Malam itu suasana begitu tenang, Galih sudah berkeliling untuk memeriksa keadaan di dalam pabrik. Tidak ada hal apapun yang terjadi di sana. Pria itu tidak membawa ponsel pemberian dari Ananta, dia tetap membiarkan benda tersebut tergeletak di atas meja sejak sore tadi. Jadi dia tidak mengetahui kalau Ananta menghubunginya. Pria itu berdiri di pelataran luas tempat pekerja memarkirkan kendaraan. Tak ada satu pun petugas di sana, apalagi usai berkabung. Kalau hari biasa kadang masih ada satu dua orang yang bertugas sebagai tukang bersih-bersih tinggal di sana sampai larut baru pulang. Galih mengedarkan pandangan matanya, pria itu menatap ke sekelilingnya. Cukup lama pria itu berada di sana untuk mengawasi. Hanya semilir angin yang menerpa wajahnya sesekali.
“Tidak ada apa-apa di sini.” Gumam pria itu lalu melanjutkan langkah kakinya menuju ke sisi samping gedung.
“Hihihihihi!” Tawa Nyai Ratih mulai terdengar menyapa lubang telinganya. Galih melihat ke arah asal suara. Nyai Ratih sedang duduk di atas atap dengan berselonjor kaki. Wanita berwujud nenek-nenek tersebut terlihat sedang menikmati sesuatu dari dalam bakulnya. Galih memalingkan wajahnya sejenak, mata pria itu setengah terpejam. Melihat bibir dan pipi wanita tua tersebut belepotan cairan berwarna merah Galih tahu apa yang sedang dimakan olehnya. Tak lama kemudian bau anyir darah menyeruak menusuk hidung Galih Arteja.
“Hihhihihi! Sraakkk! Tak, tak, tak.” Nyai Ratih tertawa keras sekali, wanita itu bangkit berdiri lalu berjalan di atas atap. Satu detik berikutnya melompat turun ke bawah. “Jlag!” Nyai Ratih sudah berdiri tegak di depan Galih, penampilannya sudah berubah menjadi wanita muda dengan sehelai kain tipis berwarna merah, tanpa kebaya. Kain tersebut membalut kulitnya yang bersih sebatas dadanya dan menjuntai ke bawah sampai di atas paha. Wanita setengah telanjang tersebut bertelanjang kaki berjalan memutari tubuh Galih Arteja. Lekukan tubuhnya terlihat sempurna di depan mata seorang pria. Jemari tangannya begitu lentik dan menakjubkan. Aroma darah sudah berganti dengan aroma untaian bunga melati yang menghias cantik rambut panjang milik Nyai Ratih.
Galih perlahan membuka kembali kedua matanya, menatap wanita itu yang kini tengah berjalan pelan memutari tubuhnya. Melihat Galih menatap dirinya, Nyai Ratih merasa bangga sekali.
“Raden Galih Arteja, ikutlah denganku.” Nyai Ratih mengulurkan tangan kanannya. Wanita itu ingin menyentuh pipinya, Galih terdiam sejenak. Dia menatap kuku runcing perlahan tumbuh keluar dari jemari lentik milik Nyai Ratih. Bukan sebuah sentuhan yang ingin diberikan padanya melainkan sabetan kuku tajam tersebut untuk mengoyak wajahnya. Secepat kilat Galih segera merendahkan kepalanya hingga tubuh tegapnya melengkung ke belakang. Nyai Ratih mendapati udara kosong. Wanita itu semakin murka dan mulai menyerang Galih dengan membabi buta.
“Aku benci sekali denganmu! Kamu pemuda sombong! Hiakkk!” Nyai Ratih melompat menerjang Galih menggunakan kedua kakinya dengan gerakan cepat dan beruntun. Galih berhasil menangkis setiap serangan menggunakan kedua tangannya. Tubuh pria itu terdorong mundur jauh beberapa meter ke belakang. Saat punggungnya hampir sampai menabrak dinding pembatas, Galih segera menjejakkan kakinya ke tanah. Tubuh pria itu melesat naik ke udara, lalu turun menerjang membalas serangan. Nyai Ratih yang belum siap sangat terkejut mendapatkan serangan mendadak tersebut.
“Daakkk! Blaarrr!” Telapak tangan kanan Galih berhasil mengenai dadanya. Tubuh Nyai Ratih terpental jauh menabrak dinding. Pria itu kembali berdiri tegak, kedua kakinya sudah menapak di atas tanah. Pandangan matanya terus menatap sosok Nyai Ratih yang kini tengah terluka karena serangan darinya. Jika kemarin-kemarin Galih tidak pernah menyerang balik, baru hari ini ia melakukan serangan. Hanya satu serangan saja Nyai Ratih sudah tidak bisa mengimbanginya. Tidak ada tatapan cemoohan pada wajah Galih Arteja ketika melihat lawannya sudah tumbang akibat serangan darinya. Pria itu melangkah pelan mendekat ke arah Nyai Ratih.
“Akh! Uhuk! Uhuk!” Nyai Ratih terbatuk, wanita itu menekan dadanya satu detik berikutnya mulutnya mengeluarkan cairan merah. Nyai Ratih kembali terluka akibat pertikaian tersebut. Wanita dengan paras jelita tersebut masih duduk di atas tanah. Melihat Galih mendekatinya, Nyai Ratih segera memalingkan wajahnya ke arah lain.
Galih duduk berjongkok satu meter di depan Nyai Ratih. Pria itu melepaskan seragamnya, dan tinggal kaos lengan pendek yang dia kenakan. Galih menggunakan seragamnya untuk menutupi tubuh Nyai Ratih. Nyai Ratih segera menoleh menatap wajah pria yang sedang membetulkan baju untuk menutupi tubuhnya tersebut.
“Dia juga pernah melakukan ini, Ki Wangsa..” Ucapnya dengan suara lirih. Wanita itu masih menatap Galih dengan kedua bola mata berkaca. Galih tidak menyahut ucapannya, pria itu berniat berdiri lalu masuk ke dalam. Namun Nyai ratih tiba-tiba menahan pergelangan tangannya. “Aku tahu sebenarnya kamu tidak bermaksud melukaiku.” Lanjut Nyai Ratih.
“Pulanglah Nyai.” Ucap Galih seraya menoleh ke arahnya.
“Tubuhku sakit sekali, aku tidak bisa berjalan..kakiku lemas sekali.” Ujarnya seraya memasang wajah memelas. Galih kembali berjongkok, pria itu menarik lepas genggaman Nyai Ratih dari pergelangan tangannya. Galih mendadak tersenyum sekilas, Nyai Ratih tampak gugup sekali.
“Aku tidak melukaimu Nyai, Nyai hanya memuntahkan sisa makanan.” Sahutnya seraya menggelengkan kepala. Luka yang awalnya dirasakan oleh tubuh Nyai Ratih mendadak hilang seketika setelah mendengar Galih mengatakan itu padanya. Galih sudah berdiri dan kembali berjalan meninggalkan wanita itu sendirian di sana.
“Tidak tadi tubuhku, tunggu aku!” Nyai Ratih memegangi kedua ujung baju seragam Galih sambil berlari mengejarnya.
“Brak! Brak! Galih buka pintunya!” Nyai Ratih menggedor keras pintu kamarnya, Galih sengaja memasang beberapa bilah bambu di sana agar Nyai Ratih tidak masuk sembarangan lagi seperti hari sebelumnya. Nyai Ratih duduk di luar pintu sambil memeluk lututnya, semua yang dilakukan pria itu tidak bisa hilang dari dalam ingatannya. Sejak awal hingga detik ini dia terus mengingatnya.
Tiba di ujung pagi Galih beranjak turun dari atas dipannya, pria itu membuka daun pintu kamarnya karena hendak pergi ke kamar mandi. Punggung Nyai Ratih jatuh ke belakang menimpa pada kedua kaki Galih Arteja. Semalaman wanita itu duduk di sana.
“Apakah dia tertidur?” Galih ragu, namun pria itu memaksa hatinya untuk menundukkan tubuhnya lalu mengangkat tubuh wanita itu. Nyai Ratih masih tetap memejamkan kedua matanya, dia diam saja tinggal di dalam gendongan. Nyai Ratih meremas lengan Galih Arteja saat pria itu berjalan melintasi bilah bambu di dekat pintu. Galih tahu Nyai Ratih pasti merasa sangat kesakitan dan kekuatannya mulai melemah.
“Antarkan aku pulang.” Bisik wanita itu seraya membuka pelan kelopak matanya. Niat Nyai Ratih ingin berada di dalam pelukannya sampai tiba di pondok tempat wanita itu tinggal. Akan tetapi Galih malah meletakkan tubuh wanita itu di atas dipannya. Galih tersenyum lalu mundur selangkah, dalam satu detik tubuh Nyai Ratih sudah lenyap dari pandangan matanya.
“Akhhh!” Nyai Ratih memekik karena tubuhnya melesat dan dalam hitungan detik sudah tiba di dalam rumah. “Kasar sekali! Aku pikir dia menginginkanku! Tapi pria itu ternyata sangat tidak manusiawi!” Keluh Nyai Ratih seraya meremas baju seragam milik Galih di atas pangkuannya. Nyai Ratih duduk di atas ranjang, wanita itu mengangkatnya lalu menciumnya. “Aroma melati milikku. Hihihihihi!” Ucapnya sambil tertawa keras sekali lalu menjatuhkan tubuhnya ke belakang. “Jika aku tidak bisa mendapatkan Wangsa, maka Galih Arteja yang akan menggantikannya! Hihihihiihi!”
“Braakk!” Pintu kamarnya terbuka karena hempasan angin. Mentari belum turun, suasana masih gelap. Galih sedang duduk dengan kaki bersila di atas tikar dalam kamarnya, kedua matanya terpejam menunggu mentari turun seraya menyebut sifat-sifat Sang Pencipta yang bisa menenangkan hatinya. Menguak keresahan menjadi kesejukan, menghapus noda hitam dan menggantinya dengan warna cemerlang!
“Srak, brak!” Pintu kembali terhempas menutup. Suara berisik tersebut tidak membuat pria itu bangun dari posisi duduknya.
“Hampir saja! Hampir saja!” Suara gurunya terdengar menggema menyapa lubang telinga pemuda tersebut. Galih mempertajam indera pendengarannya. Pria itu tahu apa yang dimaksud oleh Sang Guru. Hari ini dia berani menyentuh Nyai Ratih karena iba. “Ingat pesanku Le, ingatlah baik-baik. Semuanya akan lenyap dalam keindahan fana serta kesenangan di dalamnya!”
“Lalu, haruskah aku membunuhnya?” Galih bertanya-tanya dalam hatinya, selain mahluk halus pria itu tak pernah membunuh manusia.
Galih bukannya tidak tahu kalau Nyai Ratih adalah wanita yang salah arah. Galih juga bukan tidak tahu kalau Nyai Ratih sudah membawa banyak petaka di sekitar manusia. Mengajak para manusia berjalan ke sisi yang salah. Mengalihkan tujuan manusia dari arah yang benar. Sifat lunak dan lembut dalam hati pria itu yang memandang Nyai Ratih kalau wanita itu adalah manusia. Selebihnya tidak sama sekali.
Ki Sarwo pagi ini berdiri di jalan yang biasanya dilalui Meila, dan Regar untuk pergi ke sekolah. Pria itu hanya mengawasi mereka dari kejauhan saja. Meila yang mengedarkan pandangan matanya melihat Ki Sarwo. Gadis itu segera berlari kecil menuju ke arahnya.
“Meila tunggu, mau ke mana?!” Regar melihat adiknya tersebut sedang berlari menuju ke hutan bambu di tepi jalan.
“Aki!” Panggilnya dengan suara riang.
“Meila, hehehehe!” Ki Sarwo menyentuh puncak kepala Meila sambil terkekeh. Meila merasakan kepalanya seperti ada kilasan cahaya masuk perlahan saat Ki Sarwo meletakkan telapak tangannya di sana. Gadis itu memejamkan kedua matanya, cahaya mulai masuk perlahan menyatu dengan tubuhnya. Regar sudah tiba di sana, pemuda itu segera mendekati adiknya yang sedang berdiri di dekat semak bambu.
“Meila? Ngapain di sini, ayo sekolah!” Regar menarik tangannya.
“Bang Regar, tunggu, Aki...!” Ujarnya seraya menoleh ke tempat dimana Ki Sarwo tadi berdiri, ternyata pria itu sudah tidak ada di sana.
“Aki? Tidak ada Aki, tidak ada siapa-siapa di sini.” Ucap Regar seraya menyeret lengan Meila pergi meninggalkan hutan.
“Tadi ada Aki di sini Bang.” Meila berkeras seraya menunjuk dimana tadi Ki Sarwo sedang berdiri.
“Mungkin kamu cuma kangen Meila, besok Abang ajak deh ke rumah Aki.” Sahutnya seraya menggandeng tangan adiknya menuju ke sekolah. Dua anak itu akan pergi ke sekolah seusai melakukan kegiatan sehari-hari di rumah. Arya sudah lulus sekolah beberapa bulan kemarin, jadi tinggal Meila dan Regar yang masih sekolah.
“Janji ya Bang?” Seru Meila pada Regar.
“Iya janji kalau tidak hujan.” Sahut Regar seraya terus berjalan melewati jalan setapak tersebut.
Arya masih berada di ladang, pria itu sudah mengumpulkan dua keranjang singkong sejak selesai subuh. Kini Arya duduk di atas gubuk kecil beratap daun tebu sambil menikmati sarapan pagi yang diantarkan Meila sebelum pergi ke sekolah.
Pria itu tiba-tiba terkejut mendengar ucapan salam serta sentuhan di atas bahu kirinya. Arya segera menjawab salam tersebut lalu duduk bersimpuh di bawah kaki Sang Guru.
“Apa yang mengantarkan Guru hingga datang jauh ke sini?” Tanyanya pada Ki sarwo.
“Aki cuma mau berpesan padamu Arya. Setiap seminggu sekali, ajak serta Meila untuk berlatih.” Ujarnya dengan suara pelan.
“Baik Guru.” Ucapnya dengan wajah menunduk. Ki Sarwo menyentuh bahu kanan Arya, menepuknya tiga kali lalu berjalan pergi. Arya bangkit berdiri, pria itu menatap punggung Ki Sarwo semakin lama semakin menjauh hingga tidak terlihat lagi.
Arya segera mengemas peralatannya, lalu memikul ubi-nya dengan pikulan menuju ke rumah. Dalam hati Arya bertanya-tanya, kenapa Ki Sarwo memintanya untuk mengajak Meila. Biasanya Meila tinggal di rumah setiap dia dan Regar pergi ke kediaman Ki Sarwo. Selain jalannya naik turun bukit, juga terlalu berbahaya saat hari sudah petang.
Di pabrik tempat Galih bekerja, hari ini sudah mulai memproduksi kembali. Karena Galih bekerja hanya saat malam, pagi ini pria itu kembali duduk di depan warung. Di sebelahnya ada beberapa orang sedang duduk menikmati sarapan pagi.
Ananta sedang mengemudikan mobilnya, wanita itu melihat Galih Arteja sedang duduk menikmati segelas kopi di depan warung. Ananta menghentikan mobilnya, lalu segera menghampiri Galih di sana.
“Siapa tuh? Cewek cantik banget! Pacar kamu Yo?” Tanya orang pada temannya yang sedang menikmati sarapan di sebelah Galih.
“Bukan!” Seru Taryo. “Pacar kamu?” Tanya Taryo pada Galih, seraya menyodokkan sikunya. Galih melihatnya sekilas, Ananta sudah mendekat. Galih menggelengkan kepala sambil menatap Taryo.
“Gal! Kok teleponku nggak diangkat?” Tanya Ananta tiba-tiba setelah sampai di dekatnya.
“Huh! Katanya bukan! Tapi buktinya! Huh!” Taryo bersungut-sungut melihat Ananta datang dan ternyata ke sana mendekati Galih. Galih hanya mengerjapkan matanya lalu meletakkan gelasnya seraya menatap Taryo.
“Saya pergi semalam.” Sahutnya pada Ananta. Ananta tanpa ragu segera duduk di sebelah Galih.
“Pergi ke mana? Kencan?! Kamu punya pacar di sini?” Ananta menghujaninya dengan banyak pertanyaan namun memiliki satu makna yang sama.
Galih menggeleng pelan, pria itu kembali mengambil gelas kopinya lalu menghirupnya sedikit seraya menatap wajah Ananta melalui ekor matanya. Spontan wajah Ananta memerah.
“Ya, sudah, nanti angkat ponselnya!” Desak Ananta seraya mengulurkan tangannya untuk menyentuh saku baju Galih. Ananta ingin tahu di mana pria itu meletakan ponselnya. Galih segera menahan pergelangan tangan Ananta.
“Tidak baik seorang wanita menyentuh pria yang tidak memiliki hubungan darah dengannya. Kecuali suaminya.” Ucapnya dengan nada tegas. Lalu dia kembali ingat dengan yang dilakukannya pagi buta tadi, mengangkat tubuh Nyai Ratih, meski tidak bersentuhan dengan kulitnya secara langsung itu juga tidak bisa dia benarkan dalam angan-angannya sendiri. Berdalih seperti apa pun tetap saja hal itu tidak bisa dianggap benar. Kasihan, iba, dan semacamnya ketika ujungnya menjurus ke arah yang salah. Dalam benak Galih Arteja semua tindakan yang menentukan adalah hasil akhirnya. Galih tahu, bukan untuk kesenangan dia melakukan hal itu. Tapi meski dia tahu tujuan dirinya berada di sana, hal itu juga tidak membuat pria itu lupa terlebih lagi memungkiri siapa dirinya, dirinya tetaplah manusia biasa yang tak luput dari nafsu dunia! Dengan mengetahui kelemahan yang ada pada dirinya sendiri, dia akan selalu ingat dan waspada pada semua hal yang berkaitan dengan kelemahan dirinya. Wejangan demi wejangan dia dapatkan dari Sang Guru. Sang Guru menunjukkan padanya sebuah tujuan pasti kenapa dia ditempatkan dalam situasi ini. Musuh terbesar di dalam diri manusia adalah manusia itu sendiri.