Ch14-Bukan sebuah rasa!

2143 Kata
Apa yang dikatakan Galih benar adanya bagi Ananta. Tapi sebagai wanita yang tidak berpegang teguh pada agama, itu tidak masalah baginya. “Aku tidak peduli!” Ananta tetap meraih saku Galih dia belum lega jika tidak menemukan ponsel pemberian darinya di kantong baju Galih. “Sret, sret, sret!” Galih selalu berhasil mencekal pergelangan tangannya. Hal itu membuat Ananta semakin gemas padanya. Gadis itu terus berusaha untuk menyentuhnya namun malah berakhir dengan kedua pergelangan tangan terikat. Galih menggunakan tali jaketnya untuk mengikat pergelangan tangan Ananta. “Galiiiiiihhh!” Teriak Ananta padanya. Galih Arteja sudah berdiri membayar pesanan lalu melangkah menuju ke pabrik. Taryo dan Bejo hanya bisa melongo menatap Ananta begitu kesal dan marah karena tindakan Galih Arteja beberapa detik lalu. “Kalian bisa bantu aku lepaskan ini?” Ananta menyodorkan tangannya pada Bejo dan Taryo. Dua pria itu langsung mengangguk cepat tanpa pikir panjang. “Dengan senang hati!” Sahut Taryo sambil cengengesan penuh percaya diri bisa membuka simpul yang dibuat oleh Galih. “Uhhhh! Uhhhh!” Taryo mengejan sampai wajah pria itu memerah. “Buuaakk!” Bejo menepuk punggung Taryo menggunakan telapak tangan kanannya. “Kenapa kamu Yo? Kebelet boker?” Tanya Bejo. “Bukan, ini susah! Banget!” Ujarnya sambil terus berusaha membuka simpul tali tersebut. “Alah, gitu saja masa nggak bisa! Sini aku bantuin!” Seru Bejo, pria itu ikut membantu Taryo membuka talinya namun beberapa menit berlalu dan hasilnya nihil. Taryo memegangi pinggang Bejo seraya menariknya ke belakang, sementara Bejo menarik simpul tali tersebut dengan sekuat tenaga. “Kalian ini sedang ngapain? Main tarik tambang?” Tanya Bu Sumi sambil menahan tawanya. “Sudahlah nggak usah, biar Galih saja yang buka talinya.” Seru Ananta pada Taryo dan bejo. “Mau pakai pisau Neng?” Tawar Bu Sumi sambil mengulurkan pisaunya. Ananta mengedikkan dagunya ke arah dua pria tersebut, mungkin saja mereka bersedia membantunya. Taryo dan Bejo saling bertukar pandang satu sama lain, mereka langsung menggelengkan kepala. “Bu ini uang sarapan kami berdua.” Ucap Taryo seraya meletakkan uang di atas meja, lalu bergegas naik pada becaknya. Bejo ikut menyusul Taryo, mereka berdua segera berlalu dari depan warung Bu Sumi. “Eh kembaliannya!” Teriak Bu Sumi pada mereka berdua. “Besok saja Mak, kami buru-buru mau kejar setoran!” Sahut Bejo pada Bu Sumi. Di perempatan jalan mereka berdua segera memarkirkan becaknya. “Jo, pria muda tadi yang kerja di pabrik kan?” Tanya Taryo dengan wajah serius. “Iya, dia yang paling lama bertahan di pabrik tanpa terluka sama sekali.” Sahut Bejo seraya mengusap tengkuknya sendiri. “Jangan-jangan!” Timpal Taryo dengan tubuh gemetar. “Bang, Becak!” Seru seorang wanita seraya menepuk bahu Bejo. “Dah aku mau narik dulu!” Sahut Bejo pada Taryo. “Malah ditinggal, aku jadi merinding begini.” Taryo berkali-kali mengusap kedua lengannya. Di warung Ananta dan Bu Sumi berusaha membuka tali tersebut menggunakan pisau, tapi mereka tetap tidak berhasil. “Aneh, padahal pisau saya ini yang paling tajam loh Neng.” Bu Sumi menyerah, dia tidak bisa membukanya. “Ya sudah nggak papa Bu, ini Ibu bisa ambil uang dari dalam tas saya nggak. Buat ganti pisau yang bengkok.” Pintanya pada Bu Sumi. “Nggak usah Neng, cuma pisau saja kok.” “Ya sudah nanti saja Ananta ganti.” Ucapnya seraya tersenyum, lalu bergegas masuk ke dalam pabrik. Ananta mencari Galih di dalam, gadis itu menemukan Galih dan Andi sedang menata letak barang di samping gudang. “Galih!” Serunya pada pria tersebut. Galih menghentikan aktivitasnya, lalu menoleh ke arah Ananta. Andi ikut menoleh, pria itu sangat terkejut melihat Ananta dengan kedua tangan terikat. Tapi dia tidak berani berkomentar sama sekali. Selama ini Ananta bukan atasan yang lunak pada bawahan, hanya kepada Galih saja Ananta bersikap lembut. “Ikut aku ke ruangan kerjaku.” Serunya pada Galih. Galih menepukkan kedua tangannya untuk mengusir debu yang tertempel di sana, Ananta sudah memutar tubuhnya. Bersamaan dengan tepukan tangan Galih, simpul yang mengikat kedua tangan Ananta luruh jatuh ke tanah. Ananta terkejut, gadis itu mendadak membeku di tempatnya berdiri. Galih berjalan ke sana, lalu memungut talinya dari bawah kaki Ananta. Pria itu meletakkan tali tersebut di atas bahu kananya. Melihat tali pada pergelangan Ananta sudah terbuka dia merasa tidak perlu pergi ke ruangan kerja atasannya tersebut. Namun dugaannya salah kaprah! “Kamu mau kemana? Tidak dengar aku suruh ke ruangan kerjaku?!” Bentaknya dengan suara agak keras. Galih tidak menimpali ucapannya, pria itu hanya melangkah pelan mengikuti Ananta menuju ruangan kerja wanita itu. Setibanya di sana, Galih malah berdiri di luar pintu. Pria itu enggan masuk ke dalam. “Masuk!” Perintah Ananta padanya. Begitu Galih masuk ke dalam, Ananta segera menutup pintu. “Aku tidak akan basa-basi lagi, kenapa kamu tidak menerima panggilan telepon dariku?” Tanya wanita itu dengan wajah tidak sabar. “Semalam saya meninggalkannya di kamar.” Sahutnya singkat sambil memutar tubuhnya menoleh ke arah Ananta yang kini sedang berdiri di belakang punggungnya. “Lalu sekarang?” Ananta melipat kedua tangannya, wanita itu masih terlihat kesal. “Masih di kamar.” Ujarnya datar tanpa tekanan. “Kenapa? Apakah sulit sekali menerima telepon dariku? Galih!” “Tidak sama sekali. Sepertinya Bu Ananta terkena pengaruh buruk akibat terlalu sering menggunakan ponsel. Wajah Bu Ananta terlihat tertekan saat saya tidak mengangkat ponsel. Ibu juga terlihat gelisah ketika saya tidak membawa ponsel. Dan..” “Cukup! Kamu! Kamu ini! Ukhhhh!” Ananta mengepalkan kedua tangannya, dia ingin sekali memukuli pria di depannya tersebut. Dia tidak tahan lagi terus menahan kesabarannya. “Ibu sekarang juga terlihat frustasi.” Lanjut Galih Arteja. “Itu karena kamuuu!” Ananta tidak tahan lagi, wanita itu mendekatinya lalu memukulinya menggunakan kepalan tangannya. “Buk, buk, buk, buk.” Galih tidak menangkis atau melawannya. Pria itu hanya tetap berdiri sambil menatap Ananta meluapkan kekesalan hatinya. “Kamu tahu? Aku cemas kamu kenapa-kenapa! Aku takut terjadi sesuatu padamu! Aku gelisah memikirkan mu! Dasar pria datar! Kamu jahat!” Keluh Ananta padanya, Ananta masih meletakkan kepalan kedua tangannya pada dadanya seraya mendongak menatap wajah tenang Galih Arteja. Sinar mata pria tersebut begitu teduh sekali. Galih menarik pelan kedua tangan Ananta dari atas d**a bidangnya. “Sudah selesai?” Tanyanya dengan raut wajah yang sama. “Kamu mau ke mana? Aku belum mengijinkan mu keluar dari dalam ruangan kerjaku!” Teriak Ananta padanya. Galih terpaksa membatalkan niatnya untuk keluar dari dalam ruangan. Pria itu kembali memutar tubuhnya dan menatap Ananta sambil berdiri di dekat daun pintu yang masih tertutup. Ananta segera melangkah menuju kursi meja kerjanya, wanita itu sengaja menghukum Galih untuk tetap berdiri di sana. Beberapa menit berlalu, hingga satu jam, beberapa jam lamanya. Galih masih tegak tanpa bergeser sedikitpun dari tempatnya berdiri. Ananta sudah menyelesaikan pekerjaannya lalu menatap ke arah Galih. “Kakimu tidak sakit? Sama sekali?” Tanyanya pada Galih sambil berdiri dari kursinya lalu melangkah mendekatinya. Galih diam saja, pria itu memang merasakan kedua kakinya sedikit kram. “Kamu boleh pergi!” Ujar Ananta sambil membuka daun pintu untuknya dia mendorong Galih agar menyingkir dari pintu karena tidak bisa membukanya. Galih hampir terjatuh dan menimpa tubuh Ananta jika tidak segera berpegangan pada dinding di sisi kirinya. Ananta sudah bersandar pada daun pintu yang belum sempat dia buka. Dia menatap Galih sedang menggigit bibir bawahnya sendiri, Ananta tahu kaki pria itu pasti sakit sekali karena peredaran darahnya terhenti akibat terlalu lama berdiri. Ananta tanpa pikir panjang segera menyentuh kedua sisi pinggang Galih Arteja. “Anda mau membawaku ke mana?” Berniat menyingkirkan tangan Ananta dari pinggangnya. “Duduklah dulu.” Ananta berniat membantunya agar duduk dulu di sofa. Wanita itu menuntunnya perlahan menuju ke sofa. “Aku akan mengompresnya dengan air hangat.” Ujarnya seraya berdiri dari kursinya, lalu menghubungi office boy untuk membawakan air hangat. Ananta mengangkat kaki Galih ke atas pangkuannya. “Jangan! Nanti akan sembuh sendiri.” Pria itu awalnya kukuh tidak mau. Tapi Ananta tetap memaksanya. “Diam saja! Jangan pikir aku melakukan ini karena perasaan! Tapi anggap saja aku perawat di rumah sakit!” Serunya dengan tatapan gemas. “Akh! Aduh!” Galih meringis seraya memegangi kakinya dengan kedua tangannya, pria itu mengepalkan tangan kanannya. “Sakit sekali?” “Panas.” Sahutnya seraya meniup tungkai kakinya sendiri. Dia segera menjauhkan kakinya setiap Ananta mendekat untuk meletakkan kain kompres di sana. “Sudah, nggak usah.” Ananta mengulum senyum melihat wajah Galih memerah. “Kamu menarik sekali.” Ucap Ananta tiba-tiba. “Aku melakukannya bukan dengan alasan untuk membuatmu tertarik.” Timpal Galih lalu segera berdiri, pria itu menurunkan gulungan celananya ke bawah. “Dasar!” Umpat Ananta padanya. “Angkat teleponku, aku tidak mau mendengar alasan lagi darimu.” Seru Ananta sebelum Galih keluar dari dalam ruangan kerjanya. Galih tidak menjawab teriakan darinya, pria itu sudah keluar dari dalam ruangan Ananta. Hari sudah terik, dia tadi tertahan di dalam ruangan Ananta selama berjam-jam. Para karyawan menatapnya dengan tatapan curiga. Ananta diketahui tak pernah menemui pria dalam waktu yang lama. Gosip yang beredar juga menyatakan kalau Ananta selama ini tidak pernah berpacaran, lantaran menurut Ananta tidak ada yang menarik sama sekali. Belum ada lelaki yang memenuhi kriterianya. Namun kali ini Galih Arteja tertahan di sana lebih dari tiga jam lamanya. Hal itu membuat pekerja pabrik berpikir ada sesuatu antara dirinya dengan Ananta. Terlebih lagi Galih direkrut secara khusus oleh Ananta sendiri saat masuk dan bekerja di sana. Para pekerja mulai menjaga jarak dengannya karena cemas. Mereka takut kalau sampai Galih mengadu pada Ananta jika di antara mereka ada yang tanpa sengaja melakukan kesalahan padanya. Galih menuruti permintaan Ananta, pria itu meletakkan ponselnya pada saku bajunya meskipun tidak ada yang pernah meneleponnya sama sekali selama seharian penuh. Galih hanya mengeluarkan dari saku bajunya saat pria itu sedang berada di dalam kamar mandi atau sedang bermeditasi. Malam itu Ananta menyerahkan bayi untuk seserahan pada Nyai Ratih. Wanita itu melakukan upacara khusus di dalam kediamannya untuk memanggil guru-nya tersebut. Ananta merasa lega karena Nyai Ratih tidak menegurnya sama sekali. Malahan gurunya tersebut hanya mengambil bayi itu lalu segera pergi tanpa berkata apa pun padanya sama sekali. “Guru tidak marah kan padaku?” Ananta bertanya-tanya dalam hatinya sendiri. Dia merasa cemas kalau Nyai Ratih menghukumnya dengan hukuman yang lebih berat. Setiap muncul di depan Ananta, Nyai Ratih tidak pernah menunjukkan wajah cantiknya. Wanita itu selalu berpenampilan sebagai nenek-nenek di depan murid yang menuntut ilmu padanya. Nyai Ratih membawa bayi tersebut kembali ke kediamannya. Wanita itu mempersembahkan bayi itu untuk jin dan para bala tentara mahluk halus yang selama ini membantunya, Nyai ratih menyalakan dupa serta menaburkan seribu bunga untuk menyambut kedatangan mereka. Angin bertiup kencang sekali. Beberapa detik kemudian bayi tersebut dia angkat setinggi kepala. Bayi itu menangis keras, menjerit kesakitan lalu diam dan sudah tidak bernyawa. Bayi yang sudah tidak bernyawa tersebut akan digunakan Nyai Ratih untuk memenuhi dahaganya hari itu. Di sisi lain, Galih sedang duduk di dalam kamarnya. Malam itu dia bisa melihat semuanya, para mahluk halus yang sedang berpesta pora dalam alam kegelapan di kediaman Nyai Ratih. Hanya saja Galih masih samar saat melihat seorang wanita yang menjadi abdi wanita penganut ilmu hitam tersebut. Galih belum mengetahui kalau itu adalah Ananta Kurnia Sari. “Siapa dia? Jadi selama ini Nyai Ratih tidak berburu sendiri. Pantas saja aku tidak bisa mengetahui pergerakannya belakangan ini.” Gumam Galih Arteja pada dirinya sendiri. Pria itu segera bangkit berdiri lalu berjalan keluar untuk menatap ke arah langit. Malam sudah sangat larut, dan dia enggan memejamkan kelopak matanya. Bintang nampak bertaburan bak permadani menghias angkasa. Tatapan mata pria itu lepas ke angkasa. Samar-samar beberapa gagak hitam terbang di atas kepalanya lalu menuju ke arah rerimbunan pohon yang tumbuh di luar pagar pabrik. Malam ini dia juga mendapatkan kabar dari Sang Guru, kalau Meila sudah mulai berlatih dengan kedua adiknya di kediaman Ki Sarwo sebagai bekal untuk melindungi dirinya sendiri. Satu hari, dua hari Ananta merasa lega melihat Galih membawa ponselnya. Tiga hari berikutnya wanita itu kembali marah karena teleponnya tidak diangkat lagi. Ananta kembali mendatanginya saat datang ke pabrik. “Kamu tidak membawanya lagi?” Galih segera mengeluarkan ponsel tersebut dari saku bajunya. Dia menyerahkan benda itu pada Ananta. Ananta menekan tombolnya, tapi ponsel tersebut tidak bisa menyala. “Ini kenapa tidak bisa menyala? Kamu menjatuhkannya ke dalam air?” Galih segera menggelengkan kepalanya. “Menjatuhkannya ke lantai?” Ananta menatap cermat tidak ada yang retak, lalu kembali melihat Galih menggelengkan kepala. “Lalu apa yang kamu lakukan pada benda ini selama tiga hari?” “Hanya mengantonginya seperti permintaanmu.” “Baterai-nya! Astaga! Galih! Kalau kamu tekan ini tidak menyala, kamu tancapkan charger-nya ini di sini dan ini ke sini!” Menunjukkan cara mencharger ponsel. “Gal? Galih?” Ananta menoleh ke belakang punggungnya, tapi pria itu sudah pergi keluar dari dalam kamarnya. Ananta meletakkan ponsel tersebut di atas meja, lalu segera bergegas keluar dari dalam kamar Galih. Sampai di luar, dia mencari pria itu ke sekelilingnya, namun tidak menemukannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN