Ingin Memiliki Anak

1080 Kata
Dewa telah menghabiskan salad dan kopinya sementara Mala hanya termenung menatap nasi uduk di hadapannya. Dia benar-benar kehilangan selera makannya. "Kamu kok nggak makan? Apa kamu udah nggak suka lagi sarapan nasi uduk?" "Hah?" Mala terkejut mendengar suara Dewa, dan tersadar dari lamunannya. Dia masih memikirkan kata-kata terakhir yang diucapkan oleh Dewa. "Dari tadi kamu melamun aja, nggak makan?" "Oh, aku nggak nafsu makan lagi." "Ya sudah, karena aku udah selesai sarapan, sekarang kita pisah. Aku mau balik kampus, kerjaan sudah menunggu. Kamu mau ke mana?" "Aku ke kampus juga, tapi nggak mau bareng Mas." "Hey, GR kamu, ya. Siapa juga yang mau bareng sama kamu. Nanti malam tunggu saya, pembicaraan kita masih panjang. Saya masih ingin berlama-lama ngomongin pernikahan kita, kamu siap kan? Ingat ya, jangan tidur dulu kalau aku belum pulang. Kamu kan istriku, jadi harus menyambut suaminya pulang kerja." Mala berpikir sejenak tentang apa yang dimaksud obrolan pernikahan mereka, apa Jangan-jangan Mas Dewa menginginkan itu dari Mala? Mala tidak suka dengan pikirannya sendiri. Dia halau semua pikiran negatif sebelum menjawab pertanyaan Dewa. "Mas pulang jam berapa?" "Ya sekitar jam 19.00 saya udah di rumah. Aku ingin kamu ada di depan pintu pas aku pulang. Setelah sarapan bareng ini aku pikir kamu pasti akan merindukan aku." "Cih, mana ada. Ya sudah saya jalan duluan, Mas. Bisa stress saya lama-lama di sini." "Aku suka dengan ekspresi tidak suka dari kamu, jadi nggak sabar buat ketemu lagi nanti malam." Mala tidak menghiraukan perkataan Dewa, dia memilih meninggalkan meja dan kembali ke kampus. Jadwal kuliahnya masih ada 2 mata kuliah lagi, dia putuskan untuk menunggu jam kuliah di perpustakaan kampus. Sedangkan Dewa berjalan ke kantor Fakultas setelah membayar makanan di kafe. *** Sore harinya Mala sudah tiba di rumah. Dia sudah selesai mandi, sedang membaca diktat kuliah. Tetapi ada yang mengganggu konsentrasinya. Perkataan Dewa terus berulang-ulang di pikirannya. Perasaan tidak mengenakkan mulai membayangi Mala. Dia mulai berpikiran Dewa akan berbuat sesuatu padanya, dan Mala tidak siap untuk itu. Jika saja Dewa berani menyerangnya, maka dia harus bisa mempertahankan diri. Dia tidak akan membiarkan apa yang dia miliki direnggut darinya. Mala terus berkutat dengan pikirannya sendiri, tidak terasa sudah masuk waktu magrib. Dia putuskan untuk menunaikan salat Magrib untuk menenangkan diri agar siap menemui Dewa malam ini. Setelah salat Magrib, Mala lanjut membaca beberapa ayat pendek di al Quran. Tidak terasa jam dinding menunjukkan jam 18.30, artinya setengah jam lagi Dewa akan pulang. Mala segera melipat mukena dan sajadah. Dia berjalan ke kaca. Dia mematut diri depan kaca memeriksa penampilannya. Tanpa dia sadari, Mala tersenyum. Tiba-tiba terdengar suara bel dari depan rumah. Mala segera berlari ke depan, karena harus mengambil Dewa yang pulang dari kampus. Mala membuka pintu, dan benar orang yang menekan bel di rumah itu adalah Dewa. Dewa tersenyum melihat Mala menyambutnya di pintu. "Makasih, ya, sudah nunggu aku pulang. Ayo kita masuk," ajak Dewa pada Mala. Mala memilih berjalan di belakang Dewa. "Aku ke kamar dulu, mau nyimpen tas dan ganti baju. Kamu mau ikut ke kamar saya?" tanya Dewa sambil mengedipkan salah satu matanya pada Mala. Mala hanya membalas dengan senyuman terpaksa pada Dewa. Dewa berjalan ke kamarnya sedangkan Mala menunggu di ruang tengah. Mala menunggu dengan perasaan cemas. Satu detik berlalu rasanya bagaikan satu tahun baginya. Sehingga menunggu Dewa keluar dari kamarnya setelah tiga puluh menit terasa seperti menunggu selama tiga puluh tahun. Dewa duduk di sebelah Mala saat Mala masih belum menyadari kehadiran Dewa. "Kamu lagi mikirin apa sih? Pasti lagi mikir kok ada sih orang yang ganteng banget kaya Mas Dewa, iya kan?" Mala menoleh ke sebelahnya. Dia memperhatikan Dewa dari ujung rambut hingga kaki. "Nah, kan bener. Ngeliat aku aja gitu, dipandang dari atas sampai bawah. Pasti sudah terpesona dengan kegantenganku yang paripurna ini. Memang aku ganteng kok, dari lahir." "Kayaknya di sini ada nyamuk deh," ucap Mala. "Jangan coba-coba mengalihkan begitu." "Mas, aku lapar." "Ok, ayo kita makan, pas banget Bibi masak, katanya udah siap semuanya jadi kita tinggal makan aja." Mala bergegas ke meja makan. Dia merasa lapar setelah mendengar Dewa memuji diri sendiri. Bukannya merasa hilang feeling. "Wah, masakannya banyak banget, mana enak-enak semua." Mala duduk di salah satu kursi, langsung mengambil nasi dan beberapa lauk. "Aku ceritain ke Bibi kalau tadi pagi kamu nggak napsu makan, jadi malam ini Bibi masak banyak makanan enak supaya nafsu makanmu kembali." "Terima kasih, ya, Bi, udah masak buat Mala. Rasanya terharu banget. Mala mau makan yang banyak deh." Bibi hanya tersenyum melihat Mala yang semangat makan. "Nah, gitu harus makan banyak, biar kuliahnya semangat sampai lulus. Oh, ya, untuk urusan kuliah, kamu nggak usah mikir biaya. Semua biaya kuliah kamu sampai lulus saya biayai semua. Terus habis makan kita ngobrol di ruang tengah, ya. Sekarang biar kamu fokus makan dulu aja." Mala mengangguk setuju dengan perkataan Dewa. Dia melanjutkan makannya sampai Mala merasa cukup. Selesai makan malam, Dewa mengajak Mala duduk di ruang tengah untuk membicarakan sesuatu hal yang serius. "Saya bilang sama kamu kalau saya mau membahas soal pernikahan. Kita sudah menikah, sudah jadi suami istri, walaupun sekarang kamu belum mencintai saya begitu juga sebaliknya. Tapi, yang namanya pernikahan itu seharusnya hanya terjadi satu kali dalam hidup. Kamu tahu saya menikahi kamu karena wasiat Ayah kamu. Sebenarnya nggak semata-mata karena wasiat itu juga, tapi saya ingin membalas kebaikan Ayah kamu karena dulu pernah menyelamatkan saya." "Aku nggak tahu soal itu, Mas." "Iya, karena itu adalah rahasia antara saya dan Ayah kamu." "Terus aku harus gimana, Mas?" "Kamu harus menerima saya sebagai suami kamu dong. Bersikaplah sebagai istri dan melayani saya sebagai suami kamu dengan baik." Mala diam sejenak, mencerna perkataan Dewa. Lalu tiba-tiba bertanya. "Apa aku harus tidur sama Mas?" Dewa tertawa mendengar perkataan Mala. "Kamu mau tidur dengan saya, kapan? Malam ini? Oh, ternyata kamu sudah tidak sabar ingin tidur dengan saya." "Apa? Enggak gitu, aku kan cuma tanya!" ucap Mala mulai panik. "Pipi kamu merah tuh. Sebenarnya saya agak terkejut mendengar kamu bicara itu. Nggak nyangka aja gitu. Saya kira kamu polos, ternyata nggak, ya?" Dewa semakin suka menggoda Mala yang hanya bisa diam dengan wajah memerah. "Saya pengen kita punya anak, jadi kapan kita bisa bikin anak?" Wajah Mala semakin memerah. Namun, dia tetap memilih diam. "Emang Mas nggak malu punya istri kaya saya? Saya kan miskin, kuliah aja belum lulus." "Seperti yang kamu tahu, saya mempertaruhkan banyak hal dengan pernikahan ini, makanya saya nggak mau rugi dong, jadi saya mau kita punya anak dari pernikahan ini. Saya akan menunggu kesiapan kamu untuk ini, berapa lama saya harus menunggu?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN