“Besok, aku mau ajak kamu lihat apartemen,” ujar Qai setelah menyudahi makan malamnya. “Mungkin, kalau gak terlalu sibuk, minggu depan sudah aku tinggali.”
Thea yang masih menyantap makanannya itu hanya mengangguk-angguk. Ketika Thea menjemput Qai di bandara, pria itu sudah membicarakan mengenai kepindahannya ke apartemen dalam waktu dekat. Namun, Qai baru kali ini mengutarakan keinginannya untuk mengajak Thea ke sana.
“Mau jemput jam berapa? Biar aku bisa siap-siap.”
Satu alis Qai tersentak tinggi. “Siap-siap? Memangnya kita mau ke mana, The? Mau kondangan?”
“Qai, ih …” Bibir Thea itu merungut maju. “Kan biar cantik.”
“Kalau dasarnya sudah cantik, mau gimana pun, tetap cantik. Apalagi ….” Qai tidak jadi melanjutkan ucapan nakalnya, karena Thea sudah mendelikkan maniknya begitu lebar.
“Kamu itu, casingnya aja yang kelihatan diem. Padahal aslinya suka nakal gitu, deh.”
Qai yang tadinya duduk bersebrangan dengan Thea, langsung beranjak mengitari meja dan duduk di samping wanita itu.
“Berani sumpah, The. Aku nakalnya cuma sama kamu,” ujar Qai berbicara pelan setelah memangkas jaraknya dengan Thea. “Makanya, aku pengen cepat-cepat nikahin kamu, biar nakalnya juga cepat tersalurkan.”
Bibir bawah Thea mencebik maju ketika menoleh pada Qai. “Sama cewek lain juga begini dulu, kan.”
“Enggaklah.” Qai menjulurkan tangannya untuk menyelipkan sedikit rambut Thea, yang berhambur ke belakang telinga. “Kamu itu, perempuan kedua yang aku pacarin setelah sepuluh, apa sebelas tahunan aku sendiri.”
“Selama itu kamu jomlo?” Thea menyudahi makan malamnya dan mengusap bibirnya sejenak menggunakan tisu. “Gak ada nyolek-nyolek cewek lain?”
“Gak adalah,” sanggah Qai. “Aku sibuk kerja. Bangun karir sampe gak punya waktu buat dekat sama perempuan mana pun.”
Mengingat hal itu, Qai kembali mengingat mendiang ibunya. Kalau saja Alina masih hidup, wanita itu pasti sangat bahagia bisa melihat Qai bersanding dengan Thea. Qai yakin, kalau Thea akan menjadi menantu kesayangan Alina.
Namun, tidak ada lagi yang bisa Qai perbuat. Garis takdirnya sudah seperti ini. Jadi, ia hanya bisa menatap masa depan dan menjalani semuanya.
“Baru kamu perempuan yang aku colek sampai ke dalam-dal—“
Thea buru-buru menutup mulut Qai dengan telapak tangannya. Manik wanita membola lebar menatap sang kekasih. “Qai, ih! Nanti didengar orang tauk!”
Qai terkekeh lalu menyingkirkan tangan Thea dari wajahnya. Ia lalu memanggil pelayan untuk membawakan bill untuknya.
“Habiskan minumnya, biar gak kemaleman sampai rumah. Biar papa kamu tenang, karena anaknya sudah aku balikin dengan utuh.”
Lagi-lagi, Thea mencebikkan bibirnya pada Qai. Menghabiskan strawberry shootnya, kemudian mereka pergi dari cafe setelah Qai membayar semuanya.
Ketika kaki Qai hendak selangkah lagi menginjak pintu keluar, kepalanya yang tidak sengaja menoleh itu, melihat sosok Alpha. Ada seorang wanita yang duduk berseberangan dengannya. Sayangnya, wanita itu duduk dengan posisi membelakangi Qai, sehingga ia tidak bisa mengenalinya.
Hanya saja, Qai merasa familiar dengan cepolan dan warna rambut wanita itu. Sejurus kemudian, Qai menggeleng. Berusaha menyingkirkan semua hal yang baru saja singgah di kepalanya.
Tidak mungkin.
Alpha tidak mungkin berkencan dengan wanita yang kini ada di dalam pikirannya. Memilih mengabaikan, Qai lalu meraih pinggang ramping Thea lalu keluar dari tempat tersebut sesegera mungkin.
—
“Kenapa milih apartemen?” tanya Thea sembari berkeliling di unit yang akan ditempati Qai mulai minggu depan. “Gak mau beli rumah aja?”
“Tadinya karena dekat sama Glory, biar gak terlalu jauh kalau pulang ke rumah,” Qai menghempas tubuhnya di sofa. Membiarkan Thea menjelajah unit apartemen dua kamar miliknya. “Tapi, aku baru nyadar kalau gedung ini, juga dekat sama Angkasa. Siapa tahu, papamu beneran kasih kepercayaan untuk ambil alih Angkasa, jadi gak terlalu jauh juga aku ngantornya.”
“Oia, kata papa, kamu besok mau sarapan di rumah, ya?” Thea sibuk membuka satu per satu lemari kitchen set hanya untuk memuaskan rasa penasarannya.
“Sarapan gimana? Aku besok mau presentasi di depan papa kamu, The,” jawab Qai menyatukan kedua tangannya di belakang kepala sebagai bantal. Memikirkan semua rancangan yang akan diusulkannya pada Jaya esok hari. “Moga berhasil, dan papamu bisa percaya penuh dengan aku.”
“Pasti berhasil!” seru Thea menyemangati. Wanita itu kemudian masuk ke dalam kamar dan kembali menjelajah. Tidak lama kemudian, wanita itu lantas memanggil Qai dan meminta kekasihnya agar masuk ke dalam kamar.
“Hm, apa?” tanya Qai bersandar pada bingkai pintu dengan bersedekap.
“Kamar ini, langsung kena sunrise ya, kalau pagi?” Thea membuka pintu balkon lalu keluar untuk menikmati pemandangan kota di depan sana.
Qai pun ikut menyusul Thea pergi ke balkon. Berdiri di belakang wanita itu lalu mengalungkan kedua tangannya dengan erat. “Katanya begitu, tapi aku belum tahu karena belum lihat langsung.”
Qai mendaratkan kecupan di sepanjang leher jenjang Thea. Menghirup dalam-dalam aroma lembut yang menguar dari tubuh wanita itu tanpa pernah bosan sama sekali.
“The …”
“Heem?”
“Papamu gak ada nyinggung tentang kita?” tanya Qai yang masih sibuk sendiri menikmati leher sang kekasih.
“Tadi pagi, sih, belum,” jawab Thea sudah memejamkan mata dan membiarkan bibir Qai menjelajahi lehernya. “Kenapa? Udah gak sabar?”
“Hmm, kalau aku khilaf gimana?” kekeh Qai lalu menegakkan tubuhnya.
Thea melonggarkan tangan Qai lalu membalik tubuhnya. Kedua manik itu saling memandang lekat penuh cinta.
“Besok pagi, ngomong aja lagi sama papa. Aku yakin kalau papa ngelihat keseriusan kamu, lama-lama pasti luluh.”
Qai menyangga wajah cantik itu dan tatapannya jatuh pada bibir Thea yang selalu menggoda sebentar.
“Apa papamu ragu karena aku cuma karyawan biasa? Sedangkan kamu, anak satu-satunya dari pemilik Jaya Group. Jadi wajar, misal beliau berpikir kalau aku deketin kamu untuk, yaaa, you know lah, The.” Qai memiringkan kepalanya sekilas. “Ada status sosial yang beda diantara kita.”
Thea tersenyum lembut kemudian menjatuhkan sisi wajahnya di dàda Qai. Merasakan detak jantung yang sama dengan miliknya saat ini. Selalu saja berdebar kencang ketika mereka berdua seperti ini.
“Kamu gak bakalan diizini ngajak aku jalan tadi malam, kalau papa berpikiran seperti itu.” ujar Thea menyemangati. Mengalungkan kedua tangannya pada tubuh Qai. “Papa itu, memang keras. Tapi kalau beliau gak suka sesuatu, dari awal pasti sudah jaga jarak. Tapi kamu enggak, kan? Papa malah fine-fine aja, waktu kamu jemput aku ke rumah.”
“Tapi kapan Thee?” tanya Qai sudah tidak sabar ingin mempersunting Thea untuk menjadi miliknya seutuhnya.
“Besok pagi, tanya aja lagi sama papa.” Thea sedikit menarik diri. Kembali mengangkat wajahnya untuk menatap Qai.
“Yaa, paling gak, aku mau nikahin kamu secara agama dulu,” kata Qai kemudian memagut bibir Thea begitu dalam. Berjalan pelan dan kembali masuk ke dalam kamar, tanpa melepaskan tautan bibir mereka. Langkah itu terhenti ketika keduanya sudah berada di sisi tempat tidur.
Qai menarik diri, dan sama-sama terengah untuk saling menarik napas. “Biar kalau lagi begini, aku langsung bisa tancap gas kapan pun, di mana pun.”