Ruang tamu itu kembali ditempati oleh dua orang pria yang berbeda generasi. Yakni, Qai yang saat ini tengah berhadapan dengan Jaya. Sementara Thea, tengah menunggu di ruang keluarga dengan harap-harap cemas.
Untuk pertama kali dalam hidup Thea, akhirnya ada seorang pria yang datang dan berniat untuk melamarnya. Tidak hanya datang ke rumah, untuk mengajaknya jalan dan berbicara tak tentu arah dengan sang papa.
Wajar rasanya kalau Thea merasakan kegugupan yang tidak terkira.
“Kamu mau memanfaatkan Thea untuk bisa memimpin Angkasa, Qai?” tanya Jaya yang sebelumnya sudah mencari tahu tentang Qai dari awak redaksi Angkasa.
Faktanya, pria yang saat ini duduk di depan Jaya memang memiliki kemampuan untuk memimpin yang sangat mumpuni. Qai yang terkenal dengan tangan dinginnya, selalu berhasil membawa sebuah program mendapat rating tinggi di dalam penyiarannya. Ide-ide yang dikeluarkan pria itu memang sangat inovatif dan sering out of the box.
“Kalau Bapak gak berminat mengalihkan Angkasa ke tangan saya. Itu semua gak masalah,” jawab Qai berusaha sopan dan bersikap setenang mungkin. “Saya ke sini malam ini, gak ada hubungannya sama sekali dengan Angkasa. Saya datang, murni karena punya niat baik untuk melamar anak Bapak.”
“Kamu, cuma redaktur? Kamu punya apa sampai berani-beraninya melamar putri saya satu-satunya?”
“Tanggung jawab,” ungkap Qai dengan mantap. “Secara materi, mungkin saya kalah jauh dari mantan-mantan Thea sebelumnya. Tapi, saya bisa menjamin kalau Thea gak akan kekurangan apapun ketika kami menikah nanti.”
“Wah, wah, percaya diri sekali kamu, ya!” seru Jaya menatap remeh. “Memangnya siapa yang mau menikahkan kamu dengan Thea?”
Qai tetap melukis senyum. Walaupun hatinya kini hendak mengumpat sekeras ia bisa. “Kalau begitu, saya akan tunggu sampai Bapak mau menikahkan kami berdua.”
“Memangnya, Thea mau nunggu kamu?”
“Silakan Bapak tanyakan sendiri dengan Thea,” tantang Qai masih bersikap sopan dan bertutur lembut kepada Jaya.
Qai hanya sedang mengatur strategi. Mengalah sebentar di awal, untuk menang kemudian.
“Kalau aku tetap tidak mengizinkan?” Jaya balik menantang Qai. “Aku berencana menjodohkan Thea dengan anak salah satu pengusaha terkenal.”
“Kalau Bapak tega melihat Thea tidak bahagia, silakan saja.” Kembali, Qai menantang Jaya tanpa segan sama sekali. “Dan saya bisa jamin, kalau hati Thea, tetaplah milik saya.”
Jaya menarik napasnya dengan tersenyum miring. “Apa motifmu, Qai? Jangan coba berkilah karena aku sudah mencari tahu tentang asal usulmu.”
Qai tetap mempertahankan ekspresinya. Tidak mengubahnya barang sedikit pun, agar Jaya tidak melihat sebuah emosi yang tersirat di sana.
“Sejauh mana Bapa tahu tentang saya?”
“Almarhumah ibumu.” Sorot mata jaya menatap tajam. “Sangat mengejutkan saat aku tahu siapa mantan suaminya.”
Qai mengerjab pelan. Ternyata, Jaya sudah menyelidikinya sampai sejauh itu. Oleh sebab itu, Qai rasa tidak ada lagi yang harus ditutupi.
“Kamu mau menggunakan Angkasa untuk balas dendam dengan papamu?” lanjut Jaya sudah tidak ingin berputar-putar lagi. “Kamu mau memanfaatkan saya?”
“Gak ada yang namanya memanfaatkan, kalau nyatanya kita saling menguntungkan,” terang Qai. “Bapak sudah tahu siapa saya, sudah tahu bagaimana kemampuan saya, jadi, pilihan ada di Bapak. Kalau pun Pak Jaya, gak mau saya memimpin Angkasa, saya gak masalah. Karena seperti yang Bapak bilang waktu itu, masih ada beberapa media yang senasib dengan Angkasa. Saya bisa menemui pemilik mereka, jika Bapak memutuskan untuk tidak ingin bekerja sama.”
Qai menjeda kalimatnya sejenak untuk mengambil napas. “Tapi, berbeda dengan masalah Thea, saya akan tetap akan memperjuangkan putri Bapak sampai menikah dengan saya. Jadi, tolong pisahkan antara masalah pribadi, dan ambisi saya untuk membesarkan sebuah media di tangan saya sendiri.”
Entah mengapa, sampai di sini Jaya benar-benar melihat kesungguhan Qai. Hanya saja, masih ada hal yang menggantung di hati Jaya.
“Aku gak mau membuka luka lama, Qai. Tapi ada beberapa hal yang harus aku tanyakan secara langsung,” kata Jaya ingin mengetahui semua hal sebelum ia mengambil keputusan final.
Jaya harus mendengar semua hal dari dua sisi. Ia termasuk orang yang tidak bisa percaya, dengan rumor yang beredar di luar sana.
“Silakan, Pak.”
“Apa yang Lingga perbuat dengan almarhumah ibumu di masa lalu? Apa karena ibumu pernah diusir dari rumah, karena itulah kamu merasa telah dirugikan? Dan kenapa baru sekarang kamu bertindak, tidak dari kemarin-kemarin.”
Qai kembali menarik napas dalam-dalam. Ada sebuah rasa pilu yang langsung menusuk tepat di palung hatinya ketika mengingat bagaimana Alina menceritakan semua kisah di masa lalu.
“Pertama, karena mendiang ibu saya baru menceritakan semuanya sebelum beliau wafat.”
Kemudian, tanpa melebih-lebihkan, Qai menceritakan semua hal yang diurai oleh Alina kala itu kepada Jaya. Qai juga bercerita, bagaimana Lingga menolaknya dan tidak ingin mengakui Qai sebagai darah dagingnya.
“Saya, memang belum melakukan tes DNA untuk membuktikan kalau saya anak kandung Lingga Mahawira. Tapi, saya yakin kalau mendiang ibu saya, gak akan bohong untuk itu, Pak.”
“Tak perlu tes DNA.” ujar Jaya. “Kalau diperhatikan lagi benar-benar, kamu memang punya kemiripan dengan Lingga. Sifat licik dan keras kepalamu itu, juga warisan dari dia.”
Entah, Qai harus menganggap kalimat sarkas itu sebagai pujian, atau sebuah celaan bagi dirinya. Namun, Qai dapat merasa lega karena akhirnya ada yang mengakui dirinya sebagai anak dari Lingga Mahawira. Meskipun, tidak ada yang bisa ia banggakan terkait hal tersebut.
Setelah mendengar semua penjelasan Qai, Jaya masih harus mendengar apa yang akan pria itu lakukan dengan Angkasa.
“Jelaskan, apa rencanamu, kalau aku menyerahkan Angkasa di bawah kepemimpinanmu.”
Sekali lagi, Qai tidak ingin menunjukkan ekspresinya di depan Jaya, agar pria itu tidak bisa membaca apa yang tersirat dari emosi Qai saat ini.
Lantas, dengan detail Qai menjelaskan semua rencana yang akan dilakukannya dengan Angkasa. Namun, Qai tidak memberitahu kalau dirinya juga akan menghancurkan Glory dari dalam terlebih dahulu. Semua kelicikan tersebut, biarlah ia simpan dan lakukan dalam diam.
Jaya hanya perlu tahu, tentang visi misi yang akan dilakukan Qai untuk mengubah Angkasa agar lebih maju ke depannya.
“Semua kesuksesan itu berproses, Pak, dan saya yakin, dalam proses itulah kita bisa mengembangkan Angkasa agar bisa lebih maju lagi.”
“Seberapa yakin?” tantang Jaya.
“Kalau Bapak bisa menyokong saya sepenuhnya, maka saya tidak akan mengecewakan Bapak sama sekali.”
“Senin pagi, datang ke Angkasa dengan membawa rancangan kerja yang kamu punya,” titah Jaya kemudian berdiri dari kursinya. “Presentasikan semuanya secara detail, dan kita lihat, apa kamu mampu membuat saya menyerahkan kepemimpinan Angkasa sama kamu.”
Qai juga langsung ikut berdiri untuk menghormati Jaya. “Maaf, Pak Jaya. Bukan ingin menolak, tapi saya gak bisa menginjakkan kaki di Angkasa, sebelum saya bisa memastikan akan menjatuhkan Glory dari dalam.”
Jaya terdiam. Memikirkan maksud lain dari ucapan Qai. Pantas saja pria itu yakin akan bisa membesarkan Angkasa dan menyaingi Glory. Ternyata, Qai sungguh-sungguh memperhitungkan semua rencananya dengan detail.
“Senin pagi, biar saya datang langsung ke sini dan menjelaskan semua rancangan saya dengan Bapak,” pinta Qai.
“Jam enam pagi,” balas Jaya yang akhirnya bisa mengerti dengan permintaan Qai.
“Terima kasih, Pak,” jawab Qai dengan semangat dan reflek merundukkan tubuhnya. “Boleh saya ajak Thea keluar?”
Detik itu juga Jaya mendengkus menatap Qai. “Untuk masalah Thea, saya masih belum bisa kasih keputusan. Jadi jangan senang dulu!”
“Saya akan tunggu, sampai Bapak siap!”
Jaya berdecak dengan gelengan. Meninggalkan Qai tanpa berkata-kata lagi.
Tidak berselang lama, Thea keluar dengan melukis senyum lebar di wajahnya. Tanpa segan, ia langsung menghampiri Qai dan memeluk pria itu.
“Astaga The, kalau kangen jangan disini.” Qai membolakan maniknya dengan lebar. Berusaha melepas tangan Thea yang mengalung pada tubuhnya. Kalau Jaya melihat hal ini, bisa-bisa gagal semua rencananya ke depan. “Aku bisa diusir papa kamu, nanti.”
“Papa udah di dalam.” Thea terkikik geli lalu melepaskan pelukannya. Meraih tangan Qai lalu menariknya keluar secepat mungkin. “Ayo, buruan kita jalan. Kata papa jam sepuluh sudah harus ada di rumah.”
“Cuma sampe jam sepuluh?” Qai bertanya balik lalu mempercepat langkah kakinya. Kedua tangan itu setia menggamit mesra, sepanjang pelataran teras kediaman Jaya.
Qai membukakan pintu mobil bagi Thea terlebih dahulu. Setelah wanita itu masuk dan duduk manis di dalam sana, Qai membungkuk lalu meraih tengkuk Thea. Memagut benda lunak itu dengan penuh kerinduan.
“Ini malam minggu. Gak bisa nyulik kamu sampai pagi, gitu?” Qai tersenyum jahil ketika baru saja menarik diri dari pagutan panas mereka
“Boleh, kalau kamu mau digorok sama papa.”