Dewangga Abimanyu atau yang biasa dipanggil Dewa, sedang bertengkar dengan pacarnya melalui ponsel sambil mengendarai mobil. Membuat konsentrasi pria itu saat menyetir jadi terbagi, terlebih saat ini dia tengah berada dalam panggilan yang tak menyenangkan. Perdebatan pun terdengar semakin meninggi hingga membuat laju mobil bertambah cepat.
“Kamu tuh nggak pernah mengerti aku. Aku yang harus selalu mengerti kamu! Ayolah, Nin, niat aku baik mau menikahi kamu. Ayah, Ibu pengin aku segera me—,” ucapan Dewa terhenti. Tanpa dia sadari, mobilnya menabrak sesuatu hingga refleks membuat fokusnya teralihkan. Dewa membanting setir mobil ke arah kiri dan hantaman itu semakin keras mengenai badan mobil.
Pandangan Dewa mulai buram. Bahkan kondisinya semakin parah saat ia sudah tak lagi bisa menggerakkan tubuh. Perlahan pandangannya makin gelap dan Dewa tak sadarkan diri dengan kepala tersungkur pada kemudi.
***
Saat membuka matanya, Dewa menyadari ia tengah berada di ruang rumah sakit, setelah matanya memindai seluruh isi ruangan. Kepalanya masih terasa berat. Dewa mencoba mengingat-ingat terakhir apa yang bisa ia ingat. Segera ingatannya kembali ke jalanan dan telepon dari kekasihnya.
Dewa beringsut sedikit mencoba bangun dari tempat tidur. Seorang wanita paruh baya masuk dengan wajah cemas.
“Kamu sudah sadar, Dewa? Tadi kamu pingsan lama sekali. Bagaimana kondisi kamu sekarang? Apa ada yang terasa sakit? Bilang sama ibu, nanti ibu sampaikan pada perawat.”
“Apa aku di rumah sakit, Bu?” tanya Dewa memastikan, lalu menyadari dia sedikit linglung.
“Iya, Dewa, kamu mengalami kecelakaan mobil. Tadi ibu ditelepon rumah sakit dan ibu langsung ke sini, tapi kata dokter kondisi kamu enggak apa-apa. Istirahat dua atau tiga hari juga nanti baikan.”
“Ibu tahu ceritanya, bagaimana aku bisa kecelakaan? Oh ya, ponselku di mana, Bu?”
Ibu mengambil ponsel Dewa dalam laci nakas. Ada letakkan di bagian kiri atas ponsel, tetapi ponsel itu masih bisa beroperasi dengan baik. Dewa menerima ponsel dari ibunya. Dia segera membuka ponsel, mencari-cari apakah ada telepon yang tidak terjawab atau ada pesan yang ditinggalkan Anin—pacarnya. Namun setelah mencari berulang kali, hasilnya nihil dan Dewa pun terlihat menghela napas berat.
"Apa Anin tidak tahu jika aku kecelakaan?" batin Dewa penasaran.
Tak berapa lama kemudian, Dewa kembali memberikan ponsel yang baru digenggamnya pada sang ibu dengan menampilkan raut kesal di wajahnya. “Simpan saja ponsel ini, Bu."
“Kenapa jadi kesal begitu?” tanya ibunya, tapi Dewa lebih memilih bertanya kembali tentang kecelakaan yang menimpanya.
“Oh ya, Ibu. Jadi bagaimana, apa Ibu tahu kenapa aku bisa kecelakaan?”
“Kata perawat, kamu itu mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi sampai menabrak sesuatu."
“Memangnya aku menabrak apa, Bu? Sepertinya aku khilaf pada saat mengendarai mobil,” ucap Dewa sambil menunduk.
"Ini semua gara-gara perempuan sialan itu," batin Dewa merutuki kekasihnya yang menjadi penyebab dirinya kecelakaan.
“Sudah! Sudah! Kamu tidak usah memikirkan itu lagi. Sekarang kamu istirahat saja dulu supaya cepat pulih. Oh, ya, kamu mau makan?”
“Enggak, Bu, nanti saja. Lagipula badanku masih pegal semua.” Dewa menutup kelopak matanya, mencoba menenangkan gejolak perasaannya.
Wanita paruh baya bernama Ajeng itu langsung merapikan selimut Dewa dan memeriksa pendingin ruangan untuk memastikan kondisi kamar Dewa selalu dalam keadaan nyaman.
“Ibu tunggu di luar, ya. Nanti ibu minta bi Rani untuk menemani kamu di sini. Siapa tahu kamu butuh sesuatu langsung beri tahu bi Rani saja, ya.”
Dewa membuka matanya dan mengangguk. Dia memperbaiki posisi bantal di kepala sambil mencoba mengingat kejadian sebelum tabrakan terjadi. Saat itu, dia sedang menelepon Anin. Setelah itu dia mendengar suara benturan keras dan setelah itu, dia tidak ingat apa-apa lagi.
Dewa benar-benar tidak berhasil mengingat kecelakaan itu hingga dia mulai merasakan sakit pada bagian kepalanya. Tak ingin merasakan sakit terlalu lama, Dewa memilih untuk memejamkan kedua mata lagi. Mencoba tidur agar setidaknya rasa sakit di kepalanya dapat berkurang.
Di saat Dewa nyaris terlelap, sebuah ketukan terdengar dari pintu. Kesadarannya ditarik paksa kembali. Bi Rani yang berada di sana pun langsung membukakan pintu dan terlihat dua orang polisi tengah berdiri tepat di depan kamar.
"Ada apa polisi sampai datang ke kamarku?" gumamnya, sambil bangkit dari posisi tidurnya dengan susah payah untuk duduk bersandar.
“Apakah benar Anda yang bernama Dewangga?”
“Iya, saya sendiri," jawab Dewa yang masih kebingungan akan maksud kedatangan polisi ke kamarnya.
“Kami mau memberikan informasi pada Anda mengenai kecelakaan yang Anda alami hari ini. Pada jam 10 pagi tadi Anda melewati jalan Anggrek, memang tujuan Anda ke mana?”
“Saya sedang dalam perjalanan ke kampus. Saya seorang dosen. Jam sebelas siang saya ada jadwal mengajar.”
“Apakah Anda mengendarai mobil dalam keadaan mabuk?”
“Tidak, Pak. Saya tidak mengkonsumsi minuman beralkohol, bahkan saya tidak pernah mencobanya sama sekali.”
“Apa yang menyebabkan Anda sampai melajukan mobil dalam kecepatan tinggi?”
“Saya tidak begitu mengingat tentang hal ini, tapi yang saya ingat saya sedang menelpon, lalu terdengar benturan keras, lalu saya tidak ingat kejadian selanjutnya seperti apa.”
“Sepertinya Anda belum tahu mengenai kecelakaan yang telah terjadi pada Anda. Jadi pada saat Anda melewati jalan Anggrek, Anda melaju dengan kecepatan tinggi dan entah sadar atau tidak, kendaraan Anda menabrak dua orang yang sedang menyebrang jalan. Korban adalah anak dan ayah, satu bernama Pak Adinata yang kondisinya sedang koma serta anak perempuannya.”
Perkataan dari polisi itu seketika mengguncang Dewa. Tak hanya takut dengan hukuman yang akan didapatnya karena hampir menghilangkan nyawa orang lain, Dewa juga merasa bodoh karena semua ini bisa terjadi bermula dari kecerobohannya yang mengendarai mobil sambil menggunakan ponsel.
“Tidak mungkin! Tolong katakan kalau itu tidak benar, Pak.”
“Tapi seperti itu kronologinya. Sementara ini kami masih memantau kondisi korban. Mohon agar Anda selalu bersikap kooperatif selama kami menangani kasus ini. Kalau begitu saya pamit dulu, Selamat sore.”
“Iya, Pak, Selamat Sore,” jawab Dewa dengan suara yang terdengar lemah. Saat ini, dia masih belum bisa menerima kenyataan bahwa ternyata dirinya telah menabrak dua orang saat kecelakaan itu.
Dewa pun menunduk lemah. Lagi dan lagi dia menyalahkan dirinya sendiri karena terbawa emosi saat bertengkar dengan Anin dalam keadaan mengendarai mobil. Harusnya dia bisa menepi terlebih dahulu hingga semua kejadian ini tidak perlu terjadi, terlebih salah satu korbannya sampai koma dan dirawat di ICU. Saat ini, Dewa benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana kecepatan mobil yang dikendarainya hingga menyebabkan kondisi korban jadi separah itu.
Tak berapa lama setelah kepergian polisi, Ajeng masuk kamar perawatan Dewa. Kamar khusus pasien VVIP dengan segala fasilitas yang lengkap di rumah sakit itu. Dengan biaya yang tidak murah, tetapi bagi orang tua Dewa membayar biaya perawatan di rumah sakit itu bukanlah sesuatu perkara yang sulit karena mereka adalah pemilik perusahaan ekspedisi terkenal di kota Bandung.
“Ibu sudah tahu kalau Dewa menabrak orang?”
“Siapa yang mengatakan itu?”
“Polisi, tadi mereka datang untuk menanyakan soal kecelakaan, terus mereka bilang kalau Dewa menabrak dua orang. Satu orang koma, sedangkan anak perempuannya dalam perawatan di rumah sakit ini juga.”
Ajeng menghela napas. Rautnya sedikit khawatir, namun segera ia tutupi dengan sebuah senyuman lembut, sambil mengusap punggung tangan Dewa. “Sudah, jangan dipikirkan!” katanya, “sekarang yang penting kondisi kamu segera pulih, semua sudah diurus pengacara. Mereka juga sudah diberikan perawatan yang paling bagus dari rumah sakit ini. Jadi jangan khawatir, keluarga kita tidak akan membiarkan mereka tanpa penanganan.”
“Tetap saja aku khawatir dengan kondisi mereka karena aku yang nabrak,” kata Dewa frustrasi.
“Percayalah pada dokter-dokter di rumah sakit ini, mereka akan melakukan yang terbaik untuk mereka berdua.”
“Tapi, Bu, ada satu orang yang koma, bagaimana kalau sampai dia meninggal? Berarti aku ....” Dewa menutup wajah dengan kedua tangan, bahunya berguncang hebat dan dia hampir saja menjerit. Dewa membayangkan jika anak korban yang sedang dirawat di ICU itu meninggal. Artinya, dia sudah membunuh orang. Dan Dewa benar-benar syok atas kejadian ini.