Tidak Menerima Penolakan

1334 Kata
“Thea Sebastian.” Qai menggumam sembari membayangkan paras cantik yang berpapasan dengannya di teras rumah Jaya kemarin malam. Dari yang Qai tahu, Thea masih sendiri dan belum memiliki kekasih, sejak satu tahun yang lalu. Setelah putus dari salah seorang selebritis terkenal, wanita itu belum pernah lagi menjalin hubungan dekat dengan siapa pun. Sepertinya, Qai bisa mendekati Thea untuk memperlancar semua misinya nanti. Atau kalau Qai beruntung, ia dapat menyelam sekaligus minum air. Yakni, menjalin kasih dengan Thea, seraya melakukan misi balas dendamnya melalui Jaya. Namun, satu hal yang belum bisa Qai pastikan dan masih menerawang. Apakah pria Jaya mau mengambil resiko, untuk menyerahkan Angkasa Media kepada Qai? Sementara itu, Qai sangat yakin jika ia bisa membawa perusahaan tersebut bisa lebih maju dibandingkan kondisinya saat ini. Memang akan butuh waktu, tapi kalau Jaya rela menggelontorkan sejumlah materi untuk membangun Angkasa, semua hal yang dicita-citakan Qai akan terwujud. Suara ketukan pada pintu kaca, yang memang sengaja dibiarkan terbuka oleh Qai, membuyarkan lamunannya. Seorang gadis muda masuk ke dalam ruangannya dengan membawa sebuah amplop.  “Ini, SPJ buat ke Bali,” ujar gadis yang saat ini menjabat sebagai sekretaris redaksi di Glory. “Untuk uangnya, kata bagian keuangan mau ditransfer sebentar lagi.” “Waah, tumben Ibu Sekred mau capek-capek datang kemari?” ujar Qai menerima surat yang diberikan oleh Rumi. “Biasa juga nyuruh OB.” “Ibu, Ibu,” decak Rumi menarik kursi yang berseberangan dengan Qai lalu mendudukinya. “Aku mau makan siang di bawah, makanya sekalian mampir.” “Hemm, pantas,” cibir Qai melipat kembali surat yang baru saja dibacanya. “Ya sudah pergi sana, ngapain malah duduk.” “Traktirlah, Mas. Gajian masih seminggu lagi,” pinta Rumi tanpa segan. Diantara semua karyawan yang ada di Glory, hanya Rumi yang tidak terpengaruh dengan Qai yang selalu terlihat dingin kepada wanita. “Aku lagi pengen makan nasi padang di bawah. Lagi pengen banget makan rendang.” “Lagi ngidam? Lo hamil?” Rumi langsung menggebrak meja Qai dengan kesal saat itu juga. “Mas Qai, ih! Aku masih ting ting, ya! Masih segel!” “Mana gue tahu kalau yang itu, perlu dibuktikan dulu.” Qai melengos kembali melihat layar komputernya. “Ogah ngebuktiin sama kamu, Mas.” Rumi kemudian berdiri dan mengitari meja untuk menarik tangan Qai. “Ayolah, Mas, traktir aku dulu di bawah. Masa’ tega sama anak kos, makan mie instan mulu kalau akhir bulan.” Qai berdecak tapi ia tetap berdiri karena tidak tega dengan gadis itu. Bagi Qai, gadis itu sudah ia anggap seperti adik. Awalnya, Qai hanya merasa risih karena kerap melihat Rumi memakan mi instan saat baru-baru masuk ke Glory.  Saat itu, Rumi beralasan kalau belum menerima gaji karena baru seminggu bekerja di Glory. Sejak saat itulah, Qai terkadang mengajak Rumi untuk makan sekadar makan siang karena kasihan. Sampai, hubungan yang ada menjadi akrab seperti sekarang. Saat ibu Qai meninggal, kebetulan Rumi tengah menghabiskan cutinya. Pulang ke rumah orang tuanya yang berada di Malang. Untuk itulah tidak terlihat sosok Rumi, ketika Qai tengah berada dalam duka. “Duit lo, ke mana lagi? Udah habis aja belum gajian gini,” tanya Qai setelah menutup pintu ruang kerjanya. “Adekku mau wisuda, Mas, jadi baru transferin uang buat dia.” Qai menghela napas, jika kembali mengingat bagaimana kondisi keluarga Rumi di Malang. Dua tahun belakangan ini, Rumilah yang menanggung biaya kuliah sang adik. Hal itu dikarenakan sang ayah mengalami kecelakaan dan meninggal di tempat. Pensiun yang diterima ibunya tidak seberapa, hingga Rumi harus sering berhemat di ibukota. “Habis ini, udah nggak ada tanggungan lagi berarti? Adek, lo, suruh buruan kerja, biar bisa bantu-bantu juga.” “Udah nggak ada, tapi tetep aja, kan, ada ibu. Masa’ nggak ngirimin sama sekali.” Kaki Rumi yang hendak melangkah masuk ke dalam lit, terasa kaku untuk sejenak. Ada anak sang pemilik perusahaan berada di dalamnya dan Rumi seketika merasa tidak nyaman. “Ayo, Rum,” ajak Qai yang lebih dulu melangkah masuk. “Siang Mas Al, Bu Hera,” sapa Qai pada dua orang yang sudah ada di dalam bilik persegi tersebut. “Siang,” balas Alpha tanpa melepaskan maniknya pada Rumi yang menunduk ketika memasuki lift. Sedangkan Hera, merasa tidak suka, ketika melihat Qai berdua bersama Rumi seperti barusan. Qai sepertinya terlihat akrab dengan gadis itu. “Siang, Mas Qai,” balas Hera kemudian. “Mau makan siang juga, ya?” tanyanya berusaha bersikap ramah. Meskipun hatinya sedikit kesal dengan Rumi. “Iya,” jawab Qai singkat dan menatap curiga pada Rumi yang sedari tadi hanya menunduk dan diam saja. “Mau makan siang di bawah, Mas?” tanya Hera lagi. “Berdua?” Qai mengangguk. “Makan siang di sebelah, lagi pengen makan rendang.” “Waah, bareng aja gimana?” Hera menatap harap pada Alpha. “Mas Al, aku tiba-tiba pengen makan rendang juga.” “Oke," jawab Alpha singkat Detik itu juga, Rumi mengangkat wajah dan reflek melihat Alpha dari pantulan pintu lift. Manik mereka bersirobok untuk seseaat, lalu Rumi segera memutusnya dan kembali menunduk. Qai yang melihat hal tersebut semakin curiga dibuatnya. Sepertinya, ada sesuatu yang sedang atau pernah terjadi diantara kedua orang itu. Untuk satu hal itu, Qai pasti akan mencari tahu setelah ia pulang dari Bali nanti. Sementara itu, saat ini Qai hanya ingin berkonsentrasi terhadap acara yang akan diliputnya mulai besok. — Baru saja Rumi duduk di kursi kebesarannya setelah makan siang, ponsel yang sedari tadi berada di saku blazernya kemudian berdering. Ia menelan ludah ketika melihat nama yang tertera di layar tersebut.  Tidak berani menolak, Rumi lantas segera mengangkatnya secepat mungkin. “Ke ruanganku sekarang!” titah seseorang di seberang sana tanpa berbasa basi. Sebelum pergi, Rumi menghubungi bagian resepsionis terlebih dahulu dan memberi pesan agar menghandle telepon yang masuk untuknya. Bergegas kembali menuju lift, Rumi langsung naik ke lantai atas dengan rasa gugup.  “Tolong bilang ke Pak Al, aku udah di sini,” pinta Rumi pada sekretaris pria itu. Mila langsung menelepon Alpha dan menyampaikan yang baru saja diutarakan oleh Rumi. “Di suruh masuk aja katanya.” Mila mencekal tangan Rumi yang baru saja hendak melewatinya. “Ada urusan apa pak Al, manggil kamu?” “Mana aku tahu,” jawab Rumi lalu masuk ke dalam ruangan Alpha, agar semuanya segera selesai. Alpha segera berdiri ketika melihat Rumi membuka pintu dan masuk ke dalam ruangannya. Melewati tubuh Rumi yang hanya diam mematung di tengah ruang, lalu mengunci pintu dengan perlahan. “Kamu terlihat akrab dengan Qai,” ujar Alpha kembali menghampiri Rumi dan berhenti tepat di depan gadis itu. Meraih dagu Rumi dan mengangkatnya. “Kamu ada hubungan dengan dia?” tanyanya menatap Rumi dengan tegas. Rumi menggeleng kecil. “Nggak ada, Mas Qai cummpp …” Alpha tidak membiarkan Rumi berbicara lebih panjang lagi. Ia langsung membungkam bibir manis itu dengan rakus. Menumpahkan sebuah rasa kesal karena melihat interaksi Rumi dan Qai yang terlihat akrab siang tadi. Alpha menuntun Rumi menuju sofa, tanpa melepaskan pagutannya sama sekali. Hanya menyisakan sedikit celàh untuk keduanya mengambil napas, setelah itu Alpha kembali melanjutkan semua hal sesuka hatinya. Menjatuhkan tubuhnya di atas sofa, Alpha lantas mendudukkan Rumi di atas pangkuannya.  “Kamu, milikku!” ucap Alpha berhenti sejenak dari pagutan panas mereka. “Dengar itu, Rumi?” Rumi menatap manik Alpha yang menggelap akan hasrat. Hanya bisa mengangguk untuk mengiyakan ucapan pria itu dengan tersengal.  Rumi pun hanya diam ketika pria itu melepas kancing kemejanya satu persatu. Membiarkan Alpha memberi beberapa jejak kepemilikan pria itu, di mana pun yang Alpha inginkan. Hingga Rumi hanya bisa melenguh pasrah dan menikmati tiap sentuhan yang Alpha berikan kepadanya. “Ke apartemenku nanti malam,” titah Alpha setelah menarik diri dan melihat semua jejak merah yang ia lukis pada dadà Rumi. “Supirku yang jemput, jam tujuh.” Kembali, Rumi hanya bisa mengangguk dan menuruti titah pria itu. “Dan bawa baju kerjamu, karena malam ini kamu nginap di unitku.” “Ap-apa? Nginap?” Alpha mengangguk dan kembali mengancingkan kemeja Rumi satu persatu. “Malam ini, aku nggak terima penolakan lagi.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN