Sepertinya, sejak saat ini hari-hari Qai akan lebih berwarna. Setelah pertemuan intimnya kemarin malam bersama Thea, Qai benar-benar akan memantapkan semua rencananya.
Qai akan memanfaatkan kedekatannya dengan Thea, untuk bisa membujuk Jaya. Intinya, Qai akan melakukan segala cara, untuk menghancurkan Lingga berikut dengan perusahaan pria itu.
Qai berjanji, akan membuat pria itu berlutut dan meminta maaf di depan makam ibunya. Terutama Willa, wanita tua yang menjadi pangkal seluruh masalah yang ada.
Meskipun Qai tidak mengerti tentang andil Lingga di sini, tapi pria paruh baya itu sudah terlanjur membuat hatinya patah. Untuk itulah, Qai sudah tidak peduli lagi meskipun ayah kandungnya itu, tidak ada sangkut pautnya dengan fitnah yang dilemparkan Willa kepada Alina.
Qai, hanya ingin seluruh keluarga itu, hancur!
Mengingat, betapa susahnya hidup Qai dan sang ibu ketika ia masih bersekolah dahulu kala. Meskipun ada uang 500 juta yang dibawa Alina pergi, tetap saja sebagai seorang orang tua tunggal Alina tidak bisa menghabiskannya begitu saja. Alina harus berhemat, karena uang tersebut benar-benar digunakan untuk biaya pendidikan Qai seorang.
Bagaimana Alina bisa mencari kerja, jika ijazah dan surat-surat penting miliknya tidak diberi oleh Willa.
Sungguh, mengingat itu semua hanya membuat darah Qai semakin mendidih dan ingin membunuh seluruh keluarga itu sekaligus.
Qai yang baru saja merebahkan tubuh lelahnya di atas tempat tidur mendengar suara ponselnya berdering singkat. Qai merogoh saku jaketnya, lalu melihat Thea telah mengirim sebuah chat untuknya.
“Masih di venue?”
Qai segera mengetikkan sesuatu dengan segera setelah membaca chat dari Thea.
“Sudah di kamar.”
Terkirim dan sudah terbaca. Tidak ada balasan lagi, Qai pun beranjak untuk membersihkan diri di kamar mandi. Qai berniat mandi dengan cepat, lalu segera mengistirahatkan tubuhnya, agar besok bisa kembali mengikuti pertemuan yang akan diadakan satu hari penuh.
Qai yang baru selesai mandi, kembali mendengar ponselnya berdering dan kali ini sedikit lebih lama. Senyum Qai mengembang ketika membaca nama yang tertera di sana.
“Thea,” gumam Qai lalu segera mengangkat telepon dari wanita itu.
“Masih di kamar?” tanya Thea di seberang sana.
“Masihlah, memang mau ke mana lagi,” balas Qai dengan satu tangan lagi tengah mengusap surai basahnya dengan handuk kecil.
“Ini lagi ngapain?” tanya Thea lagi.
“Habis mandi, capek banget!” jawab Qai lalu duduk di tepi ranjang dan menyandarkan tubuhnya pada headboard. “Butuh tukang pijat sepertinya.”
“Umm … tukang pijatnya sudah di depan pintu, bukain gih.”
Qai mengerjap. Langsung menjauhkan ponselnya dari telinga. Menatapnya sebentar lalu beranjak untuk memastikan ucapan Thea.
Benar saja, saat Qai membuka pintu kamar, wanita itu sudah tersenyum begitu manis kepadanya. Midi dress dengan tali spaghetti yang dipakai malam ini oleh Thea, sungguh terlihat pas di tubuh wanita itu.
“Kalau didiemin aja, aku balik kamar deh,” ancam Thea dengan mencebikkan bibirnya.
Pria mana yang akan membiarkan gadis secantik Thea lewat begitu saja. Qai hanya tercenung sesaat karena begitu mengagumi semua pesona yang dipancarkan oleh wanita itu.
Tidak ingin menyia-nyiakan moment yang ada, Qai menarik tubuh Thea dengan cepat dan langsung menutup pintu kamarnya. Detik berikutnya, Qai dengan cepat menghimpit tubuh Thea ke dinding.
“Apa, aku harus bikin tanda di sepanjang leher dan dadàmu, supaya kamu gak pake baju begini lagi di depan umum?” Qai berbicara tepat di depan bibir Thea tanpa menyentuhnya sama sekali.
Thea menelan ludah. Merasa Qai kembali memancing dan menyiksanya dalam satu waktu. Lagi-lagi, Qai hanya menempatkan bibirnya di depan bibir Thea tanpa memagutnya sama sekali.
Untuk itu, Thealah yang kali ini berinisiatif untuk merangkum bibir Qai terlebih dahulu. Hingga lenguhan itu, tanpa sadar meluncur dari bibir mereka berdua.
“Kamu, udah mulai posesif ya,” kata Thea ketika keduanya menarik diri untuk mengambil napas.
Qai tersenyum miring untuk merespons Thea. Menarik pinggang ramping tersebut agar menempel pada tubuhnya. “Aku berhak untuk itu, kan?”
Qai menurunkan tali tipis yang berada di pundak Thea dengan telunjuknya.
“Jarinya jangan nakal, deh,” seloroh Thea tapi tidak mencegah apapun yang dilakukan Qai kepadanya.
Qai berseringai lalu memajukan wajahnya untuk membisikkan Thea sesuatu. “Jariku bahkan bisa lebih nakal dari pada ini.”
Qai sendiri tidak mengerti, mengapa dirinya bisa hilang kendali seperti ini jika bersama Thea. Andai, kemarin malam tidak ada teman Thea yang datang, Qai tidak tahu apa yang akan terjadi padanya dan wanita itu di kamar tersebut.
Dan … sekarang. Wanita itu malah datang ke kamarnya seolah ingin melanjutkan hal yang sudah tertunda kemarin malam.
Thea kemudian terkekeh geli, karena Qai menggesekkan rahang yang ditumbuhi bulu-bulu halus itu di sekitar lehernya. “Geli, Qai!”
“Kamu yang minta, kan,” gumam Qai tetap melanjutkan aksinya di sekitar leher Thea yang pasrah saja dengan semua yang Qai lakukan.
“The …” lirih Qai ketika menarik diri, dan memandang Thea dengan penuh hasrat.
“Hem ….”
“Pulang dari sini, aku mau lamar kamu.” Qai sudah memikirkannya matang-matang tentang hal ini, sejak kembali dari kamar Thea. Dengan menjadi menantu Jaya, pria paruh baya itu pasti tidak akan segan memberi Qai kepercayaan penuh untuk mengurus Angkasa Media.
Jika Qai hanya orang luar, tindak tanduknya pasti akan terbatas. Untuk itulah, demi melancarkan semua misinya, Qai nekat ingin melamar Thea dan menjadikan wanita itu sebagai istrinya.
Wajah semringah Thea tiba-tiba berubah datar ketika Qai membicarakan mengenai lamaran. “Secepat itu?”
“Ah.” Qai benar-benar menarik dan menjauh ketika melihat perubahan wajah Thea. Memutar tubuh dan berjalan menuju tempat tidur. “Kamu gak mau rupanya.”
“Bu-bukan, Qai.” Thea buru-buru menyusul Qai yang baru saja duduk di tepi tempat tidur.
“Apa aku harus jadi artis dulu, The?”
Thea menaikkan tali spaghetti kembali ke pundak terbukanya. “Kita, baru ketemu kemarin dan minggu depan kamu sudah mau lamar aku? Apa gak terlalu cepat? Kita perlu waktu untuk saling mengenal.”
“The … aku baru ngelamar, bukan langsung mau nikah hari itu juga,” terang Qai meraih satu tangan Thea dan mengecup punggung jemari wanita itu dengan lembut. “Aku cuma mau ngikat kamu dulu. Urusan nikah, kita bisa bicarakan setelahnya sambil jalan. Tapi, aku sudah siap kapan pun kamu minta.”
“Kenapa?” tanya Thea masih sedikit bingung karena baru kali ini ada pria yang langsung membicarakan pernikahan dengannya. “Kenapa kamu yakin mau nikah sama aku? Kita belum kenal sampai sedalam itu.”
“Oh, jadi kamu suka yang dalam-dalam,” seloroh Qai untuk menggoda Thea.
“Qai, ih!” Tangan Thea langsung menyasar keras pada lengan pria itu dengan cemberut. “Lagi serius ini, jangan dibelokin ke mana-mana.”
“Lah, aku serius itu, The,” kata Qai tapi wajahnya tertawa geli. “Yang dalam-dalam itu tadi, juga termasuk hal penting yang harus dibicarakan kalau kita nikah nanti.”
“Di mana seriusnya, kalau kamu aja ketawa gitu.” Thea menghempas tubuhnya di atas ranjang, dengan kedua kaki yang masih menggantung. Melipat kedua tangannya di atas perut, lalu menoleh pada Qai.
“Aku serius!” seru Qai sekali lagi dan ikut merebahkan diri di samping Thea, dengan memiringkan tubuhnya. “Menikah, gak cukup dengan yang namanya cinta, harus ada trust, loyalty dan urusan yang dalam-dalam tadi.”
Tubuh Thea berguncang kecil mendengar ucapan Qai. Terkekeh kecil lalu Ikut memiringkan tubuhnya agar bisa memandang pria itu dengan leluasa. Menyatukan kedua telapak tangannya untuk dijadikan bantal. “Jadi … sedalam apa?”
Qai tersenyum lembut. Tangannya terjulur untuk merapikan surai Thea yang sedikit berhambur di wajah cantiknya. “Lumayanlah, bisa bikin kamu nyebut namaku semalaman.”
“Yakin?” tantang Thea.
“Yakin, tapi tunggu sah dulu, ya!” Qai mencubit hidung mancung Thea dengan begitu gemas. “Aku bisa lakuin apapun sama kamu The, tapi gak untuk yang satu itu.”
Thea lantas mengerjap dengan wajah yang kembali berubah datar. “Qai, jangan berekspektasi terlalu tinggi denganku. Karena aku gak sebaik yang kamu pikirkan.”
“I know what you mean, The.” Tentu saja Qai sudah tahu bagaimana pergaulan Thea selama ini. Terlebih gaya pacaran wanita itu dengan mantan kekasihnya yang berprofesi sebagai selebriti dahulu kala. “Dan aku gak ada masalah dengan itu.”
“Kamu yakin dan sadar kalau gak akan permasalahin hal itu?”
“Nope!” Qai memajukan wajahnya untuk memagut bibir Thea begitu dalam. “People make mistakes and no body perfect. So do I.”
“Jadi …”
“Jadi, ayo kita nikah kalau kamu pengen merasakan yang dalam-dalam tadi.” Qai lantas melipat bibirnya untuk menahan tawa.
“QAI!”