Mencari Kelemahan

1600 Kata
Qai mengangkat wajah ketika mendengar pintu kaca ruang kerjanya di ketuk. Ada Hera yang tersenyum lembut lalu masuk dan lebih memilih untuk duduk di sofa, yang berada di samping pintu. “Bukannya hari ini libur?” tanya Qai lalu berdiri dari kursi kebesarannya untuk menghampiri Hera. Duduk di samping wanita itu dan memberi jarak sekitar setengah meter. “Ngapain ke kantor?” “Lagi gak ada kerjaan aja, makanya main-main ke kantor,” jawab Hera lalu menyilangkan kaki sambil menatap Qai. “Gak bawa oleh-oleh dari Bali, nih, Mas?” Seketika Qai terkekeh kering menanggapi ucapan Hera. Memijat tengkuknya sejenak karena tidak sedikit pun ia memikirkan tentang buah tangan ketika berada di sana. Selain sibuk menghadiri pertemuan, yang ada di kepala Qai saat ini hanyalah Thea seorang. Jadi, mana sempat ia memikirkan hal lain. “Gak bawa, aku sibuk banget di sana.” Kalau tidak mengingat Hera adalah adik kandungnya, Qai pasti akan bersikap dingin seperti dahulu kala.  Walaupun hatinya dipenuhi rasa benci dengan keluarga sang ayah, tapi Qai masih bisa bersikap lunak pada Hera. Entahlah, mungkin ini hanya karena mereka ternyata memiliki hubungan darah.  Hera menghela kecil. Memasang senyum maklum pada Qai. “Jadi, kapan mulai pindah?” tanya Hera sudah melupakan basa basi mengenai oleh-oleh dari Bali. “Nanti aku bantuin deh, Mas. Kan unit kita deketan.” “Nah, itu! Minggu depan sepertinya,” jawab Qai. “Tapi, gak usah repot-repot, Ra. aku paling cuma bawa baju satu koper. Jadi, gak ada yang perlu dibantu.” “Ya, paling gak, aku bisa bantu masakin kamu, Mas.” Qai terkekeh ringan. “Gak enaklah, masa’ anak pemilik Glory masakin karyawannya.” “Ya, gak—“ Tok tok Suara ketukan pintu kaca itu, kembali membuat Qai menolehkan wajahnya.  “Maaf, Bu Hera,” sapa seorang reporter yang masih berdiri di bibir pintu. “Saya ada perlu sama Mas Qai,” kata sang wartawan lalu menatap Qai. “Mas, sudah selesai, bisa di cek dulu.” “Oh, oke!” Qai menepuk lutut Hera dengan pelan lalu berdiri. “Aku tinggal bentar, mau ngecek halaman.” Hera yang ditinggal seorang diri itu pun, kemudian menarik kesal satu sudut bibirnya. Ia masih merasa, kalau Qai terlalu menjaga jarak darinya. Suara dering ponsel yang berasal dari atas meja Qai, seketika menarik perhatian Hera. Beranjak dari duduknya, Hera lantas menghampiri meja Qai untuk melihat siapa yang menelepon pria itu. Wajah Hera mengernyit penasaran dengan sebuah emosi yang tidak bisa dijelaskan. Hera dapat membaca dengan jelas, tulisan yang kini muncul pada layar persegi tersebut.  “My Other Half” Berikut dengan foto dalam bulatan kecil yang terpampang di sana. Ada seorang wanita yang tengah mencium pipi Qai dan pria itu pun tertawa lepas di dalamnya. Siapa wanita itu? Apa Qai sudah memiliki kekasih selama ini? Tapi, Hera tidak melihat seorang wanita pun yang dekat dengan Qai ketika pemakaman ibunya beberapa waktu yang lalu. Apa itu berarti, Qai baru saja menjalin kasih dengan wanita itu? Tapi, siapa dia? Ck, sepertinya, Hera sudah kecolongan. Ia kira, selama ini Qai tidak memiliki kekasih sama sekali.  Kembali, suara ketukan langsung memecah pikiran Hera. Ia berbalik dan mendapati Rumi dengan penampilan kasual tengah berada di bibir pintu. Gadis itu kini tengah memegang ponsel dan segera menundukkan sedikit tubuhnya untuk menyapa Hera. “Pagi, Bu Hera. Mas Qai ke mana ya? Saya telepon gak bisa-bisa.” Hera tidak menjawa. Kini yang menjadi fokus Hera yakni rambut Rumi yang berwarna kecoklatan itu. Mengapa, sama persis dengan wanita yang terpampang di ponsel Qai barusan? Jangan-jangan, Rumilah yang barusan menelepon Qai, tapi tidak ‘tersambung’ karena ponsel pria itu tergeletak di meja. “Ada perlu apa?” tanya Hera begitu formal. Sama sekali tidak menyematkan senyum di wajahnya. “Saya di suruh ke sini sama mas Qai,” kata Rumi. “Tapi gak tahu mau ngapain.” “Kalian berdua pacaran?” tanya Hera to the point.  “Enggak, Bu,” jawab Rumi dengan cepat sambil mengibaskan kedua tangannya di depan dàda. “Kami gak pacaran?” Wajah Rumi sontak menegang ketika Hera bertanya hal seperti itu. Tidak bisa membayangkan, bagaimana jika Rumi nantinya akan menjadi kakak ipar dari wanita itu.  Andai Alpha tidak meminta Rumi untuk merahasiakan hubungan mereka, Hera mungkin tidak akan salam paham seperti ini. Rumi jadi tidak enak hati, karena menduga bahwa Hera menyukai Qai. “Oke.” Hera mengangguk, tapi tidak bisa percaya sepenuhnya. Awas saja kalau Rumi ternyata memiliki hubungan dengan Qai, Hera akan langsung memecat gadis itu tanpa peringatan apapun. “Mas Qai keluar sebentar, masuk dan duduklah.” Setelah Rumi mengangguk dan menyingkir dari bibir pintu. Hera melenggang keluar ruangan Qai tanpa menoleh, atau sekedar mengucap kata untuk berbasa basi.  — Rumi mencondongkan tubuhnya dengan memasang wajah serius menatap Qai. “Memangnya, data-data itu buat apa, Mas? Kan, Mas Qai bisa langsung minta ke HRD atau bagian keuangan?” Qai yang duduk di kursi kebesarannya itu, memberi senyum hangatnya pada Rumi. “Kalau aku ke HRD atau bagian keuangan, nanti mereka bakal tanya macam-macam, Rum,” jelas Qai yang sudah mulai menjalankan rencananya satu persatu. Jaya memang belum mengambil keputusan. Namun, setidaknya, jika Qai akhirnya menemukan sebuah tempat, apapun itu nantinya. Ia sudah siap untuk berperang dengan Glory sampai titik darah penghabisan. “Lagian, aku cuma butuh data awak redaksi, bukan karyawan secara menyeluruh.” Semalam, Qai menelepon Rumi untuk meminta data lengkap awak redaksi beserta gaji, dan semua tunjangan ataupun utang yang mereka miliki dengan perusahaan.  Qai harus mengetahui gaji mereka, agar bisa menawarkan nominal yang lebih besar dari yang mereka dapatkan di Glory. Setelah mengetahui semuanya, Qai tinggal memutar otak untuk mencari dana dengan mengandalkan berbagai koneksi, dan sponsor yang mau berinvestasi dengan perusahaan yang akan dipegangnya nanti. Intinya, Qai akan menyusun semuanya sampai hal terkecil, hingga tidak meninggalkan cela sama sekali. “Ohh.” Rumi mengangguk saja. Toh hal itu tidak sulit dilakukan olehnya. “Selasa, Mas, ya. Senin aku perbaharui data dulu. Karena ada beberapa yang katanya naik gaji, karena sudah naik jabatan.” “Oke, nyante ajalah. Senin juga aku gak di kantor,” ujar Qai lalu mematikan perangkat komputernya.  “Kalau begini, kan, bisa ngomong di telepon aja, Mas,” decak Rumi lalu menyandarkan tubuhnya pada punggung kursi. “Pake nyuruh dateng segala. Padahal lagi libur, tahu gak! Aku mau nyante, rebahan!” “Yakin gak mau datang ke sini?” Qai tersenyum jahil sambil mengangkat sebuah paper bag dari bawah mejanya. “Ya sudahlah, kamu bisa pulang.” Bibir Rumi memberengut maju, tapi kedua alis rapinya itu tersentak ke atas. “Apa itu?” tanyanya kembali mencondongkan tubuh lalu meraih paper bag putih tersebut dengan rasa penasaran.  Wajah cemberut Rumi itu lantas tersenyum lebar. Mengangkat satu per satu oleh-oleh yang ada di dalam sana. “Ini, buat aku, Mas?” tanya Rumi mengangkat wajah sembari meringis antusias. “Buat kamu,” jawab Qai dengan anggukan. “Kalau gak mau, ya balik—“ “Mau!” putus Rumi melihat satu set produk spa keluaran Bali dan beberapa makanan kecil juga di dalamnya. “Ini semua buat aku, Mas?” “Jangan serakah,” decak Qai, lalu tersenyum ketika melihat wajah bahagia Rumi. Walaupun secara silsilah, Heralah yang memiliki hubungan darah dengan Qai, tapi, ia lebih memiliki rasa sayang lebih kepada Rumi, daripada Hera. “Berbagi dengan temen kos kamu.” Rumi terdiam untuk sejenak. Pria itu tidak tahu, kalau sejak kemarin, Rumi telah pindah ke apartemen yang dibelikan Alpha untuknya. Bahkan dirinya dan Alpha sudah ‘meresmikan’ unit apartemen tersebut, dengan bercinta di hampir di setiap sudutnya. Sungguh, pagi ini Rumi terbangun dengan dengan sekujur tubuh yang terasa remuk. Enggan pergi ke kantor, jika saja bukan Qai yang memintanya. “Iya, iya. Nanti pasti dibagi sama anak-anak,” ujar Rumi berpura-pura merajuk, agar Qai tidak mencurigainya. “Ada lagi yang bisa aku bantu, gak, Mas?” “Selama aku di Bali, ada gosip apa di kantor?”  Rumi yang memang mudah bergaul itu, bisa Qai manfaatkan untuk mendengar kabar miring atau rumor apapun, yang terkadang lepas dari telinganya. Rumi kembali meletakkan paper bag di atas meja dan menggesernya sedikit ke ujung. Kepala Rumi menoleh sejenak ke arah pintu, lalu kembali menatap Qai. “Aku denger, pak Anjas mau ditarik jadi staf kementerian pariwisata, Mas. Nah, kata mas Alpha, para petinggi lagi nyeleksi orang buat gantiin beliau.” Qai mencondongkan tubuh. Menyatukan kedua telapak tangannya di atas meja. “Ada bocoran, siapa aja kandidatnya?” Rumi menggeleng pelan. “Tapi, katanya pak Lingga sendiri yang bakal milih penggantinya,” lanjut Rumi menerangkan seperti gosip yang beredar di atas sana. “Pak Lingga? Dia mau turun langsung?” Kenapa tiba-tiba pria paruh baya itu mau turun langsung untuk menunjuk direktur baru Glory. Biasanya, mereka akan mengadakan RUPS dan akan mengambil suara terbanyak dalam rapat tersebut. “Iya.” Suara Rumi sedikit berbisik. “Katanya bukan dari orang Glory. Beliau mau narik orang luar.” “Orang luar?” tanya Qai mengerut dahi. “Yang aku denger, loh, Mas, ya. Katanya, tuh orang sudah punya pengalaman di perusahaan media di Amrik sana.” Sampai sini, Qai tidak memiliki bayangan sama sekali. Siapa kiranya yang akan diajak Jaya bergabung dengan Glory. Jika memang benar, orang itu memiliki pengalaman di luar negeri, itu berarti akan ada terobosan baru yang akan dilakukan oleh Glory ke depannya. Karena, Lingga pastinya akan  mengadaptasi semua kinerja dan prilaku yang orang itu pernah terapkan ketika masih bekerja di luar negeri. Sepertinya, tantangan kali ini tidak akan mudah bagi Qai. Satu-satunya cara adalah, dengan benar-benar menggebrak dengan memikirkan ide baru dan juga, mencari kelemahan Glory dari dalam. Setelah itu, maka akan lebih mudah menghancurkan perusahaan Lingga ke depannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN