“Pagi, cantik,” sapa Alpha yang memeluk Rumi dengan cepat dari belakang. Langsung menjatuhkan kecupan-kecupan kecil di sepanjang leher jenjang Rumi yang hampir penuh dengan jejak gairahnya.
“Pagi, Mas.” Rumi pasrah. Tidak menolak dengan semua hal yang pria itu lakukan kepadanya. Karena di satu sisi, sentuhan Alpha memang selalu membuatnya gila.
“Masih sakit?” tanya Alpha ketika mengusap bagian bawah perut Rumi dari luar.
Dengan berbagai rayuan yang mengintimidasi, serta sentuhan-sentuhan yang diberikan Alpha tadi malam. Akhirnya Rumi menyerahkan diri seutuhnya pada Alpha.
Melewati malam panas, dengan suara kesakitan Rumi yang perlahan berganti dengan desàhan yang mendamba.
Dengan mata memejam karena begitu menikmati sentuhan Alpha, Rumi pun mengangguk. “Masih.”
“Kamu cuma belum terbiasa,” balas Alpha seolah tidak pernah puas menyentuh tiap jengkal tubuh Rumi. “Kamu bisa istirahat malam ini, tapi, besok, supirku akan jemput kamu lagi sama seperti tadi malam.”
Rumi membuka kelopak matanya, lalu menjauhkan tangan Alpha dari dadànya. Ia berbalik dan mengalungkan kedua tangan pada leher pria tersebut. “Apa, aku harus nginap lagi?” tanyanya dengan polos.
“Pastinya.” Alpha merapikan anak rambut yang sedikit terhambur di wajah cantik itu. “Minggu depan, siap-siap pindah. Aku lagi persiapkan apartemen buat kamu.”
“A-aku? Pindah ke apartemen?” Tidak pernah sedikit pun terbersit di benak Rumi, kalau suatu saat, ia akan tinggal di sebuah apartemen. Jika menghitung dari gajinya yang selalu terbagi-bagi dengan keluarganya, ia tidak akan mungkin memiliki hunian tersebut.
“Ya.” Alpha menunduk untuk memagut bibir kenyal itu begitu rakus sejenak. “Aku gak bisa selalu bawa kamu ke sini. Tapi, aku selalu bisa datang ke tempatmu kapan aja aku mau.”
“Kapan … aja?” Rumi menelan ludah sejenak. Apa itu berarti, hubungan Rumi dan Alpha akan semakin intim setiap saat pria itu mau?
“Kenapa? Kamu gak suka kalau kita bisa ketemu dan menghabiskan waktu berdua?” Tatapan lembut Alpha seketika berubah tajam ketika melihat keraguan di mata Rumi.
“Bu-bukan begitu, Mas,” sanggah Rumi sedikit tergagap. “Apa gak terlalu berlebihan, kalau aku tinggal di apartemen?”
Alpha langsung tergelak mendengar penuturan Rumi tersebut. Kalau wanita lain, pasti akan melompat girang jika diberi diberi apartemen seperti Rumi barusan. Namun, tidak dengan Rumi yang malah merasa semua itu terasa tidak pantas untuknya.
“Jangan kebanyakan bantah, Rumi.” Alpha melepaskan tangan Rumi yang mengalung pada lehernya sejenak untuk memberi sedikit jarak. Ia mengambil sesuatu dari kantung celananya dan meraih tangan kanan Rumi. Meletakkan dua buah strip berwarna silver di atas telapak tangan gadis itu.
“Ini …” Rumi mendongak dan mempertemukan maniknya. Hatinya langsung berdenyut ngilu seketika. Ada sebuah rasa sesak yang tiba-tiba merasuk ke dalam d**a.
“Yang ini.” Alpha menunjuk sebuah strip yang terdiri dari dua keping obat yang masih terbungkus rapi di dalamnya. “Emergency pil, yang harus kamu minum sebentar lagi.”
“Emer … gency pil?” Ini pertama kalinya Rumi mendengar hal seperti itu.
Alpha mengangguk. “Kamu gak mau hamil, kan? Kita gak pake pengaman apapun tadi malam.”
Hati Rumi seolah diremas erat mendengarnya. Namun, Alpha benar. Rumi memang tidak boleh hamil di luar nikah. Kalau sudah seperti ini, satu-satunya jalan adalah menurut dengan apa yang sudah dikatakan Alpha.
Rumi akhirnya mengangguk pelan untuk mengiyakan perintah Alpha.
“Good girl.” Alpha langsung mengusap kepala Rumi dengan senyum miringnya. “Dan yang satu strip lagi, aku gak perlu jelasin lagi, kan? Kamu bisa mulai minum pil itu dengan teratur mulai sekarang.”
Lagi-lagi, Rumi hanya bisa mengangguk. Rumi sudah terjebak dalam sebuah situasi menyulitkan dan sudah tidak bisa mundur kembali. Harus terus berjalan dan melakoni perannya sesuai kemauan Alpha.
Mengetahui Rumi menuruti semua perintahnya. Alpha kembali menunduk dan memagut benda kenyal itu tanpa pernah merasa puas.
“Aku sudah transfer ke rekeningmu,” ucap Alpha setelah melepas pagutannya. “Pakailah buat shoping dan beli semua yang kamu perlukan.”
Satu kecupan singkat lalu Alpha jatuhkan pada bibir Rumi yang sudah terlihat bengkak. “Ganti bajulah, aku tunggu di meja makan.”
Rumi terdiam. Melihat tubuh atletis itu berbalik dan menjauh darinya. Tenggelam di balik pintu dan Rumi tidak bisa melakukan apa-apa.
Apa sebenarnya yang Rumi lakukan saat ini?
Menyerahkan diri dengan sukarela, lalu diberi berbagai imbalan atas jasanya tadi malam?
Tidak … Rumi meyakinkan diri kalau dirinya bukanlah wanita seperti itu. Alpha melakukan hal itu karena pria itu pasti menyayangi Rumi. Bukankah, Alpha tampak cemburu ketika melihatnya dengan Qai kemarin siang?
Ya! Rumi meyakinkan diri kalau Alpha dan dirinya memang sudah saling mencintai dan apa yang mereka lalukan tadi malam, serta apa yang dilakukan oleh Alpha barusan, adalah sebagai bukti cinta keduanya.
—-
“Mbak Thea?” sapa Qai yang baru berbalik, setelah selesai check in di resepsionis hotel.
Wanita itu memiringkan kepala dengan tatapan memicing. Mengingat-ingat. “Ahh, Mas yang ke rumah kemarin malam? Iya, kan?”
Bagi Qai, ini seperti peribahasa pucuk dicinta ulam pun tiba. Ia tidak pernah menduga kalau akan bertemu Thea di Bali. Ternyata ada untungnya juga Qai pindah ke hotel karena tidak cocok dengan penginapan yang sudah dipilihkan oleh perusahaan.
“Betul sekali.” Qai menyodorkan tangannya lebih dulu untuk berkenalan dengan formal, “Qaishar, panggil aja Qai.”
“Thea,” balanya dengan menyambut uluran tangan Qai. “Eh, kok udah tahu nama aku duluan, sih?”
Qai terkekeh kecil sembari membenarkan tas laptopnya. “Siapa yang gak kenal sama Mbak Thea?”
“Eh, jangan panggil Mbak dong,” sambar Thea dengan cepat. “Panggil Thea aja.”
“Oke, Thea,” ucap Qai mengiyakan saja. Toh jika seperti ini, mereka bisa semakin akrab nantinya karena sudah menyingkirkan rasa formal itu lebih dulu. “Sendirian? Atau sama pak Jaya juga?”
“Ohh, sama temen, lagi liburan,” jawab Thea. “Gak sama keluarga.”
“Temen?” Qai ingin memastikan lagi, kalau teman yang dimaksud Thea bukanlah teman dalam tanda kutip.
“Teman-teman.” Thea tersenyum miring dan mimicking jahil pada Qai karena tahu apa maksud dari pria itu. “Aku rombongan ke sini, mau liburan.”
“Tapi, ada ‘temen’nya gak?” Qai berujar memasang wajah jahil.
Thea tergelak seketika melihat wajah jahil itu sekaligus sikap ramah Qai kepadanya. “Belum ada, masih enak sendiri.”
“Waah, saya ada peluang dong, ya!” Qai sampai tidak yakin, kalau kata-kata barusan terlontar dari mulutnya. Tidak biasanya ia bersikap seperti ini kepada seorang wanita, terlebih, wanita itu baru pertama kali ini ditemuinya.
Sepertinya, Qai juga butuh liburan untuk merefresh otaknya.
“Peluang itu, selalu ada di mana-mana,” ungkap Thea berseringai kecil dan tampak sedikit nakal dan mengundang bagi Qai. “Tinggal kitanya aja, bisa memanfaatkan itu peluang itu, atau gak.”
Qai seolah mendapat lampu hijau di sini. Secara tidak langsung, Thes telah membuka sedikit celàh untuk meraih peluang tersebut.
“Waw, so, how ‘bout dinner?” tembak Qai langsung memanfaatkan peluang yang sudah diberi Thea untuknya. “Would you mind?”
Bibir tipis Thea itu mencebik dengan anggukan. “Oke.”
Mendapat angin segar, Qai segera mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya. Membuka kunci pengamannya dan menyerahkan benda persegi tersebut pada wanita itu.
Thea yang sudah mengerti maksud Qai, langsung mengambil ponsel tersebut dan mengetikkan nomor ponselnya di sana, lalu menyimpannya.
“Call me anytime,” kata Thea lalu menyodorkan kembali benda pipih itu pada Qai. “Kalau gak diangkat, chat aja. Mungkin aku lagi tidur, atau gak di kamar mandi.”
“Oke!” seru Qai tersenyum kecil melihat kembali nomor yang sudah Thea simpan dengan nama ‘Beautiful’ di ponselnya. “Beautiful,” ujar Qai membaca layar ponselnya.
“Well, boleh aku ganti namanya?” tanya Qai.
“Mau diganti? Gak cocok ya?” senyum yang tadinya tertarik lebar, kini seolah dipaksakan.
“Ya, gak cocok,” ujar Qai yang semakin membuat senyum di wajah Thea itu pudar.
“Terus, yang cocok apa?” tanya Thea kembali menarik senyum yang terlihat jelas kalau dipaksakan.
“My Other Half.”