11. Tidak Kunjung Kembali

2090 Kata
"Zanna, bobo yuk!" Andin memanggil Zanna yang tengah duduk sendiri di balkon kamarnya sambil memeluk sebuah boneka. "Nanti, Tante!" balas Zanna tanpa beranjak sama sekali. Andin menghampiri Zanna di balkon, lalu mengusap kepala gadis kecil itu. "Udah malam nih." Namun, Zanna menggeleng keras kepala. "Zanna mau nungguin Papa pulang." "Papa enggak tau pulangnya jam berapa loh," sahut Andin dengan nada membujuk. Dia benar-benar tidak yakin Ritz akan pulang cepat mengingat beberapa hari terakhir pria itu selalu kembali lewat tengah malam. "Pokoknya mau tunggu," sahut Zanna tidak tergoyahkan. "Zanna kangen Papa. Udah berhari-hari enggak ketemu." Ucapan Zanna membuat Andin iba. Memang benar hal yang Zanna keluhkan. Hampir satu minggu rasanya gadis kecil itu tidak bertemu sang ayah secara langsung. Paling-paling Ritz hanya menengok ke kamar Zanna saat putrinya telah terlelap. "Ya udah, kita tunggu Papa ya," ujar Andin mengalah. "Mau nunggu sampe jam berapa coba?" bisik Dani yang tahu-tahu sudah ikut bergabung di balkon kamar Zanna. "Aku enggak berani telepon," balas Andin berbisik juga. "Gue berani, tapi males," sahut Dani sinis. Hubungan Dani dan Ritz memang sudah tidak baik-baik saja sejak kepergian Yuta. Namun, setelah bertemu lagi dengan Yuta, melihat dan mendengarkan kisah tentang betapa beratnya kehidupan wanita itu selama empat tahun terakhir, kemarahan Dani terhadap Ritz makin menumpuk. Dia jadi sebal setengah mati tiap kali melihat wajah Ritz. "Kita tunggu aja deh," ujar Andin pasrah. "Kalo ngantuk juga nanti Zanna paling ketiduran sendiri, tinggal dipindahin aja." "Mas Lau juga suka terlalu sih," gerutu Dani kesal. "Udah tau punya anak, bukan bujang lagi, tapi kerja enggak kira-kira. Padahal enggak kerja juga duitnya udah cukup." Jauh dalam hati Dani, dia membandingkan andai Zanna ikut bersama Yuta. Gadis kecil itu pasti tidak akan kesepian seperti sekarang. Zanna pasti mendapatkan lebih banyak waktu dan perhatian dari Yuta. "Yang atur jadwalnya kan Yoga, yang ambil kerjaan Mas Morgan," sahut Andin dengan maksud sedikit membela Ritz. "Semua itu atas kemauan dia juga kali." Dani mendengkus sinis. "Buat menghindari sepi di sini." "Kasian ya, Mas Ritz," gumam Andin iba. "Gue tetep lebih kasian sama orang yang diusir daripada yang ngusir," balas Dani dingin. Seketika itu juga Andin tertunduk. "Inget Mbak Yuta jadi sedih lagi." Keduanya terus berkasak-kusuk sepelan mungkin agar tidak terdengar oleh Zanna. Maklum saja, gadis kecil itu terlalu cerdas dan daya ingatnya kuat sekali. Hal yang didengar, pasti akan terekam dalam memorinya. Setelah beberapa waktu, Zanna tiba-tiba berseru senang. "Papa!" "Kenapa, Cantikku?" tanya Dani heran. "Papa pulang!" Zanna berjingkrak kesenangan. Dani mengernyit bingung. "Mana?" "Itu suara mobilnya!" seru Zanna antusias. "Mana sih?" Dani mulai gemas gara-gara Zanna. "Uwa enggak denger loh." "Ada, Uwa!" balas Zanna ngotot. Setelah berusaha menajamkan telinga, tetapi hasilnya nihil, Dani melihat gerbang terbuka dan mobil Ritz masuk. "Eh, iya!" Sontak saja Dani dan Andi berseru bersamaan. "Kuping kamu tajam banget sih?" ujar Dani takjub. "Zanna mau ke bawah." Gadis kecil itu berdiri tergesa. Namun, Andin segera menghalanginya. "Tunggu di sini aja ya? Papa kan harus bersih-bersih dulu, mandi dulu. Baru boleh ketemu Zanna." Bibir Zanna sedikit mengerucut, sebelum akhirnya dia mengangguk. "Tante Ndin bilangin Papa kalo Zanna mau ketemu." Andin segera menuruti permintaan Zanna. "Oke, Tante Ndin ke bawah sekarang ya." Dani mendekat, lalu mengusap kepala Zanna. "Zanna tunggu di sini aja sama Uwa." Setelah menunggu lagi sekitar setengah jam, akhirnya Zanna bisa bertemu dengan sang ayah. "Papa!" Zanna langsung menghambur menyambut Ritz yang baru saja memasuki kamarnya. "Putri kecilnya Papa kok, belum tidur?" sapa Ritz lembut seraya menggendong Zanna. "Zanna tunggu Papa. Mau ketemu," ucap Zanna manja. Kedua tangannya langsung dia lingkarkan sekeliling leher Ritz, lalu mendaratkan kecupan dalam di pipi ayahnya. "Kangen Papa." "Papa juga kangen," balas Ritz dengan perasaan bersalah. Dia tahu satu pekan ini kesibukannya jauh lebih padat dibanding biasa sampai-sampai tidak punya waktu sedikit juga untuk Zanna. "Papa kerja mulu," keluh Zanna sedih. "Enggak sempet ketemu Zanna." Ritz mengambil satu tangan Zanna, lalu mengecupnya lembut. "Maaf ya, Sayang." Sejujurnya, selain karena jadwal yang padat, pertanyaan terakhir Zanna pekan lalu membuat Ritz sedikit menghindari putrinya. Dia tidak bisa menjawab pertanyaan Zanna malam itu. “Pa, apa Tante Yuta itu mamanya Zanna?” Demi mendengar pertanyaan Zanna, sekujur tubuh Ritz kaku seketika. Bagaimana bisa putrinya bertanya seperti ini? Melihat ayahnya diam saja, Zanna bertanya lagi, "Pa, bener apa enggak?" "Kenapa Zanna tanya gitu?" sahut Ritz gugup. "Soalnya Zanna denger Tante Ndin sama Uwa Ann ngobrol. Tante Ndin tanya apa Tante Yuta enggak kangen sama Zanna. Terus Uwa Ann bilang pasti kangen. Kata Uwa, enggak mungkin Tante Yuta enggak kangen sama anak sendiri. Berarti Zanna ini anaknya Tante Yuta, 'kan?" Bagaimana bisa gadis sekecil Zanna memiliki daya analisis yang demikian tajam? Untuk beberapa saat Ritz kehilangan kata-kata. Namun, tatapan Zanna yang tampak penuh harap membuat Ritz memaksa mulutnya untuk bicara, "Kalau iya, Zanna mau apa?" "Zanna mau ketemu," sahut Zanna tanpa ragu. "Zanna senang apa sedih andai Tante Yuta benar mamanya Zanna?" tanya Ritz hati-hati. "Seneng dong!" jawab Yuta penuh semangat. Binar di mata gadis kecil itu tampak demikian hidup. "Mamanya Zanna masih ada dan cantik banget." Hati Ritz terasa pilu melihat betapa Zanna mengharapkan ibunya. Semua kesedihan dan kesepian Zanna tidak terlepas dari kesalahannya sendiri. "Zanna enggak marah karena Mama pergi?" tanya Ritz lagi. Zanna menggeleng tanpa ragu. "Kalo kata Uwa, Tante Yuta pasti punya alasan kenapa sampe pergi." Ritz memandangi Zanna dengan perasaan yang tidak karuan. "Sayang, kamu masih kecil, tapi bisa berpikir seperti ini …." "Kenapa, Pa?" ujar Zanna tidak mengerti. "Bukan apa-apa, Sayang. Sekarang kembali ke kamar kamu ya. Kita tidur." Namun, Zanna menggeleng kuat-kuat. "Papa belum jawab." Cukup lama Ritz terdiam. Hatinya bergejolak. Menimbang-nimbang jawaban terbaik yang harus dia berikan. Pada akhirnya, Ritz memilih jujur. "Benar, Sayang." Mata Zanna melebar penuh bahagia. "Jadi, Tante Yuta bener mamanya Zanna?" "Iya, Sayang." Ritz sudah menyiapkan diri untuk pertanyaan Zanna selanjutnya dan benar saja, tanpa perlu menunggu gadis kecil itu langsung bertanya, "Terus, di mana Mama Yuta sekarang?" "Itu yang Papa enggak tau, Sayang," bisik Ritz putus asa. "Selama ini Papa cari, tapi tetap enggak ketemu." "Kalo gitu, Zanna bakal berdoa supaya Tuhan antar Mama Yuta pulang ke sini biar kita bisa sama-sama lagi." Binar penuh harap di mata Zanna membuat hati Ritz makin sakit. Dalam hati dia membatin. Andai semudah itu Tuhan mengirim mama kamu pulang, Sayang. "Pa, apa Papa sibuk terus kerjanya karena sekalian cari Mama?" Pertanyaan Zanna menyadarkan Ritz dari lamunan. "Apa Papa udah berhasil ketemu Mama?" tanya Zanna lagi. "Papa masih berusaha, Sayang." "Berapa lama Zanna harus nunggu, Pa?" Pertanyaan Zanna benar-benar tidak mampu Ritz jawab. Berapa lama putrinya harus menunggu kepulangan Yuta? Ritz bahkan tidak yakin jika Yuta masih berniat kembali. Sejujurnya, Ritz sudah pesimis sejak lama, tepatnya ketika isu kedekatan Yuta dan Bimo merebak. Harapannya untuk bisa kembali bersama dan memperbaiki semua pupus ketika Yuta tidak juga muncul pada sidang cerai mereka. Andai ketika itu Yuta hadir, mungkin masih ada harapan. Namun, ketidakhadiran Yuta bagai sebuah tanda nyata jika wanita itu sudah tidak ingin berurusan lagi dengan Ritz, sama sekali. Ritz tidak akan pernah lupa bagaimana hancur hatinya ketika datang ke persidangan dan Yuta tidak ada di sana. Bahkan sampai akhir persidangan hari itu, hanya awak media yang menyambut. "Mas Ritz, kenapa Mbak Yuta tidak hadir di persidangan?" "Mas Ritz, apa benar isu soal perselingkuhan Mbak Yuta dengan Mas Bimo?" "Mas Ritz, ada beberapa pihak yang memberi pernyataan kalau mereka sudah lama mengetahui kedekatan antara Mbak Yuta dan Mas Bimo. Bagaimana tanggapannya?" Serbuan awak media begitu Ritz meninggalkan ruang sidang membuat pria itu makin diimpit sesak. Ketidakhadiran Yuta disangkutpautkan dengan perselingkuhannya bersama Bimo. "Maaf, kami tidak akan memberi pernyataan apa-apa," ujar Morgan kepada awak media mewakili Ritz. Susah payah mereka menerobos kerumunan awak media, sampai akhirnya bisa naik ke mobil dan meninggalkan gedung pengadilan. "Apa Yuta benar-benar enggak kasih kabar sama sekali?" tanya Morgan entah kepada siapa. Dani yang langsung menanggapi. "Emangnya mau kasih kabar ke siapa?" Morgan menggeleng tidak percaya. "Bisa-bisanya Yuta enggak datang hari ini." "Gimana mau datang?" sahut Dani keki. "Belum tentu juga dia tau kalau hari ini ada sidang." "Gue yakin dia tau," balas Morgan berkeras. "Yakin banget," sindir Dani skeptis. "Surat pemanggilannya aja enggak tau nyasar ke mana." "Gue titipin lewat Bimo dan gue yakin pasti dia terima," ujar Morgan. Dani hanya mendengkus sinis menanggapi ucapan Morgan saking tidak tahu lagi harus berkata apa. "Ritz, mau ke mana sekarang?" tanya Morgan demi mengalihkan pembicaraan. Jika diteruskan, bisa-bisa dia dan Dani bertengkar lagi. "Jadwal gue apa?" balas Ritz datar. "Enggak ada, gue kosongin sampai besok." Selain demi menghindari banyaknya pertanyaan dari berbagai pihak, Morgan juga yakin Ritz tidak akan bisa berkonsentrasi bekerja dalam situasi kalut begini. "Gue mau ke Bandung," putus Ritz tiba-tiba. "Lo mau ketemu orang tua Yuta lagi?" tanya Morgan memastikan. "Hm." Morgan melirik ke arah Ritz penuh keraguan. "Apa enggak masalah lo ke sana mulu?" Ritz tampak tidak peduli dan mengabaikan pertanyaan Morgan. Dia hanya menutup mata, lalu bergumam pelan, "Gue tidur dulu." Setelah menempuh perjalanan kurang lebih empat jam, tentunya bersama bonus kemacetan, Ritz tiba di rumah orang tua Yuta. Lokasi rumah mereka masih sama karena kedua orang tua Yuta tidak ingin meninggalkan tanah yang telah mereka diami puluhan tahun. Hanya saja, kini rumah mereka sudah dipugar. "Nak Ritz, kenapa ke sini?" sapa Maya terkejut. Dia tahu hari ini adalah jadwal persidangan Yuta dan Ritz. Jelas Maya tidak menduga Ritz akan datang. "Ingin aja, Mbu," sahut Ritz berusaha terlihat biasa saja. "Bukannya hari ini sidang cerai kalian yang pertama?" tanya Agung memastikan. Ritz mengangguk kecil. "Betul, Bah." Melihat raut Ritz yang kusut, Maya menebak. "Teteh tidak datang ya?" "Abah, Ambu, saya minta maaf ya," ucap Ritz penuh sesal. "Maaf kalau semuanya jadi begini." "Tidak perlu, Nak Ritz." Agung menepuk pundak Ritz untuk menenangkannya. "Kami justru yang ingin menyampaikan permohonan maaf karena Teteh tidak bisa hadir di persidangan." Tiba-tiba saja mata Ritz tampak penuh harap. "Abah sama Ambu ketemu Rumi?" "Tidak ketemu, Nak." Maya menggeleng iba. "Teteh hanya menghubungi kami lewat telepon, tapi tidak kasih tahu di mana keberadaannya." "Rumi bilang apa aja, Mbu?" tanya Ritz ingin tahu. "Teteh hanya minta maaf sudah menyebabkan kekacauan dan bikin Abah sama Ambu susah, repot, dikejar-kejar wartawan juga. Teteh juga minta maaf sudah bikin kami khawatir," ujar Maya menceritakan secara singkat obrolannya dengan Yuta semalam. "Apa Rumi enggak berniat mengunjungi Abah sama Ambu?" tanya Ritz lagi. "Untuk saat ini katanya belum." Maya menggeleng sedih. "Teteh minta maaf kalau belum bisa menemui kami, katanya begitu." Sampai hari ini Maya tidak mengerti apa yang sebenarnya tengah melanda rumah tangga Yuta dengan Ritz. Namun, dia bisa merasakan betapa terlukanya Yuta. Putrinya itu tidak mau menceritakan semua secara terbuka, tetapi sebagai ibu dia paham. Meski demikian, Maya dan Agung sepakat untuk tidak memaksa Yuta bercerita jika memang putri mereka itu tidak siap. "Apa Rumi terlihat sehat?" tanya Ritz. Maya tersenyum sendu. "Ambu tidak yakin, wajahnya terlihat sedih, suaranya juga lesu." "Saya benar-benar minta maaf sudah membuat situasi jadi seperti ini." Ritz tertunduk dalam sambil menanggung semua beban rasa bersalahnya. "Andai saya tidak melakukan kebodohan itu." "Sudah, Nak. Sudah berlalu." Hanya itu yang dapat Agung ucapkan. "Andai ada kesempatan untuk bisa memperbaiki semua ini," bisik Ritz penuh harap. "Mungkin jodoh kalian memang hanya sampai di sini," sahut Maya. "Jangan terus membawa penyesalan kamu." Agung menimpali. "Sudah berbulan-bulan Nak Ritz hidup seperti ini. Sudah saatnya kembali pada kehidupan Nak Ritz yang normal." Perlahan Ritz menggeleng. "Saya enggak yakin bisa." "Harus bisa, demi Zanna," sahut Agung menguatkan. "Sebaiknya Nak Ritz juga berhenti datang ke sini," ujar Maya hati-hati. Ucapan Maya barusan membuat Ritz cukup terkejut. "Apa kedatangan saya mengganggu Abah sama Ambu?" Cepat-cepat Maya menggeleng. "Bukan begitu, hanya saja kami ingin Nak Ritz juga melanjutkan hidup." "Apa Abah sama Ambu enggak kangen sama Rumi?" Entah mengapa pertanyaan itu terucap begitu saja. "Jelas kami rindu, tapi kalau Teteh belum ingin bertemu, kami tidak bisa memaksa. Teteh pasti punya alasan kuat kenapa sampai melakukan tindakan seperti ini," ujar Agung bijak. Perlahan, Ritz tersenyum sumbang. "Maaf, semua itu karena saya." "Abah tidak berniat menyalahkan kamu," sahut Agung tenang. "Semua yang sudah terjadi, biar berlalu seperti adanya." "Abah, Ambu, biar saya sama Rumi udah enggak sama-sama lagi, apa saya masih boleh datang sesekali sambil mengajak Zanna?" tanya Ritz penuh harap. "Tentu boleh." Maya mengangguk tanpa ragu. "Sampai kapan juga Zanna tetap cucu kami." "Saya juga janji akan membantu menemukan Rumi dan membawanya pulang," ucap Ritz sepenuh hati. Lamunan Ritz akan kejadian yang telah lama berlalu itu berakhir tatkala merasakan pelukan hangat putrinya yang telah terlelap. Dipandanginya Zanna yang tampak tenang dalam dekapannya. "Nyatanya sampai hari ini aku masih enggak berhasil membawa kamu pulang ke orang tua kamu," gumam Ritz penuh sesal. "Dan sekarang, Zanna juga mengharapkan kepulangan kamu."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN