Benerin Ikat Pinggang

1105 Kata
Sesibuk-sibuknya Qai di Bali, ia pasti menyempatkan diri untuk membalas chat dari Thea. Namun, Qai sudah mengatakan lebih dulu kepada Thea, kalau Qai akan sangat sibuk beberapa hari ke depan. Untuk itu, Qai meminta Thea untuk tidak salah paham jika Qai tidak membalas chat dari Thea secepat mungkin. Bersyukur, karena Thea yang juga memiliki kesibukan dengan pekerjaannya di Jakarta, bisa memahami itu semua. Ia tidak banyak menuntut karena tahu dengan kondisi pekerjaan masing-masing. Lantas, Qai yang tadinya ingin memperpanjang liburannya di Bali setelah tugasnya selesai segera mengurungkan niatnya. Saat ini, sudah ada Thea yang menunggunya di Jakarta dan Qai seakan kembali memiliki tujuan hidup. Wanita itu pun, menawarkan diri untuk menjemput Qai di bandara. Tidak mengizinkan kekasihnya pulang ke rumah dengan menaiki taksi. “Aku ke rumahmu besok, ya,” kata Qai yang sudah duduk di belakang kemudi. Bersiap membawa mini cooper Thea keluar dari bandara. “Gercep amat,” cebik Thea dengan menahan senyumnya. “Sudah kubilang, kan, kalau kamu mau nikah sekarang, aku, ya, ayok aja!” seloroh Qai sudah membulatkan tekadnya untuk menjadikan Thea pendamping hidupnya. Thea sedikit memutar tubuhnya. Bersandar pada punggung jok lalu menekuk kedua kakinya ke atas. “Aku sudah bilang sama papa kalau kita sedang menjalin hubungan serius.” “Oya?” Qai menoleh sebentar pada Thea. Sedikit tidak percaya kalau Thea sudah mengatakan hubungan mereka pada sang papa. Tadinya, Qai akan mengatakannya sendiri pada Jaya kalau dirinya tengah menjalin hubungan dengan Thea dan ingin melamar wanita itu. Akan tetapi, justru Thealah yang lebih dahulu mengatakan hal tersebut pada Jaya. “Terus, papa kamu bilang apa?” “Kata papa, kamu itu gak serius sama aku.” Thea memanyunkan bibirnya ketika mengingat lagi pembicaraannya dengan sang papa. Jaya seolah bersikap skeptis, ketika mendengar Thea tengah menjalin hubungan serius dengna Qai. Wajah Qai mengernyit bingung. Kenapa Jaya sampai mengatakan hal seperti itu kepada Thea. Bagaimana, Jaya bisa menyimpulkan kalau Qai tidak serius dengan putrinya, padahal mereka saja belum bertemu untuk membicarakan masalah hubungan yang ada. “Kenapa papamu bisa bilang begitu?” “Papa bilang, kamu mau ambil alih Angkasa Media. Makanya kamu deketin aku.” Thea menjawab apa adanya. Seperti yang telah dikatakan oleh Jaya kepadanya. Tidak lebih, tidak juga kurang. Karena itulah, Thea ingin meminta penjelasan langsung dari Qai. Qai memutar otak sejenak. Sepertinya, ada sedikit batu sandungan yang akan menghadangnya ke depan. Yang terpenting sekarang ialah, meyakinkan Thea terlebih dahulu. Setelah kepercayaan Thea sudah jatuh di tangannya, barulah Qai akan mengurus Jaya belakangan. “Ada sedikit miss di sini, The.” Bagaimanapun juga, langkah pertama ialah meraih simpati dan kepercayaan Thea. “Aku memang minta papamu untuk menyerahkan Angkasa sama aku. Tapi, semua saham dan kepemilikan Angkasa, kan, tetap sama papamu. Jadi, aku gak dapat apa-apa selain gaji bulanan. Itu pun, aku yakin kalau gaji yang aku terima dari Angkasa nantinya, pasti jauh lebih kecil dari pada gajiku di Glory.” Thea semakin tidak mengerti. Kalau memang gaji yang diterima Qai dari Glory lebih besar, mengapa pria itu ingin pindah Angkasa Media? Bukankah pekerjaannya saat ini sudah cukup stabil? Atau, Qai tengah memiliki masalah dengan salah satu rekan kerjanya di sana. “Terus kenapa kamu milih Angkasa kalau tahu gajimu lebih kecil?” tanya Thea menyelidik. Ingin menguak rasa penasaran yang kini ada di hatinya. “Aku mau buat perusahaan yang bisa bersaing dengan Glory, kalau bisa lebih besar dari Glory,” jelas Qai dengan perlahan. “Kenapa Angkasa? Karena dari beberapa media, aku ngelihat cuma Angkasa yang gak punya sebuah prinsip. Jadi, maksudnya, Angkasa itu gak punya ciri khas yang bisa ditonjolkan ke publik. Kenapa gak punya ciri khas? Karena belum ada tangan dingin yang mengolahnya.” Thea bisa paham sampai di sini. Semua yang dijelaskan Qai barusan, cukup masuk di akal. “Dan, kamu yakin kamu bisa bersaing dengan Glory?” Thea ingin tahu, seambisius apa Qai ingin mewujudkan ucapannya itu. “Yakin, karena itu aku minta papamu untuk cari tahu siapa aku. Juga bagaimana dengan track record aku selama ini,” terang Qai lebih hati-hati ketika memberi penjelasan pada Thea. Ia tidak ingin keceplosan dengan niat terselubung yang ada di balik ambisinya itu.  “Sekarang, aku balik tanya sama kamu. Misal, pada akhirnya aku dikasih kepercayaan sama papamu untuk mengelola Angkasa, apa kamu masih mau jalan sama aku, The?” “Kenapa gak? Emang di mana masalahnya?” “Masalahnya, gaji yang aku terima nantinya mungkin gak seberapa besar, dari yang aku dapat sekarang.” Qai berusaha membuka semua masalah diawal, agar ke depannya, mereka tidak akan lagi membahas tentang ketimpangan pendapatan yang mungkin saja terjadi nantinya. “Mungkin, selama merintis, aku gak bisa ngajak kamu ke tempat mewah dan makan di restoran yang wah,” lanjut Qai. “Jadi, bersakit-sakit dahulu, dan aku harap, kita bisa cepat bersenang-senang kemudian.” Qai memang sudah menyusun rencana sedemikian rupa untuk Glory. Jadi, bersiap saja, jika waktunya telah tiba, Qai akan membuat Glory carut marut dalam sekejap mata. Di mata Thea, Qai sudah menunjukkan keseriusannya dari awal. Apalagi, sih, yang diharapkan seorang wanita seperti Thea, kalau bukan sebuah kepastian dan keseriusan. Thea sudah lelah menjalin cinta tanpa kata pasti. Untuk itulah, ketika Thea melihat kesungguhan Qai menjalani hubungan ini, maka Thea tidak bisa melepaskan pria itu begitu saja. Terlebih, sikap Qai yang benar-benar gentle dan tidak mengambil sebuah ‘keuntungan’  darinya selama di Bali, cukup membuat Thea yakin, kalau Qai adalah pria yang baik. Hanya saja, masih ada satu yang mengganjal di hati Thea. Entah mengapa, Thea yakin kalau Qai masih memiliki sebuah alasan lagi, dibalik semua alasan yang sudah pria itu berikan pada Thea. “Kalau kamu yakin bisa membesarkan Angkasa dan menjadikannya sebesar Glory, aku bakal ngedukung kamu, Qai,” terang Thea. “Aku bakal bantu kamu untuk bujuk papa—“ “Jangan,” sergah Qai tidak ingin Thea ikut campur dalam pengambilan keputusan yang diambil oleh Jaya nantinya. “Biarkan papamu sendiri yang memutuskan, tanpa ada campur tangan dari kamu, The. Aku mau, papamu benar-benar yakin dengan keputusan yang diambilnya tanpa ada intervensi dari mana pun. Terutama dari orang terdekatnya.” Thea menarik napas seraya memandang kagum pada pemikiran Qai. Bagaimana bisa, Thea melepas pria seperti Qai dari hidupnya. Meskipun terhitung baru mengenal Qai, tapi, Thea saat ini sudah yakin, kalau dirinya ingin menjalani hidup bersama dengan pria itu. “Oke, aku gak bakal ngomong apapun sama papa,” ungkap Thea. “Tapi, andai papa nanti bener-bener ngasih Angkasa ke tangan kamu, aku boleh, ya, jadi sekretarisnya.” Qai sontak tergelak mendengar permintaan manja dari Thea. “Kalau kamu jadi sekretarisku, aku bisa gak kerja-kerja, The. Tiap detik maunya manggil kamu ke ruangan buat benerin ikat pinggang.” “Qai!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN