Ch3-Kabut di tengah malam.

1422 Kata
Perjalanannya tidak ada hambatan lagi, tak lama setelah turun dari bukit lalu masuk ke jalan setapak dan mengikutinya hingga ke ujung. Melihat jurang di sisi jalan, dia teringat dengan kematian ayahnya. Pria itu berdiri di tepi dan memutar tubuhnya sejenak, Galih melihat ke ujung garis dimana matanya bisa menjangkau. Dia menatap ke dasar jurang, kematian ayahnya terbayang dan melintas sangat jelas di dalam ingatannya. “Bapak.” Ucap pria bertubuh jangkung tersebut dengan bibir bergetar, air matanya kembali merembes jatuh pada kedua pipinya. Setiap pulang dan pergi dari kediaman Ki Sarwo dia selalu melewati tebing tersebut. Sekali dua kali dia berhenti di sana untuk mengenang peristiwa di dalam ingatannya. Sangat menyakitkan! Sangat memilukan! Terkadang dia tidak mengerti, yang dia rasakan semuanya terasa sakit. Tapi dia tetap berjalan ke depan dan melaluinya. Hidup yatim piatu bersama ketiga adiknya. “Aku pasti kuat kan Pak?” Tanyanya seraya mengusap kedua pipinya, lalu melanjutkan langkah kakinya menuju ke kediaman Ki Sarwo. Baru menginjakan kakinya di beranda rumah Ki Sarwo, pria itu sudah di sambut dengan suara. “Kamu ingin pergi? Kapan? Di kota akan banyak rintangan.” “Iya Guru.” Ucapnya seraya meletakkan bingkisan untuk gurunya di atas meja, lalu mengangkat kedua kakinya dan naik ke atas rumah panggung milik Ki Sarwo. Galih duduk bersila menghadap sang guru di antara meja. “Hem, sebenarnya latihan mu memang sudah usai. Hanya saja aku cemas kamu melanggar pantangan. Kamu ingat dengan sumpah saat masuk latihan?” Tanya Ki Sarwo padanya. Galih mengangkat wajahnya, pria itu tersenyum sambil menganggukkan kepala. Sumpah tersebut adalah kalau dia tidak boleh melewati batasan dengan lawan jenis, serta tidak boleh menindas sesama, memandang rendah orang lain serta semua perilaku yang buruk. Budi luhur dan akhlak yang baik berdasarkan ajaran gurunya dia tanamkan dalam-dalam di dalam hatinya. Sang guru menyentuh kedua bahunya, Galih Arteja tersenyum semakin cerah. Dia sudah menganggap Ki Sarwo sebagai kakeknya sendiri. “Berangkatlah tiga hari lagi, aku akan menuntun mu dan terus menjagamu dari sini.” Ucap pria itu seraya mengusap puncak kepala Galih. Galih merasa bahagia karena sudah mendapatkan restu dari sang guru. Tidak ada kerisauan lagi di dalam hatinya. Di sisi lain, ketiga adik dari Galih sedang duduk di beranda rumah. “Kak Arya?” Panggil Meila Trisnawati Wijaya, adik bungsu galih pada kakak ke dua-nya. Gadis itu meletakkan sebakul singkong di atas dipan dimana mereka bertiga sedang duduk saat ini. Meila berusia enam belas tahun saat ini. “Kenapa?” Tanya Raden Arya Sapta Wijaya seraya mengambil sebuah singkong yang disediakan oleh adik bungsunya, lalu menggigitnya sedikit dan mengunyahnya. “Kak Galih, nanti pasti pulang kan?” Tanyanya seraya meremas kain jarit yang dia jadikan selimut untuk mengusir dingin malam itu. “Pasti pulang, kamu kenapa?” “Meila cuma cemas, hari sudah larut.” “Meila-Meila kamu ini jangan mikir yang tidak-tidak, Abang pasti pulang.” Timpal Raden Regar Aji Kusuma Wijaya. Regar Aji Kusuma adalah putra ke tiga. Adik kedua dari Galih Arteja. “Tapi ini sudah larut malam.” Ucapnya tanpa bisa mengusir cemas dari dalam hatinya. “Kamu tidur saja dulu, biar Bang Arya sama aku yang nunggu.” Ucap Regar agar adiknya tidak gelisah dan cemas. “Ya sudah Meila masuk dulu ke dalam.” Ucapnya seraya melangkah pelan masuk ke dalam rumah. Entah kenapa kabut terasa lebih tebal dari biasanya malam itu. Regar dan Arya yang duduk di beranda juga merasakan hal yang tidak biasa. “Aneh.” Ucap Arya setelah mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling rumah. Pria itu segera beranjak dari posisi duduknya. Regar pun ikut berdiri, dua pria itu sama-sama berdiri di depan rumah. Meila yang sedang melewati ruang tengah dimana biasanya dia dan kakaknya makan bersama melihat seseorang duduk di sana. Gadis itu ragu-ragu ingin melihat lebih dekat. Tinggal selangkah lagi dia bisa menyentuh bahunya. Satu detik kemudian tangannya ditarik menjauh oleh Regar Aji Kusuma. Meila Trisnawati segera menoleh menatap ke arah kakaknya tersebut. “Jangan sentuh!” Ucap Regar cepat. Satu detik kemudian.. “Slashhhh!” Sosok yang dilihat Meila lenyap dari pandangan. Wanita bertudung putih memakai kebaya berwarna biru tua, itu yang tadi dilihat oleh Meila. “Meila pikir itu Ibu.” Ujarnya pada Regar dengan kedua bola mata berkaca. “Bukan Meila, Ibu sudah meninggal dan Ibu tidak akan pernah kembali.” Regar ikut berkaca-kaca melihat adiknya menangis. Sudah sering keanehan terjadi di lingkungan lereng gunung tersebut, dan ini bukan yang pertama kalinya. Karena mereka berempat menjadi incaran mahluk astral. Terlebih Galih Arteja, dalam setiap langkah kakinya mengundang kehadiran mahluk dalam berbagai bentuk dan wujud. Mereka memburu untuk mendapatkan kekuatan lebih. Ki Sarwo lah yang sudah memberikan empat bersaudara tersebut mantra untuk menjadi satir dan agar mereka tidak menjadi bahan buruan para penganut ilmu hitam. Tak lama kemudian Arya melihat Galih sedang melangkah menuju ke rumah. Arya mendengar derap langkah kaki kakaknya serta bayangan pria itu keluar dari dalam kabut tebal. Galih tersenyum melihat Arya sangat bahagia ketika melihat dirinya samar-samar keluar dari dalam kabut tebal. “Kenapa tidak tidur?” Tanya Galih seraya naik ke beranda lalu naik ke atas dipan dan duduk di sebelah Arya. Galih menuang air ke dalam gelas bambu dari dalam kendi. Anehnya beberapa detik kemudian kabut ikut menyingkir setelah pria itu duduk di sana. Begitu juga mahluk-mahluk yang tadinya mengintai di dalam rerimbunan hutan tak jauh dari kediaman mereka ikut membubarkan diri. “Abang tidak lihat kabut tebal tadi?” Arya sengaja menanyakannya. Dia merasa cemas kalau sesuatu akan terjadi setelah kakaknya itu pergi meninggalkannya ke kota. “Lihat, kenapa? Kamu takut Abang pergi?” Galih tersenyum lebar, dan itu membuat tenang hati Arya yang tadinya merasa sangat gelisah tak tentu arah. “Arya tidak sehebat Bang Galih, Arya cemas tidak bisa menjaga adik.” Ujarnya dengan kepala tertunduk. Galih membuka telapak tangan kanannya, satu detik kemudian muncul bilah bambu kering berukuran satu meter dalam genggaman tangannya. Pria itu memberikannya pada Arya Sapta Wijaya. “Nih.” Ucapnya dengan tersenyum seraya menyodorkan benda tersebut pada adiknya. “Apa ini Bang?” Tanyanya dengan tatapan bingung. “Simpan baik-baik, pukul kan tujuh kali ke tanah jika sedang dalam situasi mendesak. Aku bisa mendengar getarannya, berdoa saja semoga aku tidak terlambat datang. Aku pergi, tapi sebetulnya tidak pergi. Aku akan tetap berada di sini menemani kalian, jadi jangan cemas lagi.” Arya menelan ludahnya, dia baru tahu kalau kakaknya sudah mendalami ilmu yang sangat tinggi dari Ki Sarwo sang guru. Ilmu membelah jiwa. Sebenarnya ilmu tersebut sudah ada di dalam dirinya, akan tetapi Galih tidak tahu dan Ki Sarwo lah yang mengasahnya hingga pria itu benar-benar menguasai ilmu yang juga dikuasai oleh Ki Wangsa. Raden Galih Arteja Wijaya, pewaris satu-satunya dan seluruh keturunan dari Galih Arteja yang akan menjadi penerus turun temurun. Satu dari sekian orang yang terpilih menjadi penerus ilmu dari kakek buyutnya. “Kenapa?” Galih menyentuh bahu Arya. “Kenapa Arya sulit sekali bermeditasi? Dan semua yang Arya pelajari terasa lambat, tidak bisa secepat Abang?” Tanyanya seraya memeluk bilah bambu kering pemberian dari kakaknya. “Sabar, dan terus berlatih, jangan mudah putus asa. Aku yakin kamu juga akan bisa menguasainya.” Sahutnya dengan nada tenang. “Tapi Guru bilang, jatah setiap orang tidak sama. Tergantung wadah-nya. Jika wadah itu luas maka akan mendapatkan jatah banyak, dan jika wadah itu hanya seukuran gelas ini.” Arya mengangkat gelas bambu lalu kembali meletakkannya di atas meja. Pria itu menuangkan air ke dalamnya. “Maka isinya juga hanya sebatas sampai gelas ini penuh.” Galih tersenyum, pria itu mengambil gelas bambu yang diisi oleh adiknya dan meminumnya perlahan. “Guru benar.” Sahutnya selesai meneguk airnya. “Jadi aku..” “Jangan cemas, dan tetap latihan. Guru mengatakan itu agar kita mengerti kalau semua yang dimiliki orang lain jangan membuat kita juga ingin untuk memilikinya, atau sampai merasa berhak untuk mendapatkannya. Karena wadah kita tidak sama. Terus berjuang, mungkin kita akan sampai ke puncak jika terus berjalan.” Ujarnya seraya mengambil sepotong singkong lalu mengunyahnya. Arya hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat kakaknya memberikan penuturan seperti itu. Arya selalu kesulitan mencerna kata-kata Ki Sarwo, sama halnya dengan mencerna kata-kata dari Galih Arteja. Niat Galih adalah agar Arya tidak berlatih keras untuk mendapatkan apa yang juga didapatkan oleh dirinya, karena ilmu yang diajarkan Ki Sarwo juga tidak sama dengan yang diberikan padanya. Dia pun ingin menerapkannya pada adik-adiknya agar mereka juga bisa menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Bukan berlatih dengan tujuan untuk melampaui orang lain tapi berlatih sesuai dengan ilmu yang diajarkan oleh Ki Sarwo pada mereka, berlatih untuk perlindungan diri bukan untuk ditunjukkan kepada orang lain atau sekedar menyombongkan diri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN