8. Terus Bersembunyi

2392 Kata
"Ta, lo di mana sih, sebenernya?" Suara Dani terdengar senewen sekaligus lega saat akhirnya Yuta menghubungi lelaki itu. Sudah hampir tiga minggu Yuta pergi dari rumah Ritz tanpa kabar sama sekali. Tidak ada yang bisa menghubungi Yuta karena wanita itu meninggalkan ponselnya. Saat ini, Yuta memakai ponsel dan nomor baru untuk menghubungi Dani agar keberadaannya tidak dapat terlacak. "Aku enggak bisa kasih tau kamu." "Lo pasti kecewa banget ya?" Tidak seperti biasanya, kali ini bukan jawaban penuh kekesalan yang Dani berikan. Suaranya bahkan terdengar sedih. "Lo pasti nangis terus ya?" Ucapan Dani yang begitu penuh pengertian membuat Yuta tidak bisa menahan air mata. Sudahlah dia memang menangis terus, kini tambah banjir saja. Meski Yuta diam saja, Dani yakin wanita itu mendengarkan. "Ta, apa pun keputusan lo, gue bakal dukung." "Tolong jangan sampai ada yang tau kalau aku hubungin kamu," pinta Yuta penuh harap. "Lo tenang aja. Gue bakal jaga rahasia. Lo bisa percaya sama gue." "Makasih banyak ya, Ann," bisik Yuta terharu. "Lo jangan nangis terus ya. Baik-baik jaga diri selama enggak bareng gue." Ketika panggilan dengan Yuta berakhir, Dani baru berani kembali ke kamar Zanna. Tadi saat nomor asing menghubungi, Dani sudah memiliki firasat tidak enak. Dia berinisiatif untuk menjauh dari kamar Zanna agar tangis gadis kecil itu tidak terdengar. Untung saja keputusannya tepat. Tidak terbayang perasaan Yuta mendengar jerit tangis Zanna. Dia saja tersayat rasanya, apalagi Yuta. "Masih belum mau dibujuk juga, Ndin?" Kecemasan tampak jelas di wajah Dani. "Gimana ini?" Andin nyaris ikut menangis bersama Zanna yang berada dalam gendongannya. "Zanna nangis terus cariin Mbak Yuta." Sejak Yuta pergi, Dani dan Andin yang banyak mengurus Zanna. Selama itu pula mereka iba bukan kepalang terhadap nasib Zanna. Gadis kecil itu terus merengek mencari ibunya. "Tapi udah mau makan?" tanya Dani cemas. Sudah berhari-hari Zanna mogok makan, padahal biasanya gadis kecil itu cukup gembul menghabiskan apa saja yang disediakan. "Boro-boro, Ann.” Andin menggeleng putus asa. “s**u aja enggak mau." Dani menggeram jengkel. "Mas Lau sama Mas Mor mana, sih?" "Kira-kira Mbak Yuta bakal ketemu enggak ya?" "Perasaan gue enggak enak, Ndin." "Enggak enak gimana, Ann?" "Entah kenapa gue ngerasa Yuta sengaja ngumpet biar enggak bisa ditemuin." "Kenapa gitu, Ann?" "Kalau dia masih mau ketemu, rasanya enggak mungkin dia bakal kabur diam-diam." Dani tidak berniat buka mulut soal Yuta yang baru saja menghubunginya. Bukan dia tidak ingin membantu agar Zanna bisa bertemu ibunya, tetapi Dani ingin menghargai keputusan Yuta. "Tapi kan Mas Ritz hebat dalam urusan lacak-lacak orang." "Lo harus ingat kalau Yuta enggak bodoh. Dia mungkin polos, tapi otaknya jalan. Dia cukup tau kayak apa cara kerja Mas Lau selama ini,” ujar Dani yakin. Buktinya saja sampai hari ini jejak Yuta belum diketahui. “Dia pasti bakal sangat hati-hati supaya enggak gampang ditemuin." Tidak lama berselang, Ritz kembali bersama Morgan dan langsung menuju kamar putrinya. Saat Ritz masuk, Zanna tengah terlelap dalam dekapan Andin dan gadis kecil itu sama sekali tidak mau dibaringkan. Jika nekat mencoba, pasti Zanna akan langsung bangun dan kembali menangis berjam-jam. "Zanna gimana hari ini?" bisik Ritz sepelan mungkin. "Masih nangis terus," jawab Andin pasrah. “Ini juga baru berhasil tidur.” "Makannya?" tanya Ritz. Andin menggeleng sedih. "Cuma berhasil makan biskuit, itu juga enggak sampai dua potong seharian." Morgan pun ikut merasa cemas karena dia juga telah menjadi ayah. "s**u mau?" "Dikit.” Andin melirik ke arah deretan botol s**u yang teronggok sia-sia. “Selalu enggak habis." Embusan napas Morgan terdengar berat. "Kalau begini terus, Zanna bisa sakit." Ritz memandangi putrinya dengan perasaan yang tidak menentu. Hati dan pikiran pria itu kacau sejak Yuta pergi meninggalkannya begitu saja. Hari-hari yang Ritz lalui dalam pencarian untuk menemukan jejak Yuta terasa sangat melelahkan dan menguras mental karena dia terus menemui jalan buntu. Malam-malam yang Ritz lalui pun tidak kalah beratnya. Sebelum Yuta pergi, Ritz bisa tetap tertidur nyenyak meski sang istri tidak ada. Kehadiran Zanna cukup untuk menenangkannya dan membuat Ritz terlelap. Namun, setelah Yuta pergi, Ritz tidak bisa memejamkan mata meski sudah mendekap Zanna sepanjang malam. Gangguan tidur yang dahulu dia alami, kini kembali menghantui. "Gue enggak nyangka dia bisa setega ini ninggalin anaknya," bisik Ritz antara geram dan putus asa. Ucapan Ritz barusan membuat Dani langsung naik darah. Refleks dia menyahut galak, tetapi tetap dengan suara pelan agar Zanna tidak bangun. "Bukan dia yang tega, tapi Mas Lau!" Sejak tadi dia sudah diam saja. Namun, sekarang Dani tidak tahan lagi. Sebenarnya, kepergian Yuta membuat Dani geram bukan main kepada Ritz. Dia sengaja bersikap kecut dan memusuhi pria itu saking jengkelnya. "Kenapa jadi gue?” balas Ritz tidak habis pikir. “Yang menghilang itu dia, Dan." "Yuta enggak akan pergi kalau bukan gara-gara keinginan kejam Mas Lau yang enggak masuk akal!" desis Dani penuh kesal. "Tapi gue enggak nyuruh dia pergi selamanya dari Zanna." Tiba-tiba saja Morgan ikut menimpali "Emang enggak, tapi lo udah bikin dia putus asa sampe dia nekat ambil keputusan begini." "Coba lo pikir baik-baik gimana perasaan Yuta mesti pisah sama anaknya, Mas?” desak Dani geram. “Dia yang hamil, dia yang lahirin, dia yang susuin." Ucapan Dani cukup menampar Ritz dan pria itu tidak bisa merespon. "Sebelum bikin keputusan sepihak lo itu, ada lo coba liat dari sisinya dia, Mas?" cecar Dani sengit. "Seberapa banyak dia udah berkorban buat lo?" Ritz terlihat akan membuka mulut, tetapi Dani segera melanjutkan omelannya. "Jangan ungkit soal lo yang juga udah banyak bantu dia. Menurut gue udah sepantasnya dia dapat semua itu sebagai istri lo." "Gue enggak ungkit-ungkit kebaikan yang pernah gue kasih," balas Ritz sungguh-sungguh. Kebaikan yang dia lakukan untuk Yuta dan keluarganya, semua itu tulus. "Jaga-jaga aja dulu sebelum lo mikir ke sana," sahut Dani angkuh. Setelah itu, dia kembali memelototi Ritz. "Coba jawab, ada enggak lo mikir dari sisi dia?" Ritz hanya mampu terdiam pasrah menerima semua ucapan berapi-api dari Dani. "Pasti enggak pernah, ‘kan?" ujar Dani sangat yakin. "Denger baik-baik ya, Mas Lau. Dia dan perasaannya itu enggak salah. Sama sekali enggak.” Baik Andin juga Morgan sangat setuju dengan ucapan Dani. “Wajar banget dia jatuh cinta karena perlakuan lo yang bikin cewek mana juga pasti meleyot. Wajar banget juga karena dia bini lo,” ujar Dani tanpa henti. “Kalian udah nikah, tinggal sama-sama tiap hari. Tidur bareng tiap hari. Sampe punya Zanna juga. Aneh malah kalau dia enggak ada rasa sama lo. Mati rasa kali dia! Sorry sorry ya, kalau gue harus ngatain lo itu breng-" Andin segera menutup mulut Dani. "Mbak Yuta enggak suka Zanna denger kata-kata kasar, Ann." Dani segera sadar dan tertunduk. “Terus sekarang gue harus gimana?” bisik Ritz lesu. Wajah kusut Ritz membuat Dani menyindir sinis, “Mas Lau nyesel udah minta dia pergi?” Ritz mengacak rambutnya perlahan. “Kalau gue tau bakal jadi kayak gini, mungkin gue bakal ambil keputusan yang lain.” “Kalau Yuta ketemu, lo mau ngapain?” tanya Morgan hati-hati. Besar harapannya jika Ritz akan membatalkan rencana perceraian mereka. Sebelum Ritz sempat menjawab, Dani kembali menyembur, “Hal pertama yang harus Mas Lau lakukan ya, cari Yuta dulu sampai ketemu karena percuma mau begini begitu kalau orangnya enggak ada.” *** Ketika mobil yang Bimo kendarai hampir mencapai rumahnya, dia melihat sosok perempuan tengah duduk bersembunyi di antara pohon dan pagar tanaman. Saat jaraknya makin dekat, dia langsung mengenali sosok itu. "Yuta?" gumam Bimo terkejut. Dia tidak menyangka akan melihat Yuta dekat rumahnya karena wanita itu tengah diberitakan menghilang sejak beberapa pekan lalu. Cepat-cepat dia menepikan mobil, lalu turun untuk menghampiri Yuta. "Kamu kenapa bisa ada di sini?" "Aku nunggu Mas Bimo." "Ada apa?" "Ada sesuatu yang mau aku obrolin sama Mas Bimo," sahut Yuta ragu-ragu. "Ayo, masuk dulu!" ujar Bimo cepat. Menilik penampilan Yuta dan gerak-geriknya, Bimo tahu wanita itu sedang gelisah, mungkin karena takut identitasnya diketahui orang lain yang kebetulan melintas. Tanpa membantah, Yuta langsung mengikuti. Tiba di dalam, Yuta merasa bisa bernapas sedikit lega. "Kamu udah lama nunggu di depan?" Bimo kembali bertanya setelah mengajak Yuta duduk dan mengambilkan minum untuknya. Yuta tidak menjawab. Sejujurnya, dia telah menunggu hampir tiga jam dan nyaris menyerah. Untung saja dia sempat bertemu Bimo. Berita kisruh rumah tangga antara Yuta dengan Ritz kian memanas. Hal ini berdampak pada ruang gerak Yuta yang makin terbatas saja. Dia nyaris tidak bisa meninggalkan tempat persembunyiannya sama sekali karena terlalu takut jejaknya akan terlacak. Namun, untuk menetap di satu tempat penginapan yang sama selama beberapa hari pun dia takut. Setiap malam tidurnya tidak pernah lelap. Selalu ada kecemasan yang membayangi kalau-kalau orang suruhan Ritz, atau bahkan pria itu sendiri, tahu-tahu mendatanginya. "Pasti lama," ujar Bimo menyimpulkan. "Kenapa enggak kontak aku dulu buat janjian?" "Aku enggak punya nomor Mas Bimo." "Enggak punya?" Wajah Bimo jelas terlihat keheranan. Yuta paham jika Bimo bingung dan dia segera menjelaskan, "Aku pakai nomor baru." "Nomor lama kamu kenapa?" Yuta kembali terdiam. "Enggak usah jelaskan kalau enggak mau, Ta," ujar Bimo paham. Bimo yakin ada sesuatu yang tengah terjadi kepada Yuta dan memberatkan wanita itu. Mereka sudah saling mengenal selama hampir empat tahun dan terus bekerja sama secara berkelanjutan dalam proyek musik garapan Bimo. Bagaimanapun juga, Bimo cukup bisa membaca suasana hati wanita itu. "Kita bahas aja hal yang mau kamu obrolin sama aku," ucap Bimo pengertian. "Ngg … aku ke sini, mau minta tolong sesuatu," bisik Yuta ragu-ragu. "Kalau bisa, aku pasti bantu." "Mulai sekarang, boleh aku minta tolong supaya bagian aku jangan dikirim lagi ke rekening yang biasa." Berbagai pertanyaan langsung menyerbu kepala Bimo, tetapi dia berusaha menahan diri. "Kalau gitu, mau diganti ke rekening yang mana?" "Sebenarnya, kalau bisa aku mau ambil tunai aja." Bimo mengerjap kaget. "Ta, boleh aku tahu sebenarnya ada apa?" Posisi Yuta serba salah. Diam salah, bergerak pun salah. Andai bisa, inginnya dia menghilang saja. Belum cukup kepusingan Yuta, persediaan uang tunainya pun mulai menipis. Dia memang meninggalkan kediaman Ritz tanpa persiapan matang. Uang tunai yang dia bawa hanya seadanya dan tentu menipis karena digunakan untuk membayar penginapan selama tiga minggu lebih, juga membeli ponsel baru. Bukan Yuta tidak memiliki tabungan, tetapi dia takut keberadaannya akan diketahui dari catatan transaksi yang dilakukan lewat kartu. Akhirnya, Yuta memutuskan melakukan pilihan terakhir yang terlintas dalam benaknya, yaitu mendatangi Bimo. Di antara sekian banyak kenalannya, Bimo terbilang orang yang paling dekat dan dapat dipercaya. Ketika Yuta diam saja, Bimo berbicara lagi, "Bukan aku bermaksud usil, tapi rasanya terlalu riskan uang sebesar itu kamu bawa-bawa secara tunai." "Aku enggak mau keberadaan aku diketahui dari transaksi bank setiap kali aku ambil uang," jawan Yuta. "Kamu sembunyi dari siapa?" Kening Bimo berkerut heran, tetapi segera saja dia paham. "Jangan-jangan yang kamu hindari itu Ritz. Apa benar?" Yuta tidak berusaha membantah dan mengangguk perlahan. "Benar, Mas." "Jangan bilang kalau kamu ganti nomor juga karena masalah ini." Kali ini pun Yuta mengiakan. "Itu juga benar, Mas." Perlahan Bimo mengembuskan napas. "Jadi, berita soal kamu menghilang itu benar?" Yuta berusaha tersenyum. "Aku udah tiga minggu ini pergi dari tempatnya Ritz." "Ada apa dengan kalian, Ta?" Wajah Bimo tampak sedih melihat Yuta seperti ini. Dia menyadari senyum getir wanita itu. Awalnya, dia tidak ingin menyinggung tentang isu keretakan rumah tangga Yuta yang tengah marak. Namun, pembicaraan mereka akhirnya mengarah ke sana juga. "Selama ini kalian terlihat baik-baik aja dan sangat serasi. Kenapa tiba-tiba begini?" "Aku enggak bisa cerita alasannya, Mas." Bimo adalah orang yang sangat menghargai lawan bicaranya. Dia peduli, tetapi tidak akan memaksa. Ketika Yuta menunjukkan keengganan untuk bercerita, dia memilih menanyakan hal lain saja. "Terus gimana dengan anak kalian? Apa anak kalian ikut sama kamu?" "Ritz ingin anak kami tetap tinggal dengan dia." Disinggung soal Zanna, detik itu juga Yuta ingin menangis. Benaknya langsung dipenuhi tanya. Sedang apa putri kecilnya? Apakah Zanna mencarinya? Rindukah gadis mungil itu kepadanya? "Kalau begitu, kamu tinggal di mana sekarang?" Yuta menggigit bibirnya, lalu menggeleng lesu. “Aku enggak bisa bilang.” “Kamu takut aku akan kasih tahu Ritz soal keberadaan kamu?” “Aku benar-benar enggak mau dia tahu aku ada di mana," sahut Yuta getir. Setiap kali mengingat perlakuan terakhir Ritz, hatinya terasa sangat nyeri. Lukanya menganga dan terasa begitu menyakitkan. “Apa kamu punya tempat tinggal yang tetap, atau kamu berpindah-pindah?” tanya Bimo curiga. “Aku belum tahu mau tinggal di mana," aku Yuta apa adanya. Sekali lagi bukan perkara uang yang menjadi masalah, melainkan Yuta menjaga sebaik mungkin agar dirinya tidak perlu bertemu lagi dengan Ritz. Persetan dengan segala kontrak kerja dan dendanya. Yuta yakin tim Ritz akan bisa menyelesaikan urusan itu. Soal karier pun tidak lagi Yuta pikirkan. Untuk saat ini, dia hanya ingin menghilang. “Berarti kamu berpindah-pindah," gumam Bimo. Seketika itu juga wajahnya langsung menunjukkan kekhawatiran yang jelas. “Ta, boleh aku bantu kamu?” “Bantu apa?” “Aku akan bantu carikan tempat tinggal yang aman untuk kamu.” Yuta langsung menggeleng. “Aku enggak mau ngerepotin Mas Bimo lebih banyak lagi.” “Aku enggak ngerasa direpotin, Ta.” Bimo menatap Yuta sungguh-sungguh, lalu membujuk wanita itu. “Biar aku bantu cari ya.” Seketika itu juga Yuta bangkit. Sudah saatnya dia pergi sebelum menyita waktu Bimo lebih lama lagi. "Aku pamit sekarang aja, Mas.” Bimo segera mengejar dan menghalangi langkah Yuta. “Kamu mau pulang ke mana?” Lagi-lagi Yuta yang polos itu tidak bisa menjawab. Setiap kali berniat menjawab dengan dusta, lidahnya pasti kelu dan berakhir hanya bungkam. “Apa kamu punya tempat untuk dituju?” desak Bimo khawatir. Yuta tertunduk untuk menghindari tatapan Bimo yang penuh selidik. “Aku bisa urus diriku sendiri, Mas.” “Aku khawatir, Ta," ujar Bimo gusar. "Aku enggak bisa biarin perempuan malam-malam pergi sendirian tanpa tujuan begini. Terlalu bahaya, Ta.” Bukan Yuta tidak paham soal bahaya, tetapi pilihan apa lagi yang dia punya? “Aku enggak mau pulang ke tempat dia, Mas," bisik Yuta putus asa, bahkan untuk menyebut namanya saja dia tidak sanggup. “Andai aku enggak mikirin soal moral dan adat kesopanan, pasti aku akan minta kamu menginap aja di sini," bisik Bimo gundah. “Aku enggak mau, Mas.” Yuta langsung menolak tegas pemikiran itu. Bagaimanapun juga, dia adalah wanita yang bisa menjaga harga diri. Tidak mungkin dia menginap di rumah pria yang bukan saudara, apalagi statusnya masih bersuami. “Aku tahu kamu enggak akan mau, tapi aku punya satu tempat yang bisa kamu datangi.” Yuta menatap ragu-ragu ke arah Bimo dan menunggu ucapan pria itu selanjutnya. “Ikut aku ya, Ta?" pinta Bimo penuh harap. "Kasih aku kesempatan buat bantu kamu.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN