14. Pertemuan Pertama

1959 Kata
"Tante Asha …," panggil Zanna ragu-ragu di sela-sela gadis kecil itu mengerjakan tugas. Yuta menoleh cepat. "Ya, Sayang?" Masih dengan ragu-ragu Zanna berkata, "Zanna mau minta sesuatu." "Minta apa, Sayang?" "Zanna pengin dibacain dongeng sambil boboan di ranjang," pinta Zanna seraya meletakkan tangannya di lengan Yuta. Hati Yuta rasanya begitu hangat setiap kali merasakan tangan mungil Zanna menyentuh lengannya. Apalagi kini tidak ada lagi APD yang menghalangi mereka. Yuta sampai tidak bisa berkata-kata untuk sejenak. "Kayak anak-anak kecil di film atau buku gitu." Suara Zanna terdengar begitu penuh harap. "Dibacain dongeng sebelum bobo sama mamanya." Jika tadi Yuta tidak bisa berkata-kata karena sentuhan Zanna, sekarang ucapan putrinya membuat lidah wanita itu kelu. Rasa bersalah menggerogoti hatinya dan membuat Yuta ingin menangis. Zanna yang tidak menyadari perubahan sikap Yuta, terus saja menceritakan harapannya, "Zanna pengin banget ngerasain, tapi mamanya Zanna belum pulang-pulang juga. Jadi, boleh enggak Tante Asha gantiin dulu?" Hancur hati Yuta mendengar betapa Zanna merindukan dirinya. Sekuat tenaga dia menahan diri agar tidak sampai menangis dan berusaha untuk menjawab dengan tenang, "Tapi Tante Asha enggak bisa ada di sini pas malam, Sayang." "Enggak usah malam, Tante. Siang aja enggak apa-apa. Pas Zanna bobo siang." Tatapan Zanna yang begitu merindu membuat Yuta ingin mendekap putrinya saat ini juga. "Boleh enggak, Tante?" "Boleh, Sayang." Mana mungkin Yuta menolak permintaan Zanna, bukan? Meski khawatir memikirkan Zev yang pasti menunggunya pulang, dia juga tidak bisa mengabaikan Zanna. Alhasil, Dani yang bingung melihatnya. "Bu Guru enggak pulang?" Sekarang sudah lewat jauh dari waktu pelajaran usai. Yuta sudah menemani Zanna makan, bermain pun sempat. Wajar jika Dani heran melihat Yuta masih belum menunjukkan gelagat akan pulang. "Zanna minta dibacain dongeng sambil ditemenin tidur siang. Katanya-" Dani langsung memotong ucapan Yuta seraya menggeleng kencang. Dia tahu benar keinginan Zanna. "Enggak usah dilanjut, nanti gue nangis." "Aku ngerasa bersalah banget, Ann," bisik Yuta sedih. "Gue paham, tapi ini bukan sepenuhnya salah lo." Dani bisa mengerti beratnya beban yang Yuta pikul dan dia berusaha untuk membesarkan hati wanita itu. "Yang udah lewat enggak bisa diubah lagi, tapi lo bisa perbaiki yang di depan. Sekarang fokus aja buat bahagiain Zanna, oke?" Nyatanya Yuta memang tidak dibiarkan bersedih lama-lama karena Zanna kembali mendekat. Gadis kecil itu berjalan setengah melompat-lompat meninggalkan kamar mandi, disusul oleh Andin. "Tante Asha, Zanna udah selesai cuci kaki sama sikat giginya," ujar Zanna ceria. Cepat-cepat Yuta memaksakan diri untuk menghalau perasaan sedih yang sempat menguasai. "Mau bobo sekarang?" "Ganti baju dulu,” sahut Zanna. Spontan mulut Yuta berucap, "Mau Tante bantu ganti baju?" "Mau!" seru Zanna kegirangan. Momen sederhana seperti ini saja mampu membuat Yuta bersusah payah menahan tangis. Sambil menggantikan pakaian Zanna, Yuta berpikir, kapan terakhir kali dia menggantikan pakaian putrinya? Di saat yang sama dia juga menyadari jika putrinya sudah tumbuh demikian pesat. Dahulu, tubuh ini begitu mungil. Tubuh kecil yang selalu dia gendong kian kemari. Kini, bayi menggemaskan itu telah berubah menjadi gadis kecil yang cantik. "Ayo, sekarang ke ranjang!" ajak Yuta usai memasang kancing teratas baju tidur Zanna. Zanna meraih tangan Yuta dan mengajaknya ke tempat tidur. Gadis itu merangkak naik tanpa melepaskan genggaman tangannya. "Tante Asha ikut naik." Yuta mengerjap kaget. "Baju Tante kotor, Sayang." "Kan tadi Tante ganti baju," balas Zanna cepat. Situasi ini membuat Yuta serba salah. Dia menoleh ke arah Dani meminta bantuan. Namun, Dani malah menjawab dengan tenang, "Naik aja, Bu Guru." "Bener enggak apa-apa?" bisik Yuta ragu-ragu. Dani dan Andin mengangguk bersamaan. "Kita tinggal ya!" ujar Dani seraya menyambar lengan Andin. Dia mengajak gadis itu meninggalkan kamar Zanna, lalu berbisik heran, "Lo kenapa nangis?" Cepat-cepat Andin menyeka matanya yang mulai basah. "Aku kayak liat Zanna lagi sama Mbak Yuta." Dani tidak menanggapi perkataan Andin. Dia hanya menoleh ke dalam seraya tersenyum bahagia, sebelum akhirnya menutup pintu dan membiarkan Yuta menikmati waktu berharga bersama Zanna. "Suatu pagi di musim semi yang cerah …." Yuta mulai membacakan buku untuk Zanna sembari berbaring bersisian dengan putrinya. Baru beberapa baris Yuta bercerita, terdengar Zanna bergumam, "Tante Asha, Zanna seneng banget." Mau tidak mau Yuta berhenti membaca. "Senang kenapa, Sayang?" Tiba-tiba saja Zanna memiringkan tubuh, lalu memeluk tubuh Yuta. "Rasanya kayak punya mama." Hanya Tuhan yang tahu betapa hati Yuta menjerit saat ini. Ingin Yuta mengatakan dengan lantang kepada Zanna bahwa dia memang ibunya. "Tante lanjut baca lagi ya," ujar Yuta dengan suara bergetar menahan tangis. Zanna hanya mengangguk kecil sambil terus memeluk Yuta. "Mereka tampak berpesta dengan riang di dekat sungai …." Yuta terus bercerita seraya satu tangannya mengusap lembut punggung Zanna. "Suara Tante Asha lembut banget, Zanna jadi ngantuk," bisik Zanna setelah beberapa menit. "Kalau ngantuk, tutup matanya, Sayang." "Tante Asha bacain sampai selesai ya." Zanna mengetatkan pelukannya seolah-olah tidak rela jika tiba-tiba Yuta akan pergi. Yuta terus membaca cerita itu hingga selesai. " … dan mereka berkumpul lagi bersama keluarganya." Napas Zanna yang teratur menandakan gadis kecil itu sudah terlelap. Yuta mengusap lembut kepala Zanna, lalu berbisik, "Mimpi indah, Sayang." Yuta nyaris tidak percaya jika momen seperti ini bisa kembali menyapanya. "Zanna cantik sekali.” Yuta seakan-akan terhipnotis dengan wajah lelap Zanna yang tampak begitu damai. "Maafin Mama karena selama ini enggak ada buat Zanna." Memeluk Zanna seperti ini membuat Yuta teringat kenangan terakhirnya sebelum dia pergi. "Maafin Mama karena udah pergi dari sini. Bukan Mama enggak sayang sama Zanna. Mama sayang sekali sama Zanna. Mama selalu kangen Zanna. Mama selalu mikirin Zanna tiap hari." Entah kebetulan semata atau bawah sadar Zanna yang memahami kata-kata Yuta, tetapi tangan gadis kecil itu makin erat memeluk tubuh ibunya. "Sayang, mulai sekarang Mama janji enggak akan jauh lagi dari Zanna. Mama akan berusaha untuk terus menemani Zanna, meski harus berpura-pura sebagai orang lain." Yuta merengkuh tubuh kecil Zanna dan menciumi puncak kepalanya berkali-kali. "Meski sebagai Tante Asha, semoga Zanna bisa merasakan kasih sayang Mama yang besar." Yuta tahu jika Zanna sudah terlelap dan dia bisa pergi sekarang. Namun, pelukan kecil itu membuat tubuh Yuta lumpuh. Dia tidak bisa beranjak dari sana untuk meninggalkan Zanna. Jika dia pergi diam-diam saat Zanna terlelap, rasanya seperti meninggalkan gadis kecil itu untuk kedua kalinya. Pada akhirnya, Yuta tetap diam di sana bersama Zanna. Sebelum jatuh tertidur bersama putrinya, Yuta sudah mengirim kabar kepada Asha dan meminta pengertian sahabatnya untuk menjaga Zev lebih lama. Entah berapa lama Yuta tertidur, tetapi ketika dia membuka mata, tatapannya langsung beradu dengan Ritz. Mata biru yang jernih itu tengah memandanginya sedemikian rupa. "Kamu sudah bangun," sapa Ritz tenang. "Ma-maaf … saya ketiduran," ujar Yuta gugup. Kalau tidak ingat dengan Zanna yang masih tidur sembari memeluknya, Yuta pasti sudah melompat turun dari tempat tidur. "Tidak masalah. Kamu bisa tidur lagi kalau masih mengantuk." "Saya harus pulang." Yuta mulai memikirkan cara untuk melepaskan diri dari pelukan putrinya. "Kamu tega melepaskan tangan Zanna?" Pertanyaan yang Ritz ucapkan mengandung makna ganda dan itu berhasil menahan gerakan Yuta. "Zanna terus tidur sambil memegangi kamu begitu erat." Akhirnya, Yuta menyerah dan kembali berbaring diam. "Bapak sudah lama di sini?" "Belum." Sebenarnya Ritz berdusta. Dia sudah ada di sana sejak Zanna masih bangun. Ritz mendengar semua obrolan mereka dan menyaksikan interaksi keduanya. Dia juga mendengar semua ucapan penuh penyesalan yang Yuta ungkapkan. Tentu saja Ritz tidak terkejut karena dia memang sudah tahu jika guru Zanna adalah Yuta. Dia hanya memilih diam dan membiarkan Yuta melakukan keinginannya. Sejujurnya, Ritz takut Yuta akan pergi lagi jika sadar identitasnya sudah diketahui. "Sepertinya kamu tidak nyaman ada saya,” ujar Ritz setelah beberapa saat. “Saya keluar dulu. Kamu temani saja Zanna sampai bangun.” Sebenarnya, Ritz masih ingin berlama-lama di sana dan memandangi Yuta. Namun, dia harus tahu diri jika tidak ingin semua malah makin berantakan. Untuk saat ini, cukuplah dia bisa memandangi Yuta saat terlelap. Begitu Ritz berlalu, hati Yuta terasa lega. Namun, di waktu yang sama dia merasa sedikit kehilangan. Untuk sesaat dia sempat merindukan momen yang baru saja terjadi. Kenangan akan masa indah ketika mereka mengasuh Zanna bersama. Saat ketika Ritz masih memperlakukannya dengan sangat manis, lembut, dan penuh perhatian. Tidak lama berselang, Zanna menggeliat dalam pelukan Yuta. "Sudah bangun, Sayang," sapa Yuta lembut. "Tidurnya nyenyak?" Mata Zanna langsung terbuka lebar dan dia bertanya setengah tidak percaya, "Tante Asha masih di sini?" "Tante enggak tega tinggalin Zanna, takut Zanna bangun." "Coba aja bisa begini setiap hari …," bisik Zanna spontan. Yuta berusaha mengalihkan pikiran Zanna dengan bertanya ceria, "Zanna kalau habis bangun tidur biasanya ngapain?" "Paling main boneka bentar, habis itu makan snack di taman belakang bareng Uwa sama Tante Ndin." "Mau main boneka sama Tante?" Tawaran Yuta benar-benar membuat Zanna terbelalak. "Tante Asha mau temenin Zanna?" Yuta sudah memutuskan bahwa hari ini dia akan menghabiskan waktu sebanyak-banyaknya dengan Zanna. Entah mengapa hari ini rasanya berat sekali berpisah dengan Zanna. Jika langit tidak berubah gelap, Yuta pasti masih akan terus bertahan di sana. "Sayang, sekarang sudah hampir gelap. Tante harus pulang ya." Kali ini Zanna langsung mengangguk patuh. Dia sudah mendapatkan hari istimewa yang lebih dari bayangannya. Namun, bibir mungil itu tidak tahan untuk mengucap, "Zanna harap kapan-kapan bisa begini lagi." Ingin Yuta berkata jika dia pun sama berharap demikian, tetapi kehadiran Ritz membuat lidahnya kelu. Apalagi tawaran yang pria itu berikan. "Biar saya antar." "Eh … tidak usah!" tolak Yuta cepat. "Kalau tidak diantar, kamu pulangnya gimana?" Yuta baru ingat kalau mobilnya sedang di bengkel sejak kemarin. "Mobil kamu tidak ada, 'kan?" Sejak Ritz memastikan identitas Yuta dengan mengikuti sampai ke rumahnya, diam-diam dia selalu mengamati wanita itu. Tidak heran jika sekarang dia tahu semua hal yang terjadi dalam keseharian Yuta. "Saya panggil taksi online aja," putus Yuta. "Diantar lebih aman.” Ritz menggeleng tidak setuju. “Sudah jelas kamu kenal saya. Pakai yang online begitu, supirnya enggak tahu siapa. Apa enggak takut?" "Tante dianter Papa aja ya?” Tiba-tiba saja Zanna ikut membujuk. “Zanna juga mau ikut anter Tante pulang." Diserang oleh ayah dan anak, Yuta mati kutu. "Mau ya, Tante?” pinta Zanna antusias. “Please, please, please?" Keadaan membuat Yuta tidak bisa membantah lagi. Terpaksa dia harus duduk pasrah di mobil Ritz. Setelah sekian lama, dia kembali duduk semobil dengan pria ini. Berjajar bertiga di kursi belakang, layaknya keluarga bahagia yang utuh. Untungnya ada Zanna di antara mereka sehingga Yuta tidak terlalu canggung. "Terima kasih sudah mengantar saya," ujar Yuta saat mobil Ritz sudah berhenti di depan rumahnya. Tidak lupa dia berpamitan juga kepada putrinya. "Makasih ya, Sayang, udah anterin Tante pulang." "Zanna mau ikut turun, boleh?" tanya Zanna sebelum Yuta membuka pintu. Gerakan Yuta langsung terhenti, tetapi dia kebingungan untuk menjawab. "Cuma mau liat rumah Tante dari depan aja," ujar Zanna lagi. Perlahan Yuta melirik ke arah Ritz. "Mungkin papanya Zanna mau langsung pulang." Namun, jawaban Ritz sungguh di luar perkiraan. "Enggak masalah. Ayo, kita turun dulu!" Begitu ketiganya melangkah menuju halaman, gorden terbuka dan tampaklah Zev di jendela. Bocah itu berjingkrak-jingkrak menyambut kepulangan ibunya. "Mama!" "Tante Asha, itu anaknya Tante ya?" tanya Zanna senang. "Iya, Sayang." Tiba-tiba saja Zanna berlari menghampiri jendela. "Zanna!" seru Ritz kaget. Yuta segera mendekati Zanna. "Halo!" Zanna berjongkok di depan jendela seraya melambai ke dalam. Perlahan dia menengadah ke arah Yuta. "Tante, nama anaknya siapa?" Menyaksikan momen pertemuan pertama kedua anaknya membuat tangis Yuta nyaris pecah. Sekuat tenaga dia berusaha menjawab dengan tenang, "Namanya Zev." "Hai, Dede Zev!” Zanna meletakkan tangannya di jendela dan secara ajaib Zev juga melakukan hal yang sama dari arah dalam. Telapak tangan keduanya seolah-olah bersatu, hanya dipisahkan oleh kaca saja. Pemandangan menakjubkan itu tidak berhenti sampai di sana. Tatapan keduanya ketika saling berpandangan tampak penuh kekaguman, begitu berbinar, dan memancarkan ikatan yang tidak bisa dijelaskan. Tangis Yuta pecah seketika itu juga demi melihat momen mengharukan yang tidak pernah dia bayangkan akan terjadi. Beberapa langkah di belakang Yuta, Ritz berdiri kaku. Beberapa waktu lalu, dia memang sudah pernah melihat Zev, tetapi hanya dari belakang saja. Baru sekarang dia melihat wajah Zev dan detik itu juga Ritz menyadari sesuatu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN