15. Kunjungan Pagi

1798 Kata
Kesadaran yang menari-nari di benak Ritz membuat pria itu ketakutan. Banyak tanya yang ingin dia lontarkan, tetapi mulutnya tidak mampu mengucap satu patah kata pun. Ketika Ritz berhasil menguasai diri dan mulai pulih dari keterkejutannya, sepasang tangan meraih tubuh Zev, menjauhkannya dari jendela, lalu menutup gorden. Sayup-sayup tangis Zev terdengar dari dalam. Di saat bersamaan mata Zanna menampakkan kekecewaan. Dia menoleh ke arah Yuta dan berbisik, “Padahal Zanna masih mau liat Dede Zev.” Yuta merasa lega karena Asha menyelamatkannya dari situasi ini. Namun, wajah kecewa Zanna membuat Yuta merasa bersalah. “Maaf ya, Sayang. Dede Zev sudah harus tidur.” Zanna mengangguk, lalu segera berdiri. “Tante, nanti Zanna boleh dateng lagi enggak?” “Zanna mau ke sini lagi?” ujar Yuta serba salah. Kembali Zanna mengangguk. “Zanna pengin main sama Dede Zev.” Perlahan Yuta menoleh ke arah Ritz yang masih berdiri kaku di tempatnya. “Kalau soal itu, Zanna harus tanya sama Papa.” Zanna segera menghampiri Ritz, lalu mengguncang tangan ayahnya. “Papa, Zanna boleh main ke sini lagi?” Sentuhan Zanna membuat Ritz tersadar dan dia segera mengangguk. “Nanti Papa antar.” “Sekarang Zanna pulang dulu ya, sudah malam sekali," ujar Yuta untuk membujuk putrinya. "Zanna harus tidur supaya tidak sakit.” Untungnya Zanna langsung menurut, sehingga tidak ada drama berkelanjutan. Usai memastikan Ritz sudah pulang bersama Zanna, Yuta baru bisa bernapas lega. Lututnya gemetaran saking takut tadi. Dia khawatir Ritz akan menyadari sesuatu saat melihat Zev. “Ta, kamu enggak apa-apa?” tanya Asha khawatir begitu Yuta masuk. “Ash, hampir aja ….” Perlahan Yuta menyandarkan tubuhnya di dinding. Dia benar-benar lemas dan gemetaran saat ini. “Makasih tadi kamu langsung ambil Zev.” “Tadi itu, benar mantan suami dan anak kamu, ‘kan?” ujar Asha memastikan. Yuta hanya membalas dengan anggukan pelan. Hari ini rasanya sangat melelahkan bagi Yuta. Bukan karena menemani Zanna seharian, tetapi karena Ritz membuatnya jantungan berkali-kali. “Gimana caranya kamu bisa pulang sama mereka?” Yuta menceritakan semua yang terjadi di rumah Ritz beberapa hari belakangan, lalu mengakhirinya dengan lesu. “Ash, aku enggak yakin masih bisa lanjut ngajar di sana lagi.” “Kenapa?” “Aku takut ketauan, Ash.” “Kalau kamu berhenti, gimana dengan Zanna?” Mendengar betapa lengketnya Zanna dengan Yuta, Asha tidak bisa membayangkan jika mereka berpisah lagi. “Apa dia enggak akan sedih?” “Itulah yang bikin aku bingung," bisik Yuta putus asa. Jika dia tiba-tiba berhenti, mungkin kepergiannya akan kembali menimbulkan luka di hati Zanna. Saat Yuta dicekam ketakutan, Ritz tengah tenggelam dalam kebingungannya. Dia tidak bisa melupakan sosok mungil yang berjingkrak-jingkrak di depan jendela menyambut kepulangan Yuta. Wajah itu seolah-olah langsung terukir dalam ingatannya. “Pa,” panggil Zanna dalam perjalanan pulang. Hening. Ritz hanya terdiam sambil memandang ke luar kaca mobil tanpa merespon sama sekali. “Papa?” Kali ini Zanna mengguncang pelan lengan ayahnya. Sentuhan Zanna baru membuat Ritz menoleh. “Ya, Sayang?” “Papa janji, ‘kan?” Ritz tampak tidak mengerti ucapan putrinya. “Janji apa, Sayang?” “Anter Zanna ke rumah Tante Asha lagi.” “Iya, Sayang. Papa janji.” Tanpa perlu Zanna minta pun, Ritz memang sudah bertekad akan kembali lagi ke rumah Yuta. “Kapan?” tanya Zanna tidak sabar. “Hm?” gumam Ritz tidak fokus. “Kapan Zanna boleh main ke rumah Tante Asha?” “Soal itu Papa belum tahu ya, Sayang," sahut Ritz bingung. Saat ini dia benar-benar tidak bisa fokus pada sekeliling. Otaknya penuh dengan pertanyaan mengenai Zev. Untung saja dia tidak menyetir sendiri, atau mereka mungkin akan berada dalam bahaya. Zanna tampak tidak puas dengan jawaban Ritz dan dia mencoba lagi. “Besok bisa enggak, Pa?” “Nanti Papa lihat jadwal dulu ya.” Lama-lama Zanna tidak bertanya lagi. Selain jengkel karena merasa diabaikan, gadis kecil itu juga mengantuk. Sepanjang perjalanan hingga tiba di rumah, wajah bocah lelaki itu terus menari-nari dalam ingatan Ritz. Setibanya di rumah, alih-alih beristirahat, Ritz langsung menuju ruang kerjanya. Ada sesuatu yang harus dia lakukan, yaitu membongkar koleksi album foto milik keluarganya. “Mas Lau kurang kerjaan?” tanya Dani dari pintu dengan nada menyindir. Kebetulan tadi dia bangun untuk mengambil minum di dapur dan melihat pintu ruang kerja Ritz terbuka. “Udah tengah malam malah manjat-manjat begitu.” Jujur saja Dani heran melihat Ritz berdiri di tangga lipat sambil memeriksa deretan rak teratas. Pria itu tampak kusut, bermandikan keringat bercampur debu. Sebersih-bersihnya rumah sultan, area yang jarang tersentuh pastilah berdebu juga. Ritz sedang malas menanggapi kelakuan Dani. Lebih baik dia fokus mencari foto penting yang bisa menjadi petunjuk baginya. Penasaran karena Ritz tampak begitu serius, perlahan Dani melangkah masuk. “Mas Lau lagi ngapain sih? Mau dibantuin enggak?” Baru sekarang Ritz menjawab, “Lo mau bantuin gue?” “Bilang dulu lagi ngapain.” “Gue lagi nyari foto kecil gue.” Kening Dani langsung berkerut. “Foto kecil?” “Hm.” “Buat apaan?” Ada-ada saja tingkah Ritz ini pikir Dani. “Lagi butuh aja,” balas Ritz asal. Dia tidak mungkin menceritakan alasan sebenarnya kepada Dani. Bukan Ritz ingin bermain rahasia-rahasiaan, hanya saja dia harus memastikan segala sesuatunya terlebih dahulu sebelum bisa mengungkap hal ini kepada orang lain. “Sini dibantuin.” Entah mengapa Dani jatuh iba melihat Ritz kerepotan sendiri. Bukan berarti kekesalannya sudah berkurang, hanya saja Dani teringat akan kebaikan Ritz selama ini. “Makasih,” gumam Ritz heran. Sudah lama Dani tidak pernah mau terlibat lagi dalam urusannya. Tentu saja tepatnya sejak kepergian Yuta. “Foto umur berapa?” tanya Dani sebelum mulai mencari. “Kira-kira pas gue umur satu sampai tiga tahun.” “Kalau umur segituan, carinya di rak yang sebelah sana.” Dani menunjuk deretan rak yang berbeda dari tempat Ritz mengacak-acak saat ini. Album foto milik Keluarga Meijer terhitung sangat banyak. Kedua orang tua Ritz adalah orang yang senang mengabadikan setiap momen. Jika ingin tahu kisah Ritz sampai usia remaja, bongkar saja album fotonya. Danastri, mendiang ibu Ritz, mengatur semua jejak kenangan mereka dengan sangat rapi. Diurutkan bulan demi bulan, tahun demi tahun, sampai akhirnya almarhumah meninggalkan dunia ini. “Hm?” Ritz menoleh ke arah yang Dani tunjuk. “Itu Mas Lau nyari di kumpulan foto yang kira-kira udah umur lima sampai tujuh.” Tidak heran kalau Dani bisa langsung tahu karena memang dia yang mengurus segala hal di rumah Ritz sejak belasan tahun lalu. “Oh ….” Ritz tampak kebingungan dan merasa usahanya sejak tadi sia-sia. “Ayo, turun!” panggil Dani gemas karena Ritz malah bengong. “Kita geser dulu tangganya.” Akhirnya, Ritz turun dan memindahkan tangga ke deretan rak yang Dani tunjukkan. Kemudian, dia naik sendiri dan kembali mencari. “Mas Lau, jangan nangkring doang di situ!” seru Dani geregetan. “Terus gue harus apa?” sahut Ritz heran. “Sini bawa turun!” desis Dani gemas. Sudah dari tadi dia menunggu di bawah, tetapi Ritz malah mengabaikannya. “Katanya mau dibantuin nyari, malah asyik sendiri di atas.” Ritz baru ingat kalau Dani mau membantu. Dia segera mengambil setumpuk album, lalu menurunkannya. “Nyari foto buat apa sih?” tanya Dani sambil mulai mencari. “Nanti kapan-kapan gue kasih tau,” balas Ritz datar. Dani melirik curiga, tetapi tidak mencari tahu lagi. “Mau cari yang kayak gimana?” “Foto gue yang mukanya keliatan jelas.” Cukup lama Dani diam dan mengamati lembar demi lembar album foto Ritz. Dia berhenti ketika menemukan sebuah foto Ritz yang memperlihatkan wajahnya dari jarak dekat. “Kayak gini?” Ritz melirik sekilas, lalu langsung menggeleng. “Itu dari samping, cari yang dari depan.” Dani mencari-cari lagi, lalu berseru antusias, “Nih, dari depan!” “Itu terlalu bayi.” Kembali Ritz menggeleng. Usianya saat di foto baru satu tahun lebih. “Gue butuh yang agak gedean dikit dari situ.” “Ribet banget deh, ah!” gerutu Dani mulai sebal. “Kalau enggak mau bantu, gue enggak maksa.” “Cerewet!” desis Dani keki, tetapi tangan dan matanya tetap terus mencari. “Nih, dapet!” “Mana?” Ritz melirik foto yang Dani tunjukkan, lalu langsung merampasnya. Mata Ritz perlahan membesar melihat foto masa kecilnya. “Kayak gitu bukan?” tanya Dani tidak sabar. “Persis …,” gumam Ritz tidak fokus. “Persis apa?” “Ini yang gue cari!” seru Ritz senang. Dia segera berdiri dan meninggalkan Dani. Cepat-cepat Dani berseru, “Mas Lau mau ke mana?” Ritz tidak menjawab pertanyaan Dani, dia hanya melambai tergesa-gesa. “Makasih udah bantuin gue.” “Main ngilang aja abis dibantuin.” Dani berdecak heran. “Kalau gini caranya, gue yang kena beresin sendirian.” Sepanjang malam itu, Ritz tidak terjaga. Dia sibuk mencari-cari sesuatu dan ketika sudah menemukan, Ritz tidak sabar menunggu datangnya pagi. Matahari belum lagi muncul ketika Ritz memarkir mobilnya dekat rumah Yuta. Dia menunggu sebentar lagi sampai langit mulai berubah terang. Meski Yuta mantan istrinya, tidak sopan mendatangi rumah wanita itu saat masih gelap. “Siapa yang datang, Ash?” tanya Yuta bingung saat mendengar bel dibunyikan. “Aku enggak ada janjian sama siapa-siapa.” Asha tampak heran. Mereka saja baru bangun. Belum lagi mulai bersiap-siap melakukan kegiatan karena sekarang akhir pekan, waktunya mereka sedikit bersantai. “Apa paket gitu?” ujar Yuta menebak-nebak. Asha bergumam tidak yakin, “Sepagi ini?” “Coba aku cek dulu.” Yuta segera menuju pintu samping untuk melihat orang yang datang. “Masker jangan lupa, Ta!” Yuta hampir lupa, untung saja Asha mengingatkan. Begitu masker terpasang, dia langsung membuka pintu. Betapa terkejutnya Yuta melihat sosok yang berdiri menanti di pintu rumahnya. “Bapak?” Ritz berdiri canggung di hadapan Yuta. “Ada apa datang ke sini pagi-pagi, Pak?” Kedatangan Ritz yang tanpa pemberitahuan ini membuat perasaan Yuta tidak karuan. Apalagi ketika melihat pria itu hanya sendirian. “Zanna mana?” “Zanna di rumah.” “Kalau gitu ada apa?” Ritz menatap Yuta cukup lama, kemudian bertanya penuh harap, “Bisa kita bicara sebentar?” Dada Yuta bergemuruh seketika. Perasaannya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. Namun, tidak mungkin dia langsung menolak permintaan Ritz, bukan? “Soal apa, Pak?” tanya Yuta hati-hati. “Kita bicara di mobil saya saja.” Tanpa menunggu tanggapan Yuta, Ritz langsung berbalik dan berjalan menuju mobil. Mau tidak mau Yuta mengikutinya. Dia sempat berdiri ragu di depan mobil, tetapi Ritz membukakan pintu dan memberi isyarat untuk masuk. Keduanya duduk dalam diam di mobil. Masing-masing dengan pikirannya sendiri. Ritz sibuk memikirkan cara memulai pembicaraan, sementara Yuta pusing menebak maksud pria ini. Akhirnya, Yuta tidak tahan lagi dan mulai bicara, “Ada apa dengan Zanna, Pak?” Alih-alih menjawab, Ritz malah mencondongkan tubuh ke arah Yuta, lalu meraih wanita itu dalam pelukan. “Bagaimana kabar kamu, Rumi?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN