Qai bersiul panjang ketika melihat penampilan Thea yang begitu menakjubkan. Wanita itu memakai halter neck dress berwarna navy, dan menampilkan punggung terbukanya. Belum lagi, seluruh surai ikal wanita itu, diikat menjadi satu hingga benar-benar mengekspos leher jenjang yang begitu menggoda. Iman Qai bisa saja runtuh dalam sekejap mata, jika terus-terusan memandang Thea seperti sekarang.
“Silakan.” Qai menarik kursi untuk Thea duduki terlebih dahulu.
Qai yang tidak ingin membuang waktu, siang tadi langsung menelepon Thea untuk mengajaknya makan malam. Gayung bersambut, Thea tidak menolak dan mereka membuat janji makan malam di rooftop hotel, tempat keduanya menginap.
“Makasih,” ucap Thea lalu duduk di tempat yang sudah disediakan oleh Qai.
“Temen-temen kamu gak papa ditinggal ngedate gini?” tanya Qai setelah keduanya memesan makanan masing-masing pada sang pelayan.
“Ngedate?” balas Thea lalu terkekeh kecil untuk menanggapi ucapan Qai. “Jadi, kita ngedate nih ceritanya?”
“Iyalah,” jawab Qai cepat. “Aku single, kamu single. Jadi pas aja, kan?”
Thea kembali terkekeh, Qai sepertinya bukan orang yang suka berbasa-basi. “Gombal, emang tahu dari mana, kalau aku single?”
“Kalau gak single, ngapain kamu ada di sini sama aku sekarang?”
Bibir bawah Thea itu mencebik geli. “Tapi aku gak yakin kalau kamu single.” Bisa saja, kan, Qai ternyata sudah memiliki seorang kekasih di Jakarta. Sementara di Bali, pria itu kini tengah bersenang-senang dengan Thea.
Qai mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya, lalu menyodorkan pada Thea setelah membuka kuncinya. “Kamu boleh periksa hape, The. Gak ada apa-apa di dalamnya.”
Thea mengerjap sejenak. Baru kali ini, ia menemukan pria yang membebaskannya untuk membuka ponsel, yang biasanya menjadi penyebab pertengkaran Thea dahulu kala dengan kekasihnya.
Sementara itu, Qai malah membiarkan Thea untuk memeriksa ponselnya sesuka hati.
“Aku gak nyembunyiin apapun,” lanjut Qai untuk meyakinkan Thea. “Hapeku cuma satu, dan kamu boleh cek chat, sosmed, atau apapun yang kamu mau lihat di sana.”
Diperlakukan seperti ini, membuat hati Thea merasa sedikit tersanjung, Namun, ia juga tidak boleh lengah. Siapa tahu, semua ini merupakan salah satu cara Qai untuk merayu seorang wanita.
Tidak ingin dianggap lancang karena ini baru makan malam pertama mereka, Thea menyodorkan kembali ponsel Qai kepada pria itu.
“Aku percaya,” ucap Thea dengan senyum kecilnya. “Habis makan malam mau ke mana?”
Qai mengangkat kedua bahunya sebentar. “Aku free malam ini, kamu mau ajak ke mana pun boleh.”
“Memang besok udah gak bisa?”
“Jadwalku full,” jawab Qai. “Aku ke sini, kan, tugas, bukan untuk liburan. Harusnya aku datang besok, tapi sengaja berangkat hari ini karena pas jatah libur kantor. Biar bisa refreshing tipis-tipis.”
Bibir tipis Thea itu sedikit terbuka dengan anggukan paham. “Kata papa, kamu itu wartawan ya? Jadi, ke sini mau liputan?”
Mendengar Thea tiba-tiba membicarakan Jaya, Qai lalu menegakkan tubuh untuk bisa berbicara sedikit serius. Itu berarti, Jaya sempat membicarakan dirinya dengan Thea.
“Pak Jaya, ada cerita apa memangnya?”
Satu bahu Thea itu terangkat sekilas. “Gak ada, sih. Aku cuma tanya pas sarapan waktu itu.”
“Kira-kira, aku masuk jadi kriteria menantu papamu, gak, sih, The?”
Sudut bibir Thea itu terbuka dan terkikik geli. “Tanya ke papalah, jangan ke aku?”
“Kalau kamunya, gimana? Setelah pacaran sama artis, memang mau sama aku, yang bukan orang terkenal?”
“Kamu itu, tipe-tipe yang suka langsung nabrak, ya. Gak mau jalan dulu pelan-pelan,” kekeh Thea.
“Bukannya perempuan butuh kepastian? Dan aku mau ngasih kepastian itu sama kamu. Ngapain pacaran lama-lama, ngabisin waktu, tenaga, terus putus?”
Thea merasa sedikit tersinggung di sini, karena semua yang dikatakan Qai adalah benar. Dan, seperti itulah kisah percintaan Thea sebelumnya. Sekian tahun menjalin kasih dan menguras waktu juga tenaga, mereka berakhir putus.
“Nyinggung aku, nih, ceritanya?”
“Betul sekali!” Satu sudut bibir Qai tertarik tipis. “PDKT itu, gak perlu lama-lama menurutku. Kalau sudah cocok, tinggal panggil penghulu, kan?”
“Duuh yang ngebet pengen kawin,” balas Thea cepat. Thea tidak ingin bertidak terlalu cepat.
Bukannya tidak ingin menikah, tapi, Thea belum terlalu mengenal pria itu sama sekali. Namun, Thea salut, karena Qai sudah menunjukkan keseriusannya dari awal. Bagi Thea, hal itu sudah termasuk nilai plus di matanya. Mereka berdua hanya membutuhkan waktu lebih lama lagi untuk saling mengenal untuk saling memahami antara satu dengan yang lain.
“Nikah, Thea.” Qai meralat. “Kalau kawin, malam ini juga bisa dan kita gak butuh penghulu untuk itu. Cuma butuh satu kamar, dan selesai.”
—
Bagi Thea, makan malam kali ini sungguh menarik dan tidak membosankan. Qai bisa diajak bicara dengan berbagai topik dan tidak jarang juga mereka melakukan perdebatan di dalamnya. Sampai di sini, pria itu memang sudah mengambil perhatian Thea.
“Mau masuk,” tawar Thea ketika Qai mengantarkannya ke kamar setelah makan malam. “Anak-anak lagi main di luar sana, paling malam baru datang, atau besok pagi.”
“Mereka clubbing?”
“Gak tentu, kadang yaa, clubbing, kadang main-main aja gak jelas gitu,” terang Thea seraya mengeluarkan key cardnya dari dalam clutch bagnya.
“Dan, kamu ditinggal sendiri?” tanya Qai lagi.
Thea mengangguk lalu menempelkan key card tersebut pada handle pintu lalu membukanya. “Karena aku ada janji makan malam sama kamu. Mau masuk sebentar?” tawar Thea sekali lagi.
“Kalau gak bisa sebentar gimana, The?”
Thea berseringai kecil menatap Qai. “Memang, biasanya tahan berapa lama, sih?” Thea membalik tubuhnya lalu masuk ke dalam dengan kekehan kecil.
Qai yang merasa dipancing hanya ikut terkekeh dengan menggelengkan kepalanya. Berpikir sebentar, lalu dengan cepat ia menyelipkan tangan untuk mencegah pintu kamar Thea itu tertutup rapat.
Pada akhirnya, Qai menyusul wanita itu masuk ke dalam kamar. Menghampiri Thea yang sudah duduk di sofa dan tengah melepas kedua high heelnya satu persatu.
“Temen-temen kamu gak papa? Kamu tinggal makan malam sama aku?” Qai menyandarkan tubuhnya di sofa lalu menoleh untuk menatap Thea. Dalam jarak dekat seperti ini, Thea semakin terlihat menakjubkan.
Pikiran nakal Qai sebagai pria normal sudah menari-nari di kepala. Membayangkan sebuah hal intim yang bisa saja mereka lakukan jika berdua seperti sekarang.
“Gak papa, nyantai aja,” balas Thea juga menyandarkan tubuhnya pada punggung sofa dan menoleh pada Qai. “Yang lain juga ada yang jalan sama pacarnya, kok.”
“Dan kamu? Jalan sama siapa?” pancing Qai.
“Teman,” jawab Thea cepat tanpa melepaskan tatapannya dengan Qai.
“Jadi, cuma teman?” tanya Qai kembali memancing Thea.
Thea memutar tubuhnya lalu menekuk satu kakinya di atas sofa. Dress yang dipakainya otomatis tersingkap semakin ke atas dan menampilkan paha mulus yang benar-benar menggelitik iman Qai.
“Terus, kamu maunya apa?” Thea bertanya balik.
“Mau kamu.” Qai memajukan wajahnya dan berhenti tepat ketika bibir keduanya hampir bersentuhan dan ia memang sengaja melakukannya. “Boleh?”
Thea bergeming. Terkesiap dengan perlakuan yang menurutnya tidak biasa dari Qai. Kalau pria lain, Thea yakin bibirnya saat ini pasti sudah dilahap dengan begitu rakusnya. Namun, Qai berhenti tepat di depan wajahnya dan tidak melakukan hal apapun.
Akhirnya, karena frustrasi dengan perbuatan Qai dan menginginkan sesuatu yang lebih dari pria itu, Thea pun mengangguk. “Boleh.”