Di dalam rumah, Meila Trisnawati mendengar suara kakak sulung-nya, gadis itu segera menyerbu keluar.
“Meila, mau kemana?” Regar terkejut melihat adiknya mendadak turun dari tempat tidur dan berlari keluar dari dalam kamarnya.
Gadis itu tersenyum cerah melihat Galih sedang duduk di beranda bersama Arya. Dua pria itu spontan menoleh mendengar derap langkah Meila.
“Abang kapan tiba?” Tanyanya lalu ikut bergabung bersama kedua kakaknya. Regar mengikutinya lalu ikut bergabung juga bersama mereka.
“Baru beberapa menit lalu.” Sahutnya seraya menepuk bahu Meila disusul senyum lembut dari bibir adik bungsunya.
“Meila bertanya terus Bang, dia cemas dari sore.” Sahut Regar seraya mengambil singkong sebuah dan mengunyahnya. Pria itu terlihat senang karena Galih sudah tiba di kediamannya.
“Jadi Abang kapan berangkat?” Tanya Meila dengan tatapan penasaran. Sejak kemarin-kemarin saat Galih mengatakan niatnya dia sudah gelisah memikirkannya, karena selama ini semua wejangan (nasehat) dia dapatkan paling meresap dalam hati yaitu dari kakak sulungnya tersebut.
“Guru bilang tiga hari lagi.” Jawabnya dengan nada tetap tenang.
Dari kejauhan nampak seorang wanita tua sedang mengawasi mereka berempat. Wanita itu adalah Nyai Ratih, dalam genggaman tangan kanannya memegang logam tempat sirih dan pinang.
“Oh dia ingin keluar kota rupanya, hihihihii!” Tertawa mengikik seraya memegangi tongkatnya.
Sayup-sayup Galih mendengar suara tawa mengerikan tersebut, begitu juga ketiga adiknya. Meila mengusap tengkuknya seraya mengedarkan pandangan matanya ke sekitar seolah mencari asala suara.
“Kalian masuklah ke dalam dan tutup pintunya.” Ucap Galih Arteja kepada ketiga adiknya, tak seorang pun dari mereka yang berani bertanya ‘Kenapa?’ ketiga adiknya langsung masuk ke dalam rumah dengan cepat lalu menutup pintu.
Galih segera turun dari atas dipan beranda lalu melangkah menuju ke tepi hutan. Tak lama kemudian Nyai Ratih muncul di belakang punggungnya. Wanita itu sudah kembali berpenampilan muda dan cantik. Tanpa ragu merentangkan kedua tangannya untuk memeluk Galih. Namun yang dia dapatkan hanyalah udara kosong. Malah pria itu nampak di setiap dia mengedarkan pandang.
Ada sosok Galih Arteja yang sedang berdiri di atas ranting, ada pula yang sedang berdiri tak jauh darinya. Sisanya menyebar mengitari Nyai Ratih. Wanita itu tampak takjub sekali.
“Medhar sukma!” Gumam Nyai Ratih seraya tersenyum. Medhar sukma adalah ilmu memecah sukma. Nyai Ratih segera menerjang sosok Galih satu persatu dengan serangan beraneka ragam. Beberapa dari mereka lenyap, ada juga wujud tersebut yang melakukan serangan balik padanya.
“Ki Wangsa, aku sangat merindukanmu.” Serunya ketika mendapatkan sosok Galih yang dia kira asli padahal itu adalah bayangan. Salah satu dari pecahan di antara sekian pecahan.
“Sadarlah Nyai, aku bukan Ki Wangsa. Aku Galih Arteja, putra dari Hendri Wijaya. Hup!” Sahutnya seraya melenting ke belakang untuk menghindari serangan.
“Kamu selalu menghindar dariku! Apa aku sama sekali tidak menarik bagimu?!” Tandas wanita itu mulai terlihat marah dan kesal. Dalam benak Nyai Ratih, Galih tetap Ki Wangsa satu-satunya orang yang dia cintai sejak awal hingga kini, meskipun Galih dan Ki Sarwo sudah mengatakan berkali-kali kalau dia bukan Ki Wangsa tetap saja hatinya tidak bisa menerima kalau Ki Wangsa sudah tiada.
“Aku punya sumpah Nyai dari Guruku, dan aku tidak berniat untuk melanggarnya. Lagi pula jalan kita terlalu jauh berbeda Nyai.” Sahutnya seraya melangkah menuju ke rerimbunan bambu, lalu berdiri di sana memunggungi wanita itu. Dari pecahan sembilan sukma masih tersisa tiga pecahan. Dua dari satu yang sedang bercakap-cakap dengan Nyai Ratih masih tetap berdiri di tempat menunggu giliran untuk maju menyerang jika yang sedang berhadapan dengan Nyai Ratih kembali lenyap.
“Kamu tidak bisa dirayu, banyak pemuda dari penduduk sini yang mengejar ku. Kecuali dirimu! Hiaaakk! Duak!” Nyai Ratih kembali melompat dan menerjang tubuh Galih yang sedang berdiri di atas ranting, tubuh pria itu kembali melenting ke bawah dan menapak di atas tanah. Nyai Ratih sengaja menyerang Galih yang sosoknya berada di atas, bukan yang sedang berdiri memunggunginya di dekat rimbun bambu. Dugaan wanita itu benar, dua di antaranya sudah lenyap dalam waktu bersamaan dan hanya tersisa wujud yang kini berhadapan dengannya.
“Sringggg!” Galih Arteja menodongkan sebilah bambu pada leher Nyai Ratih begitu wanita itu turun mengejar dirinya. Gerakan Galih sangat cepat dan Nyai Ratih tengah lengah lantaran mencari keberadaan dirinya. Bukannya takut, Nyai Ratih malah tertawa mengikik.
“Hihihihihi! Galih Arteja, ayo bunuh aku! Habisi nyawaku!” Tantang Nyai Ratih padanya seraya tersenyum memainkan untaian bunga melati yang menghias rambut panjangnya. Satu detik berikutnya, bunga melati kuncup pada ujung untaian dilemparkan ke arah Galih dan berubah menjadi serbuk wewangian dupa beraroma melati. Galih mengibaskan wajahnya, beberapa butir hampir mengenai matanya. Pria itu menutup hidungnya menggunakan lengan bajunya. Dan wanita yang tadi berdiri di hadapannya sudah berubah menjadi nenek-nenek tua kembali, Nyai Ratih sudah berjalan beberapa meter menuju hutan sambil menggenggam tongkat kayu di tangan kanannya. Melihat wanita itu sudah menjauh, bilah bambu tersebut ikut lenyap dari genggamannya.
“Aku akan terus memburu mu, sampai kamu berakhir di dalam genggaman tanganku! Hihihi! Ki Wangsa, aku dahulu tidak mendapatkan mu! Jadi sekarang aku akan mengambil cucu buyut kesayanganmu! Hihihihi!” Suara wanita tua itu membahana di seluruh hutan.
Galih mencium bajunya, aroma melati hutan masih tetap tinggal di sana. Padahal keduanya sama sekali tidak bersinggungan badan. Setibanya di rumah, Arya menatap ke arah kakak sulungnya dengan tatapan penuh selidik. Dia mulai meragukan sumpah yang berada di bahu Galih. Ingin bertanya tapi dia tahan, lantaran cemas kalau Galih tersinggung. Melihat itu, Galih segera melepaskan bajunya lalu berganti dengan pakaian lain. Pria itu meletakkan baju tadi di belakang rumah dalam keranjang pakaian kotor di dekat sumur.
Saat dia berbalik ternyata Arya sudah berdiri di belakang punggungnya. Adik-nya tersebut sudah tahu kalau aroma tersebut berasal dari tubuh wanita. Selama ini Galih tidak pernah menceritakan tentang Nyai Ratih pada ketiga adiknya. Mereka hanya mendengar desas-desus kalau ada wanita jelita yang tinggal di puncak bukit.
“Bang?”
Galih tersenyum melihat tatapan cemas dari kedua bola mata Arya, dia segera menarik Arya masuk kembali ke dalam rumah. “Kenapa?” Tanyanya dengan nada tenang seraya memakai baju gantinya.
“Abang tadi ke hutan kan?” Mengekor Galih masuk ke dalam kamar, sampai di dalam kamar dia melihat kakak-nya sedang duduk bersila di atas dipan kayu yang biasa digunakan Galih untuk melepas lelahnya. Hampir tidak pernah dia melihat Galih dengan posisi tidur telentang.
“Iya, aku tadi ke hutan.” Masih berucap dengan nada tenang.
“Aroma itu…”
“Dari dedemit dan lelembut penjaga gunung.” Sahut Galih, dia sengaja memotong pertanyaan adiknya. Dia tahu kalau Arya tipe orang yang akan penasaran jika apa yang dia ceritakan menarik perhatiannya. Galih tidak mau Arya terbawa masalah jika sampai dia menceritakan tentang Nyai Ratih. Galih cemas kalau sampai Arya mencari Nyai Ratih. Pria itu menatap wajah adiknya, dia melihat semburat kecewa terlukis di sana.
“Kamu tidak percaya pada Abang mu?” Tanyanya pada Arya.
“Bunga melati itu milik wanita cantik. Kalau dedemit pasti baunya busuk, apalagi aroma itu menempel di baju. Arya pikir Abang..” Tidak berani melanjutkan ucapannya.
“Hem. Tidurlah sudah malam.” Ujarnya pada Arya. Mau tidak mau Arya segera memutar tubuhnya dan keluar dari dalam kamar Galih Arteja. Kalau sudah berkata begitu artinya Galih tidak akan membahas apa yang dia tanyakan. Kalau dia terus mengungkitnya maka kakaknya itu akan diam dan tidak akan bicara sama sekali padanya dalam beberapa hari sampai adiknya tersebut benar-benar melupakannya. Dan hal itu tidak terjadi hanya sekali itu saja, demi keselamatan ketiga adiknya terkadang dia memilih diam dan tidak menjawab apa yang mereka tanyakan padanya.
Arya melangkah lesu menuju kamarnya, pria itu segera rebah di atas dipan. Belum ada sepuluh menit sudah terlelap saat dia memeriksanya. Begitu juga Meila, Galih melihat Meila sudah terlelap dengan selimut kain jarit di dalam kamarnya. Sementara Regar sedang duduk bermeditasi di dalam kamarnya. Galih merasa lega melihat mereka bertiga baik-baik saja. Setelah memeriksa ketiganya, pria itu kembali melangkah menuju ke sumur untuk merendam bajunya. Baru membuka pintu belakang, aroma melati sudah menyeruak masuk ke dalam lubang hidungnya.
“Aromanya kuat sekali.” Gumam pria itu seraya menarik tali untuk mengambil air dari dalam sumur. Pria itu meletakkan bajunya ke dalam wadah dari tanah liat, bentuknya mirip sebuah ember lalu menuang air ke dalam seraya merapal kan sesuatu. Perlahan aroma tersebut sirna dari bajunya.
Di sisi lain. Bersamaan dengan yang dilakukan Galih, Nyai Ratih terbatuk-batuk dan meludahkan cairan berwarna merah. Kali ini bukan berasal dari buah pinang dan sirih, tapi organ dalamnya terasa terluka. “Aku meninggalkan aroma tubuhku di sana, dan dia berhasil mengusirnya pergi.” Gumam wanita itu seraya mengurut dadanya yang terasa sedikit nyeri. Jika manusia biasa, maka mereka akan masuk ke dalam perangkap dan menjadi tumbal dari rasa gelisah, mencari siapa yang memberikan aroma tersebut dengan masuk ke dalam hutan dan tidak pernah kembali pulang!
Rasa penasaran manusia terkadang menjadi jalan untuk menjemput ajal. Keinginan manusia yang tiada terbatas terkadang membawanya dalam keterpurukan, lebih buruk dari situasi yang sebelumnya.