Qai melipat kedua tangan di depan d**a. Berdiri, menatap layar datar di samping rekan kerjanya yang sibuk menata desain dengan serius. Qai melihat dengan seksama, rancangan website yang akan diluncurkan oleh Glory dalam waktu dekat.
“Deadline kapan ini, Le?” tanya Qai pada Ale, pria yang sedati serius mendesain halaman website.
“Dua minggu lagi sebenarnya, tapi, senin ini harus sudah dipresentasikan, Mas.”
Kedua orang itu lantas menoleh, pada sedikit kebisingan yang terjadi di satu sudut kantor. Ada Rumi, yang baru saja keluar dari lorong tempat lift berada. Diikuti Hera yang berjalan bersisian dengan seorang pria, yang baru Qai lihat hari ini.
Qai menduga, pria itulah yang akan menggantikan Anjas menjadi CEO di Glory. Tidak jauh dari itu, ada Alpha juga yang berjalan seorang diri seraya sibuk menatap ponselnya.
Sambil terus berjalan, Rumi memperkenalkan seluk beluk ruang redaksi dan produksi pada pria itu. Sampai akhirnya, gadis itu berhenti di depan Qai.
“Ini Mas Qai,” ujar Rumi memperkenalkan. “Redaktur pelaksana di Glory dan ini Mas Ale, salah satu desainer yang terkadang juga bisa merangkap IT untuk nolong anak-anak.”
Pria itu menjulurkan tangan dengan ramah pada Qai terlebih dahulu. “Rafa Adhitama,” ujar pria itu memperkenalkan diri.
“Selamat bergabung, Mas,” balas Qai dan Ale bergantian untuk menyambut pria itu dengan hangat.
“Terima kasih.”
Hanya sapaan formal untuk sejenak, kemudian Rumi kembali mengajak Rafa kembali berkeliling. Tentunya bersama Alpha dan juga Hera, yang sedari tadi tidak melepaskan maniknya dari Qai sama sekali.
Qai jadi bertanya-tanya, ke mana Lingga saat ini. Sejak pertemuan mereka di restoran kalau itu, mereka tidak pernah lagi bertemu.
Setelah puas melihat desain dan bertanya berbagai hal dengan Ale, Qai memutuskan untuk kembali ke ruangannya. Namun, di tengah jalan langkahnya berbelok, karena melihat Rumi yang berjalan seorang diri menuju pantry.
Qai sengaja menepuk bahu Rumi dengan keras, hingga mengagetkan gadis itu seketika.
“Mas Qai, Ih!” Rumi menghentikan langkahnya untuk melayangkan pukulan pada lengan Qai dengan keras. “Jangan ngagetin!”
Qai lantas meringis karena pukulan Rumi yang meninggalkan rasa panas, sekaligus nyeri di lengannya. “Kira-kira kalau mukul, Rum. Sakit.”
Rumi melengos. Kembali melangkah menuju pantry tanpa memedulikan Qai.
“Si Rafa itu, ternyata masih muda,” komentar Qai yang berjalan menyusul Rumi menuju pantry.
“Umurnya 35, Mas.” Rumi berbelok masuk ke dalam pantry dan langsung membuka lemari gantung untuk mengambil gelas. “Masih tua dia dari Mas Qai.”
“Single?” Qai menarik kursi yang ada di sana, lalu duduk dengan melipat kedua tangannya di atas meja.
“Hu’um,” kata Rumi sambil membuka toples berisi gula lalu menuangnya ke dalam gelas. “Duda, tapi gak tahu, ada buntutnya apa gak.” Rumi kemudian memasukkan teh celup ke dalam gelasnya.
“Ciyee, bisa nih, digebet,” sindir Qai karena tidak pernah melihat Rumi dekat dengan siapa pun selama ini. “Cakep, kok, Rum.”
Kedua bahu Rumi mengendik dengan cepat sembari mengisi gelasnya dengan air panas. “Aku gak tertarik sama duda, Mas. Pak Rafa itu bukan tipeku,” kata Rumi lalu ikut duduk di depan Qai sembari mengaduk tehnya. “Dia terlalu ramah.”
“Jadi, saya harus berubah galak dulu biar bisa jadi tipemu, Rum?”
Seketika itu juga, Rumi terlonjak kaget. Berdiri tegang dan menatap horor pada Rafa yang berdiri di bibir pintu.
Di sebelah pria itu, ada Alpha yang sudah menatap datar pada Rumi. Tanpa melukis senyum sama sekali.
“Maaf, Pak Rafa. Saya cuma bercanda,” ucap Rumi dengan sedikit merundukan tubuhnya. Bukan Rafa yang jadi masalah, tapi, tatapan Alphalah yang kini membuat Rumi menjadi serba salah.
Rumi segera mengambil gelasnya yang ia biarkan di atas meja. “Saya, permisi dulu,” pamit Rumi kemudian berjalan keluar melewati Rafa dan Alpha dengan cepat.
Sedari tadi, Qai pun menyadari bagaimana Alpha menatap Rumi dengan sedemikian rupa. Qai kembali mengingat, saat ia melihat Alpha dengan seorang gadis di kafe malam itu.
Ah, ya! Sekarang, Qai yakin kalau gadis yang bersama Alpha adalah Rumi. Namun, apa benar mereka berdua kini tengah menjalin hubungan dalam diam?
Ck, Qai jadi khawatir dengan satu hal, jika seperti ini. Bagaimana, jika kejadian mendiang ibunya dahulu kala, akan terulang pada Rumi ke depannya.
Qai sangat tahu sekali bagaimana kondisi keluarga Rumi. Sangat jauh berbeda dengan kehidupan Alpha, yang sudah terlahir dengan berlimpah harta.
“Sudah keliling satu gedung, Mas?” tanya Qai bersikap santai dan masih duduk di tempatnya semula.
“Lima ke bawah belum.” Rafa kemudian duduk bersebrangan dengan Qai. “Santai dulu, iya, kan, Mas Al.”
“Ya.” Alpha tersenyum tipis untuk mengiyakan. Iya pun duduk pada sisi yang berada di antara Qai dan Rafa.
“Bukannya, tadi sama Bu Hera?” tanya Qai ingin berbasa-basi terlebih dahulu. Mengakrabkan diri, agar bisa menyelami pribadi Rafa sedikit demi sedikit.
“Di panggil, pak Lingga di atas,” jawab Rafa sedikit melayangkan tatapan serius pada Qai. “Sudah berapa lama kerja di Glory?”
“Kalau sama magang, total sudah sepuluh tahunan,” papar Qai menjelaskan pada Rafa. Sementara itu, Alpha hanya diam dan menyimak. Pria itu memang tidak terlalu banyak bicara jika tidak diperlukan.
“Waah, sudah kenal seluk beluk Glory pastinya, kan?” Rafa berkomentar dengan mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebelumnya, Rafa sudah melihat beberapa profil yang menonjol di perusahaan, dan Qai adalah salah satunya. Untuk itu, Rafa ingin mengakrabkan diri agar bisa membangun Glory lebih maju lagi ke depannya.
“Ya, begitulah, Mas.”
“Sip! Kalau begitu, kita bisa saling tukar pikiran untuk memajukan Glory setelah ini.” Di dalam kepala Rafa, sudah dipenuhi berbagai rancangan yang bisa digunakan untuk merombak manajemen yang ada di Glory. Salah satunya, adalah dari divisi Qai.
Qai melebarkan senyumnya dengan memasang wajah tulus dan sangat antusias. “Kalau untuk itu, saya siap kapan aja diperlukan!”
—
“Baru mau pulang, lo, Rum?” tanya Qai juga ikut berdiri di depan lift.
“Iya,” jawab Rumi kemudian menutup mulutnya karena menguap begitu lelah. “Kamu, tuh, Mas. kadang pake kamu, pake, elo. Gak konsisten banget jadi orang.”
Qai hanya melirik, tidak ingin membahas membahas mengenai hal itu dengan Rumi. “Gue anter pulang ke kosan, searah soalnya.”
Tubuh Rumi sontak menegang. Sibuk berpikir untuk mencari alasan agar bisa menolak ajakan Qai.
“Aku, mau ke mall sebelah dulu, Mas.” Akhirnya, Rumi memiliki sebuah alasan untuk menghindar dari Qai. Keduanya melangkah masuk ke dalam lift yang pintunya baru saja terbuka. “Mau beli baju kerja.”
Qai lantas bersedekap menatap Rumi setelah menekan tombol lift yang menuju lantai lobi. Meneliti tubuh Rumi dari ujung rambut hingga kaki. “Lo, sudah punya pacar, Rum?”
Rumi terkesiap. Mengapa Qai tiba-tiba bertanya hal tersebut padanya. “E-enggak, aku nggak punya pacar, belum punya maksudku, Mas.”
Ada yang salah dari gelagat Rumi saat ini. Biasanya, gadis itu akan langsung menjawab dan tidak pernah terlihat sedikit gagap seperti ini. Sepertinya benar, kalau Rumi saat ini tengah menjalin hubungan dengan Alpha secara diam-diam.
“Kenapa tanya-tanya? Kamu mau nembak aku, ya, Mas?” Rumi terkekeh untuk mengusir rasa gugupnya di depan Qai.
“Kalau iya, kamu mau terima?” tantang Qai mencoba memancing Rumi.
“Eh …” Rumi menggigit bibir bawahnya sejenak. “Jangan bercanda, Mas.”
Qai memasang wajah seriusnya lalu memangkas jarak dengan Rumi. “Kalau aku serius, gimana?”
Rumi semakin gelagapan dibuatnya. Hal seperti ini, sama sekali tidak pernah terlintas di dalam benak Rumi satu kali pun. Bagi Rumi, Qai sudah ia anggap seperti kakaknya sendiri.
“Umm, Mas. Ak—“
“Bercanda, Rum!” putus Qai dengan cepat. “Serius amat nanggepinnya.”
Dentingan pintu lift membuat Rumi segera menyadarkan diri. Terkekeh garing, lalu segera berpamitan pada Qai.
“Aku duluan, ya, Mas. Mau keliling, biar gak kemaleman,” ujar Rumi lalu keluar lebih dulu dan melambai pada Qai.
“Hm, hati-hati!
Qai jadi semakin curiga kalau seperti ini. Qai yakin sekali, kalau Rumi tengah menyembunyikan sesuatu darinya.
Lantas, kecurigaan Qai itu semakin menyeruak ketika melihat Rumi berdiri di sebuah halte yang berseberangan, tidak jauh dari gedung kantornya. Qai yang tengah mengendarai mobilnya untuk pergi ke suatu tempat itu, akhirnya berhenti sejenak di bahu jalan. Jika Rumi memang ingin pergi ke mall, gadis itu tidak seharusnya menyeberang jalan seperti ini.
Tidak lama kemudian, Qai melihat sebuah sedan hitam berhenti tepat di depan Rumi berdiri. Gadis itu pun tersenyum lalu membuka pintu penumpang di bagian depan.
Tebakan Qai tentang Alpha, salah kali ini. Karena sedan mewah yang dinaiki oleh Rumi, bukanlah milik Alpha.
Lalu, siapa?