Terkejut, marah, dan sebersit iba bercampur menjadi satu dalam sorot mata Aslan saat menatap wanita di hadapannya. Namun wajahnya segera mengeras setelah ia berhasil menepis semua perasaan yang muncul, menyisakan satu perasaan, marah. “Kenapa kamu membawanya ke sini, Pelatih?” teriak Aslan marah. Ia tahu bahwa pelatihnyalah yang memberi akses pada wanita di hadapannya agar bisa bertemu dengannya. “Kalian berdua, bicaralah. Aku tahu ada yang belum selesai di antara kalian.” Pelatih Aslan berbicara dengan nada tenang, mencoba meyakinkan. Aslan masih menatap wanita di depannya lekat, matanya memicing, amarahnya mendidihkan darahnya. Ia harus mengepalkan tangannya kuat-kuat agar tidak meninju wanita itu. “Aslan.” Wanita itu berbicara lirih, melangkah mendekat. “Beri aku kesem–” “Tidak ada