasa amat horor baginya. Ibu Pram memang tak mengatakan dengan kata kasar. Akan tetapi Irene cukup peka, bahwa sindiran itu ditujukan padanya. Dia tak salah, saat Irene selesai mencuci piring, dia dipanggil secara khusus oleh ibu mertuanya. Tak sendiri, ada Pram di sebelah ibunya. Irene duduk di sofa yang berhadapan dengan mereka berdua. Duduk begini serasa jadi tersangka. "Bagaimana kuliah kamu?" tanya Mertuanya dengan tatapan menilai penampilannya satu atas sampai bawah. Berhenti di pahanya yang terbuka. "Tidak cukup baik, Tante. Saya rencana akan mengambil cuti sehabis ujian semester." "Oh, begitu. Kalau boleh tau kenapa?" "Saya ingin mencari pekerjaan untuk sementara." Irene menjawab seadanya. "Uang yang dikasih Pram tidak cukup? Sampai kamu ingin bekerja?" "Bukan begitu. Tapi ...." "Dia bosan belajar," sanggah Pram cepat. Irene tak menyangka Pram akan mengatakan itu secara gamblang, dia pikir Pram akan membelanya. "Bosan belajar? Mau jadi apa kamu tanpa gelar? setidaknya sebagai istri Pram, kamu mampu membuat dirimu pantas mendampingi Pram. Baru beberapa jam saya di sini, saya melihat banyak keganjilan di rumah ini. Pram yang memasak, kamu tidur. Apa kamu sakit? Atau kamu malas?" "Tante ... Itu, saya kecapekan, sepulang kuliah berberes, belanja keperluan dapur, dan ...." Irene bingung sendiri menjelaskan, dia terlalu syok dikatai begitu, mamanya juga cerewet, tapi tidak kasar. Ibu Pram sukses membuatnya ketar ketir. Ternyata benar adanya kisah-kisah di novel dan sinetron, bahwa mertua itu patut ditakuti. "Apa kamu hamil?" Byurrr! Pram yang tengah meminum air langsung menyemburkan dari mulut Pram, mengenai tangan ibunya yang tengah diletakkan di atas paha. Pram langsung kena tatapan peringatan dari ibunya. Bukan hanya Pram yang terkejut, Irene malah tak mampu mengatupkan mulutnya yang menganga karena kaget luar biasa bercampur bingung. "Sudah berapa lama telatnya?" "Bukan, bukan Tante, saya tidak hamil. Ya ampun, amit-amit punya anak dari Dosen Sok ganteng." Irene keceplosan. "Dosen Sok ganteng?" Suara lantang itu menyadarkan Irene, bahwa dia telah mengibarkan bendera perang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN