Secepat itu Dia Pergi

1068 Kata
Nirmala duduk di depan pusara ayahnya. Dia masih ingin berlama-lama duduk di sana. Matanya sembab karena tidak berhenti menangis. Kenangan demi kenangan bersama ayahnya dia putar ulang dalam ingatannya. “Kenapa Ayah perginya cepat sekali. Ayah belum lihat Nirmala sukses. Mala ingin membahagiakan Ayah dulu. Ayah pergi saat kita masih susah.” Air mata masih membanjiri kedua pipi Nirmala. Dia belum siap kehilangan ayahnya, semua terasa cepat sekali. Dewa menepuk pundak Nirmala, perempuan itu pun menoleh. Lalu Dewa mengelus pundak Nirmala. “Sudah, yang pergi jangan terlalu lama ditangisi, kasian nanti ayahmu. Ayo pulang. Saya antar kamu ke rumah. Ambil beberapa baju, terus kita ke rumah saya.” “Mala belum mau pulang, masih mau di sini sama Ayah. Masnya pulang saja ke rumahnya, nanti saya bisa pulang ke rumah saya sendiri.” “Kamu harus ingat, sekarang saya suami kamu, kalau kamu pergi ke mana aja, kamu harus izin saya.” “Ya sudah, kalau begitu Mala izin, mau pulang ke rumah. Mau tidur di rumah. Mala mau bersih-bersih barang Ayah di rumah.” “Saya nggak bisa memberikan izin untuk kamu. Kamu boleh saja pulang ke rumahmu tapi harus saya yang temani.” “Masnya nggak punya kerjaan atau pacar yang harus diurus?” “Saya punya kerjaan, tapi saya masih cuti. Kalau pacar kemarin saya punya pacar, perempuan lain, tapi sekarang saya punya istri yang juga harus saya urus, yaitu kamu.” “Tapi, Mala belum mau pulang.” “Kamu harus pulang, masa mau tidur di sini, emangnya nanti malam mau tidur bareng pocong?” “Ha? Pocong? Nggak mau. Ya udah Mala mau pulang. Tapi antar ke rumah dulu, Mala mau bersih-bersih rumah sama barang Ayah. Nanti Mala ikut ke rumah Masnya.” “Kamu takut sama pocong? Dasar anak kecil, takut sama hantu.” Dewa mentertawakan Nirmala. “Ayah, Mala pamit pulang dulu, besok Mala ke sini lagi. Assalamualaikum.” “Wa’alaikumussalam,” jawab Dewa. “Lho, kok Masnya yang jawab salam?” “Nggak apa-apa, kan? Emang salah kalau jawab salam?” Nirmala tidak menjawab, dia berjalan meninggalkan Dewa. Dia berjanji akan sering mengunjungi makam Adinata. Nirmala pergi membawa kesedihan. Dia tidak berharap kesedihan itu akan segera pergi, karena dia masih ingin menikmatinya hingga rasa itu berganti dengan rasa yang lain. “Tunggu,” Dewa mengejar Nirmala, hingga posisinya berada di sebelah Nirmala, “emang kamu tahu mobilnya di parkir di mana?” Nirmala berpikir sejenak sebelum menjawab. Tadi dia berangkat naik mobil Dewa, pastinya dia tahu tempat Dewa memarkirkan mobilnya. “Di depan, sebelah kiri. Di bawah pohon asem, betul?” Dewa menarik lengan Nirmala agar langkahnya lebih cepat. Sebenarnya dia ada yang harus dia kerjakan di rumah. Dia juga harus membujuk Nirmala agar tidak berlama-lama berada di rumah ayahnya. Nirmala memberitahukan Dewa arah ke rumahnya. Di dalam mobil dia hanya diam. Tetapi matanya memperhatikan jalan, sesekali melirik ke arah kiri. Jalan-jalan yang dilewati mobil Dewa adalah jalan yang sering dia lewati dengan ayahnya. Mereka sering jalan bersama. Sepuluh menit kemudian mereka tiba di rumah Adinata. Nirmala sudah tinggal di sana sejak kecil bersama ayah dan almarhum ibunya. Dewa menunggu Nirmala di mobil. Nirmala memanfaatkan waktunya di dalam rumah berpisah dengan setiap bagian dari rumah itu. Ruang tamu yang sederhana sekaligus ruang keluarga yang digunakan untuk berkumpul bersama, hanya ada sebuah meja kecil di sana. Nirmala masuk ke kamar ayahnya. Di sana ada tempat tidur dan sebuah lemari tua. Nirmala duduk di tempat tidur. Niat awalnya ingin membersihkan kamar ayahnya dia urungkan. Dia ingin semua ruangan tetap sama, dan apabila dia rindu, dia akan datang sesekali. Nirmala mengambil pakaian ayahnya yang di gantung di dinding. Dia menghidu aromanya. Pakaian itu akan dibawa oleh Nirmala. Setelah puas berada di kamar itu, dia berjalan ke kamarnya. Nirmala memperhatikan setiap sudut dari kamarnya, dia merasakan semangat hidupnya terpancar dari kamar itu. Kamar yang menemaninya dalam setiap kebahagiaan dan kesedihan. Dia mengambil buku-buku kuliahnya, memasukkan ke dalam kardus yang ada di kamar itu. Setelah semua bukunya dia masukan. Nirmala membuka pintu lemari, dia mengambil beberapa pakaian yang dia butuhkan. Dia biarkan sisa pakaian lain di sana. Mungkin nanti dia akan kembali membawa semua pakaiannya atau akan dia tinggalkan di sana. Setelah pakaian dan bukunya dia kemas, Nirmala berjalan ke dapur. Banyak kenangan yang tertinggal di dapur itu. Tetapi dia tidak mau berlama-lama di sana. Semakin lama berada di dapur, semakin dalam kesedihan yang dia rasakan. Nirmala memeriksa kembali barang bawaannya. Jika ada yang tertinggal sebenarnya tidak terlalu masalah, dia masih bisa kembali ke rumah itu esok hari. Nirmala mengangkat kardusnya terlebih dahulu. Dia letakkan di teras, setelah itu dia masuk untuk mengangkat tas pakaian. Mobil Dewa diparkirkan di depan rumah. Dia melihat Nirmala mengangkat kardus. Lalu keluar dari mobil. Dewa memasukkan semua barang bawaan Nirmala ke dalam mobil. Nirmala mengunci pintu rumah, setelah itu masuk ke mobil. “Aku nggak boleh tidur di rumah ini sehari aja, Mas?” “Nggak boleh. Kamu harus ikut ke rumah saya.” “Kenapa harus ikut, sebenarnya kita aja belum kenalan. Emang Mas nggak malu nikah sama saya?” “Karena kamu sekarang tanggung jawab saya, kalau kamu masih tidur di sini, saya harus bilang apa sama ayahmu?” “Ayah sudah nggak ada dan aku juga bisa hidup sendiri, aku masih bisa membiayai hidupku sendiri.” “Tolong, Mala. Saya punya janji sama Ayah kamu, biarkan saya menepati janji saya, jangan biarkan saya jadi orang yang ingkar janji. Saya tahu pernikahan itu bukan sesuatu yang bisa dipermainkan. Saya mungkin tidak cinta sama kamu, sekarang. Tapi kita nggak tahu apa yang akan terjadi besok. Jadi tolong biarkan saya menepati janji saya pada Ayah kamu dengan menjaga kamu. Sekarang kamu harus ikut saya ke rumah. Nggak boleh kabur, ingat itu!” Nirmala hanya menganggukkan kepala, lalu menunduk. Sepanjang perjalanan dia hanya diam. Nirmala masih belum bisa membayangkan bagaimana hidupnya sebagai seorang istri. Istri dari pria asing yang dia tidak kenal siapa orang itu dengan baik. Dia memikirkan bagaimana nasib pernikahan yang akan dia jalani tanpa cinta. Apakah dia masih bisa terus kuliah dan berteman dengan teman kuliah seperti biasa. Apakah dia harus menjadi istri yang setia menunggu suaminya pulang dan mengerjakan semua tugas rumah. Apa yang akan dia lakukan ketika dia sampai di rumah suaminya. Apakah dia harus berkenalan dengan orang tua Dewa, atau harus hidup satu atap dengan mereka semua. Semua pikiran itu membuat nyali Nirmala mencuit. Jika bisa, dia ingin berlari sejauh mungkin saat itu juga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN