13. Bukan Halusinasi

2242 Kata
“Kenapa sih, Ann?” protes Andin yang merasa terganggu karena Dani menendang-nendang kakinya di bawah meja saat mereka tengah sarapan. “Coba liat sana!” desis Dani seraya melirik ke arah pintu samping. Andin langsung paham maksud Dani. "Loh, Mas Ritz kenapa balik lagi?" Tadi Ritz memang berangkat awal, katanya ada live untuk acara bincang-bincang pagi di salah satu stasiun televisi. Masalahnya sekarang juga masih pagi, bahkan sarapan mereka saja belum selesai, tetapi Ritz sudah kembali ke rumah. "Ada yang ketinggalan kali," celetuk Dani. "Kerjaan gue udah selesai hari ini," jawab Ritz tenang. "Pagi gini udah beres," cibir Dani. "Ada yang ganti jadwal, Mas?" tanya Andin. "Si Yoga salah bikin jadwal kali," celetuk Dani lagi. "Enggak ada apa-apa, enggak ada yang salah.” Ritz menanggapi dengan tenang. Dia sudah sangat terbiasa dengan kesinisan Dani. “Gue cuma pengin pulang cepet aja hari ini." "Zanna pasti seneng papanya seharian di rumah," ujar Andin penuh senyum. Ritz tersenyum kecil. "Zanna masih belajar?" "Iya, Mas.” Andin menunjuk ke atas. “Baru juga mulai," desis Dani ketus. "Kalau gitu saya mandi dulu." Ritz berlalu dengan wajah datar. Tidak ada yang tahu jika dalam hati dia tengah bersorak puas. Begitu melihat Ritz naik, Dani segera bangkit dari kursi. Cepat-cepat Andin menahan lengan Dani. "Ann, mau ke mana?" "Ambil sesuatu di kamar Zanna," jawab Dani asal. "Mau ditemenin?" Dani mengibaskan tangan sembari melarang dengan galak. "Lo di sini aja, jagain makanan gue dari lalat." Lelaki kemayu itu tergesa-gesa menuju kamar Zanna. Napasnya masih terengah-engah saat dia menyapa ceria, "Hai, Cantikku!" "Uwa ngapain?" tanya Zanna heran. Dani mendekat ke arah meja belajar sambil berusaha mengatur napasnya. "Uwa mau ngomong bentar sama Bu Guru." Wajah Zanna tampak diliputi keingintahuan. "Ngomong apa?" "Ngomongin jadwalnya Zanna minggu depan.” Untungnya Dani bisa cepat mencari alasan. Langsung saja dia menarik tangan Yuta dan membawanya menjauh. “Bentar ya, Cantikku!" "Kenapa, Ann?" "Bu Guru, gawat!" bisik Dani sepelan mungkin. Tanpa sadar Yuta jadi ikut berbisik, "Gawat kenapa?" "Papanya Zanna udah pulang." "Hah?" Seketika itu juga Yuta melongo. Dani mengguncang bahu Yuta. "Bu Guru, fokus!" "Aku harus gimana?" bisik Yuta panik. "Bersikap biasa aja, oke?" ujar Dani menenangkan. Dia tahu Yuta pasti akan bereaksi seperti ini. Itu sebabnya dia harus memberi tahu lebih dahulu. Bahaya jika Yuta bengong begini andai langsung berhadapan dengan Ritz. "Jangan tunjukin kalo lo kenal dia. Jangan gugup. Jangan keliatan terganggu sama kehadiran dia. Fokus sama Zanna aja. Ajarin Zanna kayak biasa." "Bentar …," desis Yuta ngeri. "Emangnya dia mau ke sini?" "Dia sih enggak bilang, tapi gue yakin banget tujuan dia ya, ujung-ujungnya bakal ke sini." Dani bisa yakin dari gelagat mencurigakan Ritz. Apalagi saat kemarin pria itu mengatakan ingin memastikan sesuatu. "Siapa tau cuma kebetulan aja dia pulang cepet," ujar Yuta berusaha berpikiran positif. "Come on, Bu Guru! Polos lo enggak berubah juga,” desis Dani gemas. “Ngapain dia pulang cepet kalo bukan buat nemuin lo? Inget, dia udah penasaran banget pengin ketemu lo dari minggu lalu, tapi gagal terus." "Kenapa sih, dia harus penasaran?" gerutu Yuta sebal. "Enggak taulah, intinya emang dia nyebelin aja. Sukanya nyusahin idup orang." "Uwa ngomongnya udah belum?" panggil Zanna dari dalam. "Udah, Cantikku!" "Tante Asha balik ke meja, yuk!" pinta Zanna tidak sabar. Tidak lama setelah Dani berlalu, pintu kamar Zanna kembali terbuka. "Permisi!" sapa Ritz pelan sembari mengamati ke dalam. Dia melihat Zanna tengah duduk tenang di sisi gurunya. Akhirnya, hari ini Ritz akan punya kesempatan untuk mengobrol dengan guru Zanna setelah gagal terus. Jika perempuan itu tidak bisa menunggu, dia yang akan pulang lebih cepat, bahkan dari pagi sekalian. Ritz sendiri tidak mengerti mengapa dia begitu penasaran terhadap guru Zanna. Mendengar suara ayahnya, wajah Zanna langsung tampak berbinar. "Papa kok ada di rumah?" Perlahan Ritz melangkah masuk. "Kerjaan Papa hari ini udah selesai, Sayang." "Jadi, Papa bisa temenin Zanna seharian?" tanya Zanna penuh harap. "Bisa, Sayang." "Bisa temenin Zanna belajar juga?" Kali ini Ritz langsung melirik ke arah sosok yang duduk di sisi Zanna. "Kalau gurunya Zanna enggak keberatan." "Tante, Papa boleh ikut temenin Zanna belajar enggak?" tanya Zanna bersemangat. Yuta yang sejak tadi sengaja menunduk terus, terpaksa menoleh ke arah Zanna. "Boleh saja, Sayang." Setelah mendapat persetujuan, Ritz segera menarik kursi ke dekat meja belajar Zanna. Dia hanya duduk dan mengamati dalam diam. Rasa penasaran Ritz bermula dari kedekatan Zanna dengan gurunya. Kemudian, Ritz menangkap gelagat jika perempuan itu sengaja menghindar saat diminta bertemu. Namun, hal yang paling mengusik Ritz adalah momen pertemuannya dengan perempuan itu. Ritz yakin jika perasaan akrab yang menghinggapi hatinya setiap kali berhadapan dengan perempuan itu merupakan sesuatu yang nyata. Sudah tiga kali mereka bertemu langsung, meski hanya sebentar, dia selalu merasakan sensasi akrab yang sama. Berada satu ruangan dengan Ritz membuat perasaan Yuta tidak karuan. Harus dia akui, rindu itu masih ada. Apalagi menyadari mereka berada sedekat ini, rindu itu kian nyata. Namun, Yuta takut memikirkan kemungkinan dirinya akan ketahuan. Hal itu membuatnya sulit untuk berkonsentrasi. "Tante Asha?" panggil Zanna lembut. "Ya, Sayang?" "Hari ini Tante Asha langsung pulang lagi atau bisa temenin Zanna dulu?" Yuta bisa menangkap harapan dalam mata putrinya. "Memangnya kenapa, Sayang?" "Zanna kangen main sama Tante Asha lagi. Pengin makan ditemenin Tante Asha juga." Diam-diam Ritz menyaksikan interaksi antara putrinya dengan sang guru dan hatinya tersentuh. Dia bisa melihat betapa Zanna sangat ingin berdekatan terus dengan gurunya. "Tante Asha bisa enggak?" ujar Zanna lagi karena Yuta belum menjawab. Sebenarnya Yuta ingin segera kabur, tetapi melihat Zanna demikian berharap, dia tidak tega. "Ngg … sepertinya bisa." "Asyik!” Mata Zanna langsung berbinar-binar. “Janji ya, Tante?" "Tante belum berani janji, Sayang." "Kenapa?" Wajah bahagia itu langsung kembali dikuasai kecewa. "Mungkin nanti ada sesuatu." Jika terjadi hal di luar prediksi, mungkin Yuta harus kabur secepatnya dari sini. Tiba-tiba saja Ritz ikut bicara, "Mungkin Tante Asha harus ngajar lagi setelah dari sini.” Zanna menoleh ke arah Yuta. "Bener gitu, Tante?" Bertatapan dengan mata bening putrinya, Yuta tidak sanggup berdusta. "Enggak, Sayang." "Papa salah tuh!" protes Zanna. "Seingat Papa, Uwa bilang begitu soal Tante Asha," sahut Ritz heran. Ucapan Ritz membuat Yuta gelagapan. "Oh … ngg … itu khusus untuk minggu lalu." Tentu saja sikap gugup Yuta tidak luput dari pengamatan Ritz. "Jadi, minggu ini jadwalnya berubah?" Di saat bersamaan, Zanna juga bertanya, "Berarti Tante Asha bisa temenin Zanna lagi tiap hari?" Yuta merasa terjepit dan hanya bisa mengangguk pasrah. "Tapi tidak bisa terlalu lama ya, Sayang?" Zanna mengangguk paham, lalu berkata dengan nada penuh pengertian. "Takut anaknya Tante Asha nyariin ya?" Tiba-tiba saja Yuta merasa mulas. "I-iya, Sayang." "Ternyata Tante Asha sudah punya anak," gumam Ritz. "Papa enggak tau ya?" Ritz mengangguk ke arah putrinya. "Papa belum pernah mengobrol sama Tante Asha, Sayang." Rasanya Yuta bisa menangkap sindiran dalam kata-kata Ritz. "Anaknya Tante Asha umur berapa?" tanya Ritz entah kepada siapa. Zanna langsung menjawab, "Umur tiga ya, Tante?" "Iya, betul." Yuta mengangguk pasrah. "Laki-laki atau perempuan?" tanya Ritz lagi. Kali ini Yuta yang menjawab, "Laki-laki." Jawaban Yuta membuat Ritz menatap langsung ke arahnya. "Kalau sedang mengajar seperti ini, anaknya siapa yang jaga?" "Ada saudara saya di rumah," sahut Yuta tanpa berani membalas tatapan Ritz. Dia takut pria itu akan mengenali matanya. "Sebelum mengajar Zanna, kamu ke mana dulu?" "Maksudnya?" Yuta mengernyit bingung. Ritz segera memperjelas ucapannya. "Maksud saya, sebelum datang ke sini, apa ada tempat lain yang kamu datangi atau langsung dari rumah?” "Saya langsung dari rumah." "Selalu begitu setiap hari?" "Iya." Diam-diam Ritz mengulum senyum puas. "Kalau begitu, sebenarnya kamu tidak perlu pakai APD." "Kenapa begitu?" Tanpa sadar Yuta mendelik kaget. "Saya yakin kamu pasti bersih,” ujar Ritz yakin. Segala pertanyaan yang tadi dia ajukan bertujuan untuk mengorek keterangan dan ternyata perempuan itu termakan jebakannya. “Di rumah kamu ada anak kecil, kamu pasti sangat menjaga diri. Dari rumah juga langsung ke sini. Berarti kamu tidak terpapar dengan banyak orang di tempat lain." Ucapan ayahnya langsung disambut sorakan gembira Zanna. "Yeay, Tante Asha enggak usah pakai APD lagi!" Fakta yang Ritz paparkan membuat Yuta tidak bisa membantah. Dia hanya bisa menjawab ragu, "Saya takut membawa virus untuk Zanna." "Kamu tetap akan membersihkan diri seperti biasa, lalu berganti pakaian. Saya rasa itu cukup aman," usul Ritz. "Saya …." Yuta sungguh berharap Dani ada di sini dan membantunya bicara. Belum sempat Yuta memberi alasan, Ritz kembali menambahkan, "Kalau kamu repot membawa pakaian ganti, saya yang akan siapkan di sini." "Kalau begitu, apa bedanya dengan pakai APD?" gumam Yuta heran. "Jelas berbeda. APD pasti tidak nyaman." "Buat saya tidak masalah," bantah Yuta. Seolah-olah berkomplot dengan ayahnya, Zanna segera memohon. "Tante Asha enggak usah pakai APD lagi, please?" Merasa mendapat dukungan dari putrinya, Ritz bertanya tenang, "Zanna senang kalau Tante Asha enggak pakai APD?" Zanna langsung mengangguk kencang. "APD bikin keganggu. Kalau enggak pakai APD, Zanna bisa …." Yuta heran melihat Zanna tidak menyelesaikan ucapannya. "Bisa apa, Sayang?" Cepat-cepat Zanna menggeleng. "Enggak jadi." "Kenapa enggak jadi?" tanya Yuta bingung. Zanna melirik ayahnya, lalu tertunduk sedih. "Takut enggak boleh." Perlahan Ritz mendekat, lalu berlutut di sisi Zanna. "Memang putri kecilnya Papa mau apa?" "Zanna cuma mau peluk Tante Asha," bisik Zanna nyaris menangis. "Zanna tau enggak boleh, tapi Zanna suka banget wanginya Tante Asha." "Wangi …," gumam Ritz terkejut. Seketika itu juga, aroma yang sempat Ritz tangkap saat terakhir kali mereka berpapasan, kini kembali menerpa penciumannya. Aroma itu tetap samar, tetapi lebih kuat. Mungkin karena jarak mereka yang sangat dekat dan keduanya berada dalam satu ruang tertutup. Itulah sesuatu yang ingin Ritz pastikan, tetapi tidak bisa dia beri tahu kepada Dani. “Wanginya Tante Asha itu kayak wangi-wangi di kamar Papa. Zanna suka.” Ucapan Zanna siang itu terus menghantui pikiran Ritz. Semalaman dia tidak bisa tidur memikirkan aroma yang menguar dari tubuh guru Zanna. Awalnya, Ritz pikir dia hanya berhalusinasi karena terlalu merindukan mantan istrinya. Namun, ketika Zanna juga mencium aroma yang sama, dia yakin dirinya tidak salah. Keesokan harinya, lagi-lagi Ritz mengambil jadwal pagi saja, kemudian kembali ke rumah secepat mungkin. "Mas Lau mendadak sepi job?" sindir Dani yang merasa deja vu. "Ann, mulut kamu!" tegur Andin heran. "Salah omongan gue?” balas Dani cuek. “Kan cuma nanya." "Bukan sepi job, tapi sengaja nolak job," ujar Ritz tenang. Dani memutar bola matanya. "Mungkin baru sadar kalau dirinya sultan yang enggak perlu repot-repot mulungin duit tiap hari." "Gue cuma lagi pengin di rumah aja. Kangen Zanna." Tentu saja ucapan Ritz hanya sebagian benar. Alasan utamanya tentu karena ingin memastikan lebih jauh soal guru Zanna yang membuatnya terus penasaran. "Mencurigakan," desis Dani sebal. "Mencurigakan kenapa?" tanya Andin heran. Ritz menunjuk ke atas. "Zanna lagi belajar, 'kan?" "Iyalah belajar!” sahut Dani jengkel. “Masa cari duit." Tidak peduli dengan keketusan Dani, Ritz bertanya lagi, "Gurunya Zanna pakai APD atau enggak?" "Ngurusin banget," desis Dani heran. Diam-diam kecurigaan yang Dani rasakan sejak kemarin kian bertambah. "Din?" Ritz meminta jawaban dari Andin. Cepat-cepat Andin menjawab, "Enggak, Mas, tapi ganti baju." Lagi-lagi Ritz tersenyum puas. Untungnya tidak ada yang bisa melihat seringai licik itu di balik masker. Setelah membersihkan diri, Ritz menuju kamar putrinya. Kali ini dia tidak langsung masuk. Ritz hanya membuka pintu dan berdiri mengamati dari luar. "Zanna kenapa senyum-senyum terus, Sayang?" Meski Yuta tidak bisa melihat bibir Zanna, senyum gadis kecil itu tetap tampak dari sudut matanya. "Zanna seneng aja, Tante." "Seneng kenapa?" "Zanna seneng bisa liat Tante Asha. Tante Asha cantik." Mata Zanna penuh kekaguman saat mengatakannya. "Muka Tante kan enggak kelihatan," sahut Yuta geli. "Zanna tetap tau Tante cantik." Pujian dari putrinya membuat Yuta ingin menangis. Namun, belum sempat dia berujar lagi, kehadiran Ritz sudah membuyarkan segalanya. "Zanna hari ini belajarnya pintar enggak?" sapa Ritz yang tahu-tahu saja sudah berjongkok di sebelah Zanna seraya membelai kepala gadis kecil itu. "Pinter dong, Pa!" sahut Zanna senang. "Papa pulang cepet lagi?" Ritz mengangguk kecil. "Mau temani Zanna main." "Temenin belajar juga?" tanya Zanna penuh harap. "Nanti gurunya Zanna terganggu kalau Papa di sini terus," ujar Ritz sambil diam-diam menghirup napas dalam. Tanpa APD, aroma yang menguar dari tubuh perempuan itu tercium jelas. Kini Ritz yakin aroma itu milik Yuta. Zanna meraih tangan Yuta, lalu bertanya, "Tante Asha keganggu ada Papa?" "Ngg … enggak," sahut Yuta lirih. Kini tangan Zanna yang lain menggenggam tangan Ritz. "Berarti Papa boleh di sini." Waktu yang Ritz miliki selagi bisa menemani Zanna dia pergunakan sebaik-baiknya untuk mengamati sosok sang guru. Makin diamati, Ritz merasa kian akrab dengan perempuan itu. Bukan saja aroma, postur tubuh dan gerak-geriknya, semua mengingatkan Ritz kepada Yuta. Hanya saja, guru Zanna jauh lebih kurus dibandingkan Yuta. Siang harinya, saat Yuta hendak berpamitan, sebuah pikiran tiba-tiba melintas dalam benak Ritz. Tanpa pikir panjang, dia segera mengikuti wanita itu. Dia merasa harus mencari jawaban dari segala rasa penasaran yang menghantuinya sejak kehadiran wanita itu. Misi Ritz untuk membuntuti Yuta berhasil tanpa kendala sama sekali. Ketika mobil itu menepi di depan sebuah rumah, Ritz pun ikut berhenti. Cukup lama Ritz tetap bertahan di sana, berharap bisa melihat sosok yang dia kenal keluar dari rumah itu. Ketika hampir menyerah, nyatanya harapan Ritz terkabul. Setelah hampir dua jam menanti, pintu rumah itu kembali terbuka. "Bimo," gumam Ritz terkejut ketika melihat pria itu keluar dari rumah. Pria itu tidak sendiri, ada seorang bocah lelaki dalam gendongannya. "Ternyata memang benar kamu," bisik Ritz antara lega dan sesak. Di belakang Bimo, dia melihat sosok guru Zanna yang kini tidak menggunakan masker. Ritz lega karena akhirnya bisa menemukan Yuta, tetapi dia sesak melihat pemandangan yang saat ini terpampang di depannya. Ritz melihat Yuta meraih bocah lelaki itu dalam pelukannya seraya tersenyum manis ke arah Bimo.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN