9. Cinta Jadi Benci

2070 Kata
"Mas Bimo mau bawa aku ke mana?" tanya Yuta penasaran setelah Bimo mengantarnya kembali ke penginapan untuk mengambil semua barangnya. Memang tidak banyak, tetapi semuanya penting. "Tempat yang aman, Ta." "Di mana?" "Masih dekat Jakarta kok, Ta," ujar Bimo menenangkan. "Tempat siapa?" Yuta percaya Bimo tidak akan berusaha berbuat jahat atau mengambil keuntungan darinya. Namun, hal itu justru membuatnya merasa tidak enak hati. "Sepupu aku." Segera Bimo menambahkan sebelum Yuta bertanya lagi, "Tenang aja, dia perempuan." Sekitar satu jam kemudian, mobil Bimo memasuki sebuah kawasan hunian di daerah Parung. Tidak berapa lama, mobil Bimo berhenti di depan sebuah rumah kecil yang tampak tenang. Selang beberapa saat, gorden rumah terbuka, lalu menyusul keluar sosok perempuan yang tampak ayu dan keibuan. Perempuan itu berani keluar karena mengenali mobil Bimo. "Mas Bimo kenapa ke sini malam-malam?" sapa perempuan itu saat membukakan pagar. "Ash, aku mau minta bantuan kamu," sahut Bimo tanpa basa-basi. "Mas Bimo butuh apa?” Mendengar kakak sepupunya butuh bantuan, perempuan itu tampak khawatir. “Bilang aja sama aku." Bimo segera melambai ke dalam mobil mengajak Yuta turun. "Ta, sini!" "Mas Bimo bawa siapa?" tanya perempuan itu bingung. Ketika pintu terbuka dan Yuta turun, perempuan itu tampak terkejut. "Loh, ini bukannya artis itu, Mas?" "Ta, ini Asha, adik sepupu aku," ujar Bimo memperkenalkan Yuta dengan Ashana. "Ash, ini Yuta. Kamu pasti udah tahu siapa dia." Kedua perempuan yang usianya sebaya itu saling berjabat tangan. "Apa yang bisa aku bantu buat kalian?" tanya Asha usai mereka berkenalan singkat. "Ash, boleh Yuta tinggal di sini sama kamu?" pinta Bimo penuh harap. "Mas?" desis Yuta terkejut. Pasalnya Bimo belum mengatakan apa-apa mengenai rencana ini. "Untuk sementara aja," ujar Bimo lagi. "Aku sih enggak keberatan, Mas, tapi apa Yuta mau tinggal di rumah sederhana begini?" balas Asha apa adanya. Yuta segera menggeleng. "Aku enggak masalah dengan rumahnya, rumah aku dulu jauh lebih sederhana dari ini, tapi aku malah takut ngerepotin." "Aku sih enggak ngerasa direpotin,” balas Asha sungguh-sungguh. “Malah senang ada teman." Wajah Bimo langsung tampak lega. "Jadi, bisa ya, Yuta di sini?" Meski Asha tidak keberatan, Yuta masih saja merasa sungkan. "Aku cari tempat tinggal sendiri aja, Mas." "Kita cari lain waktu,” putus Bimo. “Aku akan bantu kamu, tapi malam ini setidaknya tidurlah di sini." Sebenarnya situasi ini cukup aneh. Entah mengapa Bimo jadi merasa bertanggung jawab atas Yuta. Yuta pun sama, entah mengapa dia harus menuruti perkataan Bimo. Mungkin situasi yang membuat keduanya jadi demikian. Mengingat waktu sudah malam, Bimo segera meninggalkan mereka. Asha pun langsung mempersilakan Yuta untuk beristirahat. Barulah keesokan harinya mereka memiliki kesempatan lebih leluasa untuk berbincang. "Ta, kamu rencana mau cari tempat tinggal di mana?" tanya Asha saat mereka tengah sarapan bersama. "Aku belum tahu." "Ada bayangan mau yang seperti apa?” Asha kembali bertanya dengan niat membantu, “Maksud aku kriterianya, apa yang besar, apa apartemen, atau apa mungkin?" Yuta menggeleng lesu. "Aku enggak kepikiran sama sekali, tapi yang pasti aku cuma mau tempat yang sederhana dan aman. Tempat aku bisa hidup tenang tanpa dicari-cari orang." "Kalau gitu harusnya kamu cari tempat yang enggak mencolok." "Sepertinya tempat seperti ini cukup tenang," gumam Yuta tiba-tiba. Tadi Asha sempat mengajaknya berjalan untuk membeli sayur dan secara ajaib, tidak ada warga di sini yang mengenalinya. "Kamu benar karena aku juga butuh tempat untuk bersembunyi." Yuta tampak bingung, lalu bertanya hati-hati, "Kamu bersembunyi dari siapa?" Menurut Asha, tidak ada hal yang perlu dia tutupi dari Yuta. Perlahan, kisah pahitnya mengalir begitu saja. Di akhir cerita, Asha menambahkan, "Kalau kamu mau, kita bisa sama-sama tinggal di sini." Akhirnya, rencana menginap semalam saja nyatanya berlanjut sampai beberapa hari, bahkan tidak ada lagi pembicaraan yang menyinggung tempat tinggal baru untuk Yuta. Yuta merasa kerasan di sana, begitu juga dengan Asha. Keduanya merasakan kecocokan satu sama lain. Setelah melalui hari-hari tenang di rumah Asha, Yuta terpikir untuk menghubungi adiknya. "Teteh?” Suara Eunoia terdengar sangat terkejut setelah Yuta menyapa. Dia yakin suara perempuan di telepon ini adalah milik kakaknya. “Ini Teh Yuta, 'kan?" "Iya, Yaya." "Teteh ke mana aja?" bisik Noia cemas. Alih-alih menjawab, Yuta malah balas bertanya, "Kamu, Ambu, sama Abah gimana kabarnya?" "Ambu sama Abah khawatir banget nungguin kabar dari Teteh." "Tolong bilangin sama Ambu dan Abah, maaf Teteh baru bisa kasih kabar. Maaf juga Teteh belum bisa pulang." "Tapi Teteh baik-baik aja?" "Teteh baik-baik aja, Ya." Dalam hati Yuta didera perasaan bersalah. Dia yakin jika kepergiannya telah menyusahkan Agung, Maya, dan juga Noia. Bukan hanya menyusahkan, tetapi membuat mereka khawatir bukan main. "Titip Ambu sama Abah ya, Teteh enggak tau kapan berita-berita ini bakal mereda." "Teh, kalau Mas Ritz cari dan tanya soal Teteh, Yaya harus jawab apa?" tanya Noia gusar. "Dia enggak akan tanya ke Yaya, Yaya tenang aja ya," sahut Noia menenangkan. "Tapi Mas Ritz udah tanya ke Yaya." Jawaban adiknya membuat Noia terkejut. "Kapan?" "Terakhir dua hari yang lalu." Suara Noia terdengar makin pelan saja. Gadis remaja itu takut percakapan mereka akan terdengar oleh orang lain. "Sebelumnya udah pernah tanya?" "Berkali-kali, Teh." "Telepon atau chat?" "Datang langsung, Teh." Kali ini mata Yuta sampai terbelalak. "Dia datang ke rumah?" "Mas Ritz kelihatan kusut, Teh. Kayak sedih banget." Noia saja sampai tidak tega melihat keadaan Ritz beberapa waktu terakhir. "Enggak mungkin dia begitu, Ya,” jawab Yuta dingin. Jika selama ini dia tertipu, sekarang tidak akan lagi. Yuta akan mengeraskan hati agar tidak ada lagi yang bisa mempermainkannya, terutama Ritz. “Kamu mungkin salah lihat, atau dia lagi akting." "Mas Ritz enggak kayak lagi pura-pura, Teh," bantah Noia yakin. "Jangan lupa dia itu seorang aktor hebat, Ya," sahut Yuta tidak peduli. "Teteh kedengaran benci banget sama Mas Ritz," gumam Noia sedih. Jauh di dasar hatinya, Noia sungguh berharap Yuta dan Ritz dapat kembali bersama terlepas dari segala pemberitaan yang merebak. "Mungkin aku emang benci dia, Ya." Menurut Yuta, tidak ada yang perlu dia tutupi dari adiknya. Noia kini sudah berusia 16 tahun, sudah cukup paham permasalahan orang dewasa, bahkan sudah bisa diandalkan untuk membantu menjaga kedua orang tua mereka dalam situasi seperti ini. "Yaya kira Teteh cinta sama Mas Ritz." Ingin rasanya Yuta menjerit dan memaki, tetapi dia hanya sanggup berkata penuh luka, "Dia udah buat aku kenal yang namanya cinta, tapi dia juga yang bikin aku terluka dan sakit sampai akhirnya cinta itu berubah jadi benci." *** Sejak Yuta tinggal bersama Asha, Bimo berusaha menyempatkan waktu untuk berkunjung setidaknya sekali dalam satu minggu. Entah mengapa, Bimo tidak bisa melepaskan rasa tanggung jawabnya dari menjaga Yuta. Entah mengapa, dia merasa jika kenyamanan dan keamanan Yuta menjadi urusannya sekarang. Mungkin karena rasa iba melihat hidup Yuta yang mendadak berantakan. "Ta, ada sesuatu yang mau aku tanya ke kamu." Bimo mencoba mengangkat topik serius yang cukup mengganggu hatinya beberapa waktu terakhir. Yuta bukan tidak menyadari perubahan dalam nada bicara Bimo. Namun, dia berusaha menanggapi dengan tenang. "Apa, Mas?" Bimo melirik sepupunya sekilas, sebelum kembali bicara dengan Yuta. "Apa kamu enggak ada niat buat pulang?" "Situasinya masih belum terlalu oke. Aku enggak mau bikin Abah sama Ambu repot diserbu media." Yuta tampak tetap fokus pada pekerjaannya membantu Asha membuat penganan kecil untuk dijual. Seperti inilah kegiatan Yuta selama menumpang di rumah Asha. Apa saja mereka kerjakan untuk menghasilkan uang demi mencukupi biaya hidup, ketimbang mengharapkan bantuan dari orang yang telah menyakiti, apalagi sampai mengemis belas kasihan. Sebenarnya, kondisi keuangan Yuta belum terpuruk, hanya saja dia harus memikirkan jauh ke depan. Tidak bisa dia bertahan hidup hanya mengandalkan tabungan, sementara untuk kembali ke dunia hiburan rasanya terlalu berat. Yuta akan terus teringat dengan segala kenangan yang dahulu terasa manis, tetapi kini menyakitkan. "Maksud aku bukan pulang ke orang tua kamu, tapi …," ucap Bimo ragu-ragu. Potongan kue di tangan Yuta jatuh seketika, lalu dia menatap gusar ke arah Bimo. "Maksud Mas Bimo rumah dia?" "Iya, Ta,” sahut Bimo hati-hati. “Kalian itu masih suami istri." Tatapan Yuta berubah dingin seraya tangannya kembali bekerja memasukkan kue ke dalam plastik. "Kenapa Mas Bimo ungkit soal itu?" "Udah hampir satu bulan kamu di sini dan udah sekitar dua bulan kamu pergi. Apa kamu enggak mau coba memperbaiki masalah kalian?" "Enggak ada yang bisa diperbaiki, Mas," sahut Yuta kaku. Bimo kembali melirik sepupunya dan Asha hanya bisa menggeleng sedih. Setelah beberapa saat, Bimo mencoba lagi. "Maaf kalau aku terkesan ikut campur, tapi dari apa yang aku lihat, Ritz sepertinya sangat kehilangan kamu." Tanpa sadar Yuta langsung mendengkus sinis. "Itu hanya kehebatan aktingnya aja, Mas." Jujur saja sikap Yuta cukup membuat Bimo terkejut. Perempuan yang selama ini selalu tampak polos dan lembut itu, ternyata bisa memiliki ketidaksukaan yang demikian besar terhadap seseorang. "Gimana kalau ternyata dia benar-benar menyesal?" Bimo tahu Ritz memang aktor berbakat, tetapi dia yakin apa yang dilihatnya bukanlah kepura-puraan. Selama hampir dua bulan terakhir, setiap kali mereka tidak sengaja bertemu di BEYOND untuk urusan dengan manajemen, Bimo bisa melihat betapa tersiksanya Ritz meski pria itu berusaha menutupi. Setiap kali bertemu juga, ada perasaan bersalah dalam hati Bimo karena dia tidak bisa memberi tahu Ritz jika dirinya mengetahui keberadaan Yuta. Yuta menggeleng yakin. "Rasanya mustahil." "Kamu benar-benar enggak mau kasih kesempatan buat Ritz?" "Pertanyaan itu harusnya diajukan ke dia, bukan aku, Mas." Yuta tidak akan pernah bisa melupakan sedingin apa tatapan Ritz saat memintanya pergi. Dia juga tidak akan pernah lupa sekejam apa jawaban yang Ritz berikan saat orang tua dan sahabat mereka meminta pria itu memikirkan ulang keputusannya. "Dia yang enggak kasih aku kesempatan sama sekali." "Apa kamu mau cerita permasalahannya?” Sampai hari ini, Yuta masih tidak mau menceritakan permasalahan yang sebenarnya terjadi di antara dia dengan Ritz. “Mungkin aku bisa bantu." "Lebih baik dilupain aja,” sahut Yuta datar. “Ingat-ingat hal itu cuma bikin aku sakit." Cukup lama Bimo memandangi Yuta sampai dia bertanya lagi, "Apa kamu enggak kangen sama Zanna?" Senyum Yuta terlihat sumbang ketika berbisik, "Setiap malam aku nangis ingat Zanna, Mas." "Kalau gitu, apa enggak sebaiknya kamu coba kembali dan bicarakan semua baik-baik sama Ritz?" "Mas, tolong jangan sebut nama itu lagi," pinta Yuta lelah juga muak. "Dan satu lagi, kalau Mas Bimo masih berusaha bujuk aku buat ketemu dia lagi, lebih baik aku pergi dari sini. Aku enggak akan muncul di depan Mas Bimo lagi." Bimo mengerjap kaget. "Jangan begitu, Ta." "Aku bukan mengancam, Mas. Aku sungguh-sungguh." "Aku enggak akan bahas dia lagi dan aku juga enggak akan bujuk kamu buat kembali. Tinggallah di sini selama yang kamu mau dan aku akan bantu kamu sebisa aku, apa pun itu." Setelah itu, suasana berubah hening. Tidak ada lagi yang berbicara sampai Yuta meninggalkan dapur usai menyelesaikan tugasnya. "Mas, jangan ungkit-ungkit lagi soal suaminya,” bisik Asha hati-hati. “Jangan juga bujuk Yuta buat pulang." "Kenapa, Ash?" Jauh di dalam hatinya, Bimo hanya ingin membantu. Tidak ada maksud usil sama sekali. "Hal itu cuma bikin Yuta tambah terluka," sahut Asha sedih. "Apa Yuta cerita sama kamu soal masalah dia dan Ritz yang sebenarnya?" Perlahan Asha mengangguk. "Yuta cerita, tapi aku enggak bisa kasih tau Mas Bimo." "Enggak masalah buat aku. Dengar dia bisa cerita sama kamu aja aku udah lega. Setidaknya aku tau Yuta enggak menanggung semua sakitnya sendirian," ujar Bimo tulus. "Ash, tapi apa Yuta memang terluka sangat dalam?" "Banget, Mas. Parah banget." Mendengar cerita Yuta saja membuat Asha ikut sakit hati. Meski permasalahan yang mereka hadapi berbeda, tetapi Asha merasakan luka yang dalam juga. Itulah yang membuat keduanya jadi akrab dan saling percaya meski baru mengenal satu sama lain. "Aku masih enggak habis pikir, apa yang Ritz lakukan sampai bisa menyakiti Yuta sedalam itu?" gumam Bimo bingung. Asha mengembuskan napas berat. "Intinya sesuatu yang sangat enggak masuk akal." "Padahal aku berharap mereka selalu bahagia." "Mas, aku boleh nanya sesuatu?" ujar Asha ragu-ragu. "Apa, Ash?" "Kenapa Mas Bimo peduli banget sama Yuta?" Jujur saja Asha terkejut ketika pertama kali Bimo tiba-tiba muncul dan membawa Yuta. Kemudian, setelah hampir satu bulan Yuta tinggal bersamanya, Asha bisa melihat sebesar apa kepedulian Bimo untuk wanita itu. Rasa-rasanya bukan seperti orang yang sekadar menolong teman. "Apa salah, Ash?" Bimo balas bertanya dengan perasaan tidak enak. Cepat-cepat Asha menggeleng. "Aku enggak bilang salah, cuma penasaran." "Sama seperti ke kamu, aku juga peduli," ujar Bimo lembut. "Kalau aku, kita masih ada hubungan keluarga, Mas,” sahut Asha terang-terangan. “Kalau Yuta kasusnya beda, Mas." "Dia teman duet aku selama bertahun-tahun." Jawaban Bimo tidak memberi Asha kepuasan. Dia memandangi sepupunya cukup lama, kemudian bertanya setengah mendesak, "Hanya itu, Mas?" Pertanyaan Asha yang mengandung kecurigaan membuat Bimo heran. "Maksud kamu?" "Apa Mas Bimo enggak punya perasaan khusus buat Yuta?" tanya Asha hati-hati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN