Pertemuan pertama

1760 Kata
Di kamar rawat inap lain, tampak seorang gadis yang beberapa waktu lalu menjadi korban kecelakaan. Nirmala, membuka kedua matanya dan menatap langit-langit ruangan tempatnya dirawat. Dia melihat ke arah tubuhnya yang tertutup selimut. Hawa dingin dari penyejuk ruangan mulai terasa di permukaan kulitnya. Dia angkat tangan kanannya, ada infus yang terpasang di sana. Seorang perawat sedang memasukkan obat melalui cairan infusnya. “Mbak, sudah sadar?” tanya perawat itu ramah. “Saya di mana, Suster? Suster liat ayah saya nggak?” tanya Nirmala. Nirmala mencoba memiringkan badan. Sekujur tubuhnya terasa nyeri. Lalu, dia mencoba mengangkat tubuhnya sedikit, namun kekuatannya sepertinya telah lumpuh. “Kalau belum bisa bangun, jangan dipaksa, pelan-pelan saja. Mau saya bantu duduk? Mbak mau minum atau barangkali mau makan?” Nirmala memejamkan matanya sebentar, merasakan hatinya yang hampa. “Ayah saya di mana, Suster?” Tiba-tiba dia teringat sebelum berada di ruangan ini dia sedang bersama ayahnya. “Saya pengin ketemu ayah.” “Ayahnya Mbak baik-baik saja. Dokter di sini sudah menanganinya dengan sangat baik. Mbak harus banyak istirahat biar segera pulih. Kondisi kesehatan Mbak juga bagus, hanya ada beberapa memar saja, jadi mungkin masih merasakan sedikit nyeri. Makanannya mau diletakkan di meja ini?” Suster menunjuk meja di dekat tempat tidur pasien. “Saya nggak lapar, Sus. Saya pengen liat Ayah saya. Belum tenang rasanya kalau belum bisa melihat Ayah.” “Boleh saja, tapi besok, ya. Mbak hari ini istirahat saja dulu! Saya tinggal sebentar, ya. Kalau ada apa-apa, Mbak tekan tombol ini aja.” Suster memberikan sebuah tombol dengan kabel panjang untuk memanggil suster. "Tolong, Sus! Saya pokoknya mau melihat Ayah saya sekarang juga!" Nirmala berontak karena tak sanggup lagi menahan rasa cemas yang akan kondisi ayahnya. Walaupun suster sempat mengatakan bahwa kondisi ayahnya baik-baik saja, tapi entah kenapa jika Nirmala merasa tidak tenang saat ini. “Baiklah, Mbak, tapi Mbak harus duduk di kursi roda karena kondisi Mbak saat ini masih lemah." Tanpa berpikir lagi, Nirmala mengiyakan perintah dari suster itu. “Baiklah, saya setuju, Sus.” Lalu, suster keluar kamar Nirmala untuk mengambil kursi roda. Tak berapa lama, tepatnya sepuluh menit Nirmala menunggu, suster sudah kembali bersama seorang petugas keamanan yang tengah mendorong kursi roda. Suster pun membantu Nirmala bangun dan turun dari tempat tidur. Pelan-pelan suster membantu Nirmala untuk duduk di kursi roda. Setelah Nirmala berhasil duduk di kursi roda, suster meletakkan selimut untuk menutupi bagian kakinya. Lalu berpesan pada pak satpam untuk mengantar Nirmala dengan hati-hati hingga ruangan ICU. Nirmala sumringah, membayangkan akan bertemu ayahnya, meski ada debar di d**a seperti apa kondisi ayahnya saat ini. Satpam mulai mendorong kursi roda, mereka meninggalkan ruang perawatan. Sepanjang perjalanan jantung Nirmala berdetak cepat. Makin dekat ruangan ICU makin tidak menentu debarannya. Dia takut menerima kenyataan apabila kondisi ayahnya tidak seperti yang dia bayangkan. Dia juga takut membayangkan ayahnya dalam kondisi kritis, karena itu artinya dia harus siap untuk kehilangan sosok ayahnya. Satpam berhenti di sebuah ruangan. Dari depan tertulis ruang ICU. Nirmala menarik napas panjang, mencoba untuk menenangkan diri. Satpam membuka pintu, dan melapor pada petugas di ruangan ICU. Nirmala diantar sampai depan tempat tidur ayahnya. Nirmala tidak dapat menahan air mata di depan sang ayah. Bagaimana tidak, di tubuh ayahnya tersambung pada beberapa alat pendeteksi yang dia sendiri tidak tahu fungsinya dari alat tersebut. Mata ayahnya masih terpejam. Nirmala beranikan diri untuk menyentuh tangan ayahnya. Dia pegang tangan itu dan menempelkannya di pipi. Tangisannya semakin tidak terbendung. “Cepat sadar, Ayah. Kalau nggak ada Ayah, Nirmala sama siapa?” *** Dua hari sudah Dewangga di rawat di rumah sakit. Kondisi fisiknya semakin membaik. Tetapi ada yang mengganjal di hatinya. Dia belum bertemu dengan korban yang dia tabrak. Siang itu pukul 13.00 seharusnya Dewangga sudah boleh pulang. Saat bangkit dari brankarnya, dua orang polisi masuk. Ajeng dan Bi Rani sedang tidak ada di ruangan. “Mas Dewangga, bisa ikut kami sekarang? Ada hal yang harus ditanyakan. Kami tunggu di luar,” kata salah seorang polisi itu. “Baik, Pak, saya siap-siap dulu.” Dewa merapikan kemeja yang dia kenakan. Dia juga menyisir rambutnya yang berantakan karena terlalu lama berbaring di tempat tidur rumah sakit. Setelah Dewa memastikan penampilannya sudah tapi, dia bergegas keluar kamar. Dia berjalan mengikuti langkah dua orang polisi yang ada di depannya. Dia bertanya-tanya akan dibawa ke mana oleh dua orang polisi itu. Dia pikir dia akan dibawa ke kamar perawatan dua korban kecelakaan itu. Jika saja itu benar, maka dia akan meminta maaf untuk melepas semua ganjalan yang dia rasakan di dalam hati. Mereka tiba di ruang Permata, tidak terlalu jauh dari ruangan Dewa. Dewa pikir pasti keluarganya sudah mengurus semuanya, korban mendapat ruang perawatan terbaik di rumah sakit yang sama. Salah satu polisi mengetuk pintu kamar lalu membukanya. Dia mengajak rekannya dan Dewa untuk masuk. Di dalam ruangan, ada satu orang bapak yang terbaring di tempat tidur. Bapak itu adalah Adinata, pria sekaligus ayah dari Nirmala. Setelah sadar dari koma, Adinata dipindah ke ruang perawatan. Walaupun saat ini dia sudah sadar, kondisi kesehatannya semakin menurun. Tubuhnya tidak bersahabat dengan rasa sakit yang dialami saat tabrakan. Pria itu meminta Dewa untuk duduk di sampingnya melalui isyarat gerakan tangan. Dewa menurut, dia duduk di kursi dekat tempat tidur Adinata. “Pak Adi, ini tidak akan menuntut karena menjadi korban tabrakan. Tetapi beliau minta Mas untuk mengabulkan satu permintaannya.” “Nak, saya rasa hidup saya tidak akan lama lagi. Rasanya kematian itu sudah dekat. Saya ada satu permintaan sama Nak Dewa, tolong jaga dan rawat anak saya satu-satunya agar saya bisa tenang sebelum meninggalkan dunia fana ini. Tolong nikahin anak saya. Agar kamu menjadi mahram dia, sehingga dia tidak sendiri di dunia ini.” Dewa terkejut mendengar perkataan Adinata. Dia tidak pernah menyangka Adinata akan menitipkan anaknya bahkan memintanya untuk menikahi anaknya. “Nikah, Pak? Apa tidak ada cara lain? Saya bisa menanggung biaya hidup dan biaya lain, anak Bapak masih kuliah kan? Biar saya yang menanggung semua biayanya, bapak jangan khawatir. Saya mampu untuk itu semua,” ucap Dewa meyakinkan Adinata. “Saya tahu dari cara keluarga Nak Dewa merawat kami. Tetapi hanya satu itu wasiat dari Bapak, menikahlah dengan Nirmala agar dia tidak sendiri di dunia ini. Dia anak bapak satu-satunya, ibunya sudah meninggal, bapak dan almarhum Ibu tidak memiliki saudara, jika pun ada mereka pasti sudah melupakan kami, karena kami miskin.” “Tidak ada pilihan lain selain menikah, Pak?” Wajah Dewa terlihat memelas. “Tidak ada. Jika Nak Dewa setuju, saya nikahkan sekarang juga dengan saksi dua orang polisi ini. Mas kawin bisa pakai jam tangan yang Mas pakai.” “Tapi saya berhak menolak, Pak.” “Boleh saja jika ingin menolak, maka saya akan menuntut Mas sampai pengadilan, kalau perlu sampai akhirat,” kata pria tua itu, nadanya meski pelan tapi penuh penekanan. Sorot matanya menuntut balas yang tidak main-main. “Semua pilihan yang Bapak kasih ke saya itu tidak bisa saya pilih satu pun.” “Ya sudah, saya tuntut kamu di akhirat karena sudah membunuh saya di dunia.” Dewa merasa frustrasi, merasa terintimidasi, tapi tidak bisa berpikir. Semua toh salahnya, tapi menikahi gadis yang tidak dicintainya adalah hal mustahil. Lebih gila lagi, menikah sekarang juga. Dewangga memejamkan mata, tampaknya sedang berpikir keras. Dia angkat kepalanya perlahan dan berpaling pada gadis itu dengan sorot mata mengiba. Gadis itu menunduk dan air matanya jatuh. Tapi, tak sepatah kata pun diucapkannya. “Ok!” kata Dewa pasrah. Kata-kata itu seperti meluncur begitu saja dari mulutnya. “Saya ikuti maunya Bapak. Saya nikahin anak Bapak sekarang juga, tolong Bapak maafkan saya, jangan tuntut saya sebagai pembunuh Bapak. Saya hanya ingin jadi orang yang baik. Semua ini tidak sengaja, Pak.” Kedua orang polisi menyiapkan rencana akad nikah di kamar itu. Mereka juga sudah menyiapkan rekaman yang akan menjadi bukti bahwa Dewa menikahi Nirmala sehingga dia tidak dapat mengelak atau mengaku tidak pernah menikah dengan Nirmala. “Saya terima nikah dan kawinnya Nirmala Candrawati binti Adinata dengan mas kawin sebuah jam tangan Rolex seri GMT master dibayar tunai,” ucap Dewa membalas ikrar dari Adinata. “Sah, ucap kedua orang polisi. Setelah itu mereka menyiapkan berita acara sebagai bukti dari pernikahan Dewa dan Nirmala. “Silakan, Nak Dewa, ke kamarnya Nirmala, nanti akan diantar oleh pak polisi ini. Saya titip anak saya Nak Dewa, tolong jaga dia dengan baik. Dia terlalu banyak merasakan sakit dan pedih selama hidupnya, tolong hibur dia.” Dewa menyalami tangan Adinata yang sekarang sudah menjadi ayah mertuanya. “Baik, Pak. Insyaallah akan saya jaga anak Bapak dengan baik. Bapak juga harus sehat, agar bisa melihat anak Bapak hidup bahagia.” Tidak perlu Dewa mendatangi kamar Nirmala, karena saat ini Nirmala sudah ada di kamar ayahnya. Dia mendekati ayahnya, kemudian memeluk tubuh ayahnya. “Sekarang kamu sudah punya suami, Dewa namanya, dia adalah pria yang berdiri di dekat kamu. Tugas Bapak menjaga kamu sampai di sini.” Air mata Nirmala mengalir di kedua pipinya mendengar perkataan ayahnya. Dia tidak dapat berkata-kata. Tiba-tiba tubuh ayah Nirmala lemas, dia berusaha menahan ayahnya dalam pelukan. Berusaha membaringkan tubuh ayahnya di tempat tidur. Nirmala duduk di samping Adinata. Bibirnya tidak berhenti bergerak. Dia merapal doa yang dia ingat, mendoakan ayahnya. Dua orang polisi tadi sudah pamit kembali ke pos mereka setelah sebelumnya memberikan rekaman video akad Dewa dengan ayahnya. Dia tidak menyangka Adinata punya pikiran seperti itu. Bahkan di saat kritis, Adinata masih memikirkan masa depan Nirmala, anak satu-satunya. Seandainya dia bisa membantah ayahnya, dia ingin menolak pernikahan itu. Dia akan berusaha sekuat tenaga untuk membiayai kuliahnya sendiri hingga selesai. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Dia sudah menjadi istri seseorang yang bahkan dia belum mengenal orang itu di usianya yang baru genap 20 tahun. Seperti apa rasanya menjadi istri yang menikah karena terpaksa oleh keadaan? Nirmala akan merasakannya nanti, setelah dia pulang dari rumah sakit itu. Siapa sebenarnya suaminya itu, sampai ayahnya dengan berani menikahkan Nirmala dengan seseorang bernama Dewa. Apakah dia adalah dewa penyelamat seperti namanya? Entahlah. Bahkan Nirmala pun tidak tahu jawabannya. Dia hanya berharap setelah pernikahan itu, dia ingin berpisah dengan suaminya bagaimana pun caranya. Dia tidak ingin menjadi beban bagi suaminya kelak yang harus membiayai hidup serta kuliah Nirmala. Dewa masih menjadi orang asing baginya alih-alih sebagai suaminya. “Nirmala, Ayah bergerak, sepertinya dia ingin mengatakan sesuatu?” Nirmala memandang wajah ayahnya. Memperhatikan gerakan bibir ayahnya. Seperti mengetahui isi hati anaknya, Adinata mengatakan sesuatu dengan susah payah. “Nirmala jangan pernah berpikiran untuk berpisah dengan Dewa. Dewa tolong jaga Nirmala dengan baik. Bapak pamit.” Adinata masih sempat bersyahadat sebelum akhirnya meninggalkan dunia yang fana. “Innaliahi wainna ilaihi rajiun,” ucap Dewa diiringi dengan suara tangisan dari Nirmala.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN