12. Berkali-kali Gagal

1980 Kata
Rasa bersalah akibat menghindari Zanna selama beberapa waktu terakhir membuat Ritz berniat menebusnya hari ini. Dia sengaja pulang lebih cepat agar memiliki waktu untuk menemani Zanna bermain. "Putri mungilnya Papa lagi apa?" sapa Ritz begitu melangkah memasuki kamar putrinya. Tidak ada balasan. Zanna tampak asyik sendirian di meja belajarnya. Penasaran karena putrinya diam saja, Ritz segera mendekat. Dia berjongkok di sisi Zanna, lalu merangkul putrinya. "Sayang, lagi apa?" "Papa udah pulang?" Wajah Zanna tampak terkejut sekaligus senang saat melihat ayahnya. "Zanna sibuk banget sampai enggak dengar Papa masuk," goda Ritz. "Maaf, Pa.” Zanna tersenyum malu-malu. “Ini seru banget." Ritz jadi tertarik ingin melihat hal yang tengah menyita perhatian putrinya. "Zanna buat apa?" "Hiasan, Pa." "Hiasan apa?" "Hiasan aja. Biar kamar Zanna keliatan cantik." Kening Ritz mengernyit melihat potongan kertas aneka warna, gunting, lem, dan berbagai pernak-pernik di meja. "Ini Zanna buat sendiri?" "Iya, dong!" Zanna mengangguk bangga. "Seingat Papa, Zanna enggak suka buat-buat beginian." Ritz ingat betul seheboh apa Dani dan Andin membantu Zanna saat putrinya mendapat tugas yang berhubungan dengan keterampilan semacam ini dari sekolah. "Emang, tapi sekarang jadi suka." "Wah, kok bisa?" "Soalnya bikin-bikin ginian sama Tante Asha itu seru, Pa." "Guru lesnya Zanna?" tanya Ritz memastikan. Zanna mengangguk cepat, lalu berbicara dengan bersemangat, "Zanna baru tau kalau gunting-gunting, nempel-nempel, hias-hias, ternyata seru juga. Enggak susah kayak dulu." "Putrinya Papa hebat sekali!" Tidak hanya sekadar memuji, Ritz juga membantu Zanna mengerjakan hiasan itu bersama-sama. Banyak cerita yang Ritz dengar dari mulut Zanna perihal gurunya di saat mereka menghabiskan waktu berdua. "Zanna udah tidur, Mas?" tanya Andin saat melihat Ritz turun sendiri. Ritz mengangguk pelan. "Langsung tidur." "Cepat juga," gumam Andin heran. "Beberapa hari ini Zanna cepat tidur. Apa Zanna kelelahan?" "Kelelahan gimana maksudnya, Mas?" "Mungkin lagi banyak tugas sekolah." "Tugas sekolah biasa sih, Mas," jawab Andin yakin. Sejak ada guru yang membantu, semua tugas Zanna selesai dengan cepat. "Tapi kalau dilihat-lihat, Zanna juga jadi kelihatan lebih ceria,” ujar Ritz heran. Bukan Ritz tidak suka putrinya tampak ceria, malah dia senang. Hanya saja Ritz ingin tahu penyebabnya. “Apa yang terjadi dengan Zanna?" Belum sempat Andin menjawab, Dani tiba-tiba saja menyela dengan pedas, "Sibuk terus sih, pulang malam tiap hari, jadinya enggak tau perkembangan anak." Kening Ritz berkerut seraya mengamati ekspresi Dani. "Kenapa gue ngerasa lo makin sinis aja sama gue, Dan?" Dani mengangkat bahu perlahan. "Bagus deh, kalo ngerasa." Jujur saja, kemarahan Dani memang jadi tidak terkendali sejak bertemu lagi dengan Yuta. Setiap hari rasanya Dani selalu dongkol jika melihat muka Ritz. Ingin rasanya dia memaki-maki pria itu setiap kali teringat kesulitan yang Yuta alami. Keheranan Ritz makin bertambah. "Gue bikin salah apa sama lo?" "Enggak ada. Lo enggak bikin salah apa-apa sama gue. Malah enggak pernah bikin salah sama siapa-siapa. Lo kan sempurna, Mas." Ada nada marah dalam sindiran yang Dani lontarkan dan Ritz menyadari hal itu. "Lo kenapa sih, Dan?" tanya Ritz tidak habis pikir. Sudah lama memang Dani tidak pernah lagi bicara ramah dengannya, tetapi tidak sampai seketus ini juga. "Enggak kenapa-napa.” Dani mengangkat dagu tinggi-tinggi, kemudian mengibaskan tangan. “Lanjutin deh ngobrolnya." Bukan saja Ritz yang heran melihat kelakuan Dani, Andin pun demikian. Namun, dia juga tidak pernah mendapatkan jawaban memuaskan setiap kali bertanya kepada Dani perihal sikapnya yang tidak bersahabat terhadap Ritz. Melihat Dani berlalu, cepat-cepat Andin melanjutkan obrolan mereka. "Zanna memang jadi ceria banget sejak ada gurunya, Mas." "Memangnya apa yang guru Zanna lakukan?" tanya Ritz tertarik. "Mbak Asha senang ajak Zanna main." "Main apa?" "Main sama Angsa dan adik-adiknya, main bola sabun, main pesawat kertas, main kincir angin, banyak deh pokoknya, Mas." “Angsa dan adik-adiknya?” gumam Ritz kaget. Andin mengangguk membenarkan. “Memangnya guru Zanna enggak takut?” Anjing-anjingnya memang tidak galak, tetapi tubuh mereka besar-besar. Kalau orang yang tidak terbiasa dengan anjing, biasanya cenderung takut berhadapan dengan Angsa, Beruang, Cakalang, Dugong, Entog, Flamingo, dan Gajah. Andin mencoba mengingat-ingat ekspresi guru Zanna saat bermain bersama anjing-anjing itu. “Kayaknya enggak, Mas.” “Terus mereka mau main sama gurunya Zanna?” “Mau-mau aja, Mas. Malah nurut.” Kini Ritz makin heran. Jarang sekali anjing-anjingnya mau bermain, apalagi menuruti perintah orang baru. “Terus tadi kamu bilang main apa aja selain main sama gogok?” “Oh, itu! Pesawat kertas, kincir angin, sama bola sabun, Mas.” "Memangnya Zanna punya mainan seperti itu?" Seingat Ritz, dia tidak pernah membelikan mainan model begitu. Andin meringis, lalu menjawab, "Bikin, Mas." "Siapa yang bikin?" "Mbak Asha, Mas." "Gurunya Zanna mau repot-repot ajak Zanna main sampai segitunya?" tanya Ritz sedikit tidak percaya. Jenis permainan yang dimainkan bukanlah sesuatu yang bisa dilakukan begitu saja tanpa usaha. Entah orang itu tidak ada kerjaan, terlalu baik, atau punya niat terselubung. "Mungkin Mbak Asha enggak tega lihat Zanna selalu sedih tiap selesai belajar." "Sedih kenapa?" "Zanna kayak enggak rela cepet-cepet pisah sama gurunya. Biasa setelah selesai belajar, ditahan dulu sama Zanna. Enggak langsung dikasih pulang. Jadinya Mbak Asha temani Zanna makan siang dan main dulu sebentar." Ritz sadar betapa dia abai dengan kegiatan Zanna akhir-akhir ini. Dia sampai tidak tahu sama sekali jika ada perubahan signifikan yang terjadi dalam keseharian putrinya. "Apa gurunya enggak keberatan?" "Kayaknya enggak, Mas." "Tapi mungkin kelihatan terpaksa ya?" ujar Ritz sangsi. "Enggak juga, Mas." Andin memang polos dan cenderung tidak peka, tetapi perkara menilai ketulusan orang dia cukup bisa. "Apa Zanna senang sekali sama gurunya?" "Banget!" Andin mengangguk tanpa ragu. "Nempel, lengket, enggak mau pisah." Setiap kali melihat Zanna bersama gurunya, entah mengapa pikiran Andin jadi suka melayang ke mana-mana. Dia jadi membayangkan sosok Yuta. Dalam benak Andin, dia berangan-angan sendiri. Mungkin seperti ini jadinya jika Yuta ada bersama mereka. "Pantas tadi juga cerita terus soal gurunya," gumam Ritz. "Pokoknya sekarang Zanna keliatan bahagia banget. Belajar enggak rewel, makan lahap, mainnya ceria." Ritz mendengarkan cerita Andin sambil berpikir keras. Bagaimana bisa Zanna begitu dekat dengan orang baru, bahkan sampai seakrab itu? "Zanna juga sekarang mau makan sayur loh, Mas," imbuh Andin lagi. "Saya jadi penasaran sama gurunya." "Mas Ritz mau ketemu Mbak Asha?" tanya Andin bersemangat. Rasanya dia ingin Ritz juga bisa melihat betapa bahagianya Zanna saat bersama dengan sang guru. Perlahan Ritz mengangguk tidak yakin. "Kalau ada waktu." Dani yang entah muncul dari mana, tiba-tiba kembali menyindir, "Orang sibuk mana ada waktu ketemu." Cepat-cepat Andin berbicara lagi sebelum suasana jadi tidak enak akibat ucapan Dani. "Mas Ritz bilang aja kapan mau ketemu, nanti Andin bilangin biar Mbak Asha pulangnya nunggu Mas Ritz datang." "Gue enggak yakin Bu Guru bisa, dia kan banyak kesibukan lain, bukan cuma nungguin Zanna doang," celetuk Dani sambil melenggang begitu saja. Keesokan harinya, Dani segera memberi bocoran kepada Yuta saat ada kesempatan. Kebetulan Zanna sedang ke toilet dan Yuta sendirian di kamar. "Bu Guru …," bisik Dani sepelan mungkin sambil berjingkat mendekat ke meja belajar. "Kenapa, Ann?" Tanpa sadar Yuta juga menanggapi dengan berbisik. "Bapaknya Zanna mau ketemu sama Bu Guru." Demi menjaga agar identitas Yuta tidak ketahuan, dia memutuskan untuk terus memanggil wanita itu dengan sebutan ‘Bu Guru’ saja. Seketika itu juga tubuh Yuta menegang. "Udah gue duga reaksi Bu Guru bakal begini." Masih dengan tatapan ngeri Yuta bertanya, "Kenapa dia mau ketemu aku?" "Dia heran liat Zanna banyak perubahan. Terus Andin cerita soal Bu Guru, bangga-banggain semua yang Bu Guru lakuin.” Semalam, meski terlihat tidak peduli, diam-diam Dani terus mendengarkan obrolan antara Ritz dengan Andin. “Jadi aja dia penasaran pengin ketemu." "Aku enggak mau ketemu!" Yuta menggeleng panik. "Gue tau kok, Bu Guru enggak mau," sahut Dani menenangkan. "Terus gimana dong?" bisik Yuta senewen. "Ya enggak usah ditemuin. Susah amat," balas Dani cuek. "Nanti kalau Andin suruh Bu Guru nunggu, bilang aja ada urusan lain. Bu Guru mesti cepet-cepet pergi ke tempat lain." "Aku enggak yakin bisa bohong." Andai berbohongnya kepada orang lain, Yuta masih lebih bisa. Namun, kalau orang-orang dekat yang harus dibohongi, jujur saja Yuta kesulitan. Dani mengembuskan napas pasrah. "Bu Guru emang payah banget urusan bohong." "Makanya langsung ketahuan sama kamu." "Tenang, nanti gue bantu ngomong,” ujar Dani penuh tekad. Dia telah berjanji akan menjaga identitas Yuta agar tidak ketahuan oleh Ritz. “Bu Guru tinggal iya-iyain aja." "Kalau dia tiba-tiba muncul pas aku masih di sini gimana?" "Bu Guru langsung pergi aja." "Nanti dikira enggak sopan." "Biar aja,” cibir Dani tidak peduli. “Dia juga dulu seenaknya terus sama Bu Guru." "Tapi kan dia taunya aku guru, bukan …." Ucapan Yuta menggantung begitu saja. "Iya juga." Dani mengangguk bodoh. "Ya udah, sekarang buat jaga-jaga, Bu Guru selalu balik cepet aja tiap abis ngajar Zanna." "Nanti kasihan Zanna," gumam Yuta sedih. Jawaban Yuta membuat Dani kembali merasa geram. "Emang ini bapak satu dari dulu bisanya bikin anak bini susah mulu." "Aku udah bukan istrinya lagi, Ann," bantah Yuta cepat. "Maaf, Bu Guru. Salah ngomong." Berkat bantuan Dani, Yuta berhasil menghindari Ritz selama berhari-hari. "Gurunya Zanna masih ada?" tanya Ritz penuh harap setelah tiga hari berturut-turut gagal bertemu, padahal dia sudah menyempatkan waktu untuk pulang lebih cepat. Andin hanya bisa menggeleng pasrah. "Udah pulang, Mas." "Lagi?" desah Ritz tidak percaya. "Kenapa mau ketemu aja susah banget?" Andin benar-benar merasa bersalah karena tidak bisa menjalankan mandat dari Ritz dengan benar. Permintaannya agar guru Zanna menunggu selalu ditolak dengan berbagai alasan. "Karena di dunia ini yang sibuk bukan cuma Mas Lau seorang,” sindir Dani ketus. “Semua orang punya kesibukannya masing-masing." Namun, Ritz bukan orang yang mudah menyerah, apalagi jika sudah dikuasai penasaran. Hari berikutnya dia mencoba pulang lebih awal lagi. "Mas Ritz, gurunya Zanna udah pulang,” ujar Andin sebelum ditanya. “Baru banget.” "Saya tahu, tadi sempat papasan di luar," balas Ritz jengkel. Sudah dipercepat pun nyatanya dia masih gagal juga. "Wah, akhirnya ketemu!" seru Andin lega. "Ngobrol dong!" celetuk Dani. Wajahnya tampak datar, padahal hatinya harap-harap cemas. Bagaimana kalau Yuta ketahuan? "Cuma bentar banget," balas Ritz lesu. Tepat ketika Ritz turun dari mobil, dia melihat guru Zanna berjalan tergesa-gesa meninggalkan pos menuju mobil. Segera saja dia menghampiri dan mengadang langkah perempuan itu. "Hai! Kamu gurunya Zanna, 'kan?" Wanita yang terus tertunduk itu terpaksa menghentikan langkah, tetapi tetap tidak mau mengangkat wajahnya. "Eh … ngg … iya …." "Akhirnya ketemu juga,” ujar Ritz senang. “Bisa kita mengobrol sebentar?" "Enggak bisa!" tolak wanita itu cepat. "Loh, kenapa?" tanya Ritz heran. Penolakan wanita itu terdengar terlalu ekstrem di telinga Ritz. "Ngg … saya harus, itu ada anak …." Diam-diam Ritz heran karena dia merasa wanita ini tampak gugup. Kemudian, dia coba menebak ucapan yang menggantung itu. "Anak les lain?" "Iya betul!" "Sayang sekali, padahal saya ingin lebih kenal sama kamu." "Enggak usah!" Kembali terdengar penolakan yang rasanya terkesan agak kasar. "Hm?" Keheranan Ritz makin bertambah. Cepat-cepat wanita itu menambahkan, "Maksud saya, enggak usah buang-buang waktu Bapak." "Kalau begitu, setidaknya saya mau bilang terima kasih." "Buat apa?" "Terima kasih karena kamu sudah mau meluangkan waktu untuk menemani Zanna. Terima kasih juga sudah memberi Zanna perhatian lebih. Saya senang karena sekarang Zanna terlihat jauh lebih ceria." Alih-alih merasa tersanjung atau melanjutkan basa-basi, wanita itu malah kabur. "Saya harus pergi sekarang, permisi!" Dani tampak tersenyum puas mendengar Ritz hanya sempat bicara sebentar dengan Yuta. Namun, Ritz melihat hal itu dan langsung bertanya kesal, "Lo kenapa enggak bantu Andin cegah gurunya Zanna biar jangan pulang dulu?" "Ih, ngapain?” balas Dani malas. “Orang gurunya Zanna emang sibuk, masa gue tahan-tahan." "Tapi sebelum-sebelumnya selalu ada waktu menemani Zanna dulu." "Ya kebetulan aja lagi bisa.” Dani segera mencarikan alasan untuk Yuta. “Sekarang gurunya Zanna ada dapet murid baru. Jamnya pas banget abis ngajar Zanna." Ritz memicingkan mata mengamati eskpresi Dani. "Kenapa gue ngerasa kalo lo berusaha bantu gurunya Zanna buat enggak ketemu sama gue, Dan?" "Idih, kurang kerjaan amat gue!" seru Dani dongkol, padahal dalam hati dia deg-degan. "Lagian Mas Lau juga kenapa penasaran amat deh sama gurunya Zanna?" "Gue cuma mau memastikan sesuatu." "Memastikan apa?" tanya Dani waswas. Tatapan Ritz tampak menerawang jauh saat berkata, "Sesuatu yang enggak bisa gue kasih tau ke lo."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN