“Turunin! Turunin aku, Om!” Audri meronta-ronta di bahu Aslan.
Ya, benar. Di bahu Aslan. Pria bertubuh tinggi besar itu memanggul tubuh mungil Audri di atas bahunya sejak dari paviliun neneknya karena Audri menolak untuk pulang.
“Berhenti bergerak atau kamu akan jatuh!” gertak Aslan galak sambil terus berjalan menuju apartemennya dengan Audri di bahunya.
“Makanya turunin!” seru Audri keras kepala. Ia memukul-mukul punggung Aslan agar pria itu mau menurunkannya. Namun tentu saja pukulan dari kepalan tangan mungilnya itu tidak berarti apa-apa di punggung keras dan bidang milik Aslan.
“Nggak akan aku turunkan sebelum masuk ke rumah,” balas Aslan tak kalah keras kepala.
Audri masih meronta-meronta, namun cengkraman tangan Aslan di tubuhnya pun cukup erat hingga membuat Audri tetap tak bisa bergerak ke mana pun selain pasrah dipanggul di atas bahunya. Barulah ketika mereka masuk ke dalam apartemen, Aslan mengunci pintu apartemen, lalu pria itu segera membawa Audri ke sofa ruang tengah dan nyaris melemparkannya ke sana.
Begitu Audri tidur terlentang di atas sofa, Aslan segera mengurung tubuh mungil itu. Ia meletakkan kedua tangannya di samping kepala Audri sementara ia sendiri duduk tepat di sebelah pinggul sang istri.
“Kenapa nggak pamit?” tanyanya tajam dan dingin.
“Pamit apa? Kan udah pamit kalau mau ke kampus tadi?” Audri menyahut dengan tatapan tak kalah tajam. Sama sekali tak peduli meski jelas-jelas ia sedang terjebak di antara sofa dan tubuh besar Aslan.
“Pulang sama Arkan, masak bareng dia, bahkan ketemu nenek juga sama dia? Dan kamu sama sekali nggak pamit?” Aslan melotot tajam.
Ia terkejut saat melihat kemarahan yang begitu nyata dalam tatapan Aslan. Namun bukan Audri jika langsung kicep hanya ditatap sedemikian tajam.
“Om juga nggak nyariin aku, kan? Nggak nanya kenapa belum pulang, biasanya juga nyariin kayak anak ayam hilang kalau nggak kelihatan aku sebentar doang.”
Setelah mengucapkan sendiri kalimat itu, Audri baru sadar bahwa ia menunggu-nunggu pesan dan telepon dari Aslan.
“Itu karena aku sibuk, bodoh!” sembur Aslan kemdian.
“Berhenti panggil aku bodoh!” Audri berseru kesal.
“Apa?!” Aslan tertegun.
“Om itu bisa nggak sih panggil aku yang bener. Panggil aku ‘Audri’ kek, ‘istriku’ kek, ‘sayang’ juga boleh.”
Wajah Aslan semakin melongo tak percaya. “Apa kamu bilang?”
“Telinga Om masih berfungsi dengan baik kan? Manggil orang tuh yang baik dong, masa istri sendiri dibodoh-bodohin kayak gitu.” Audri mendengus, membuang muka.
Aslan segera menangkup wajah Audri, membawanya kembali menatapnya. “Kamu mau dipanggil apa?” tanyanya mengonfirmasi.
“Audri.”
“Setelahnya.”
“Apa sih? Bebas deh, pokoknya jangan dipanggil pake panggilan yang jelek-jelek.” Audri mencoba mengalihkan kembali pandangannya karena kini posisi Aslan amat dekat dengannya.
Namun tangan Aslan yang menangkup wajahnya terus menahan dan memaksa Audri untuk balas menatap sang pria.
Aslan menyeringai saat ia mendapati wajah Audri sedikit merona merah. Kemudian ia menunduk semakin dekat ke telinga Audri, nafasnya yang hangat menyapu kulit Audri, membuat gadis itu sedikit meremang.
“Mau yang mana, Audri?” bisiknya sensual, sengaja menggoda istri kecilnya. “Istriku?” lirih Aslan sambil mencium rahang Audri lembut.
Audri menahan nafas seketika, tubuhnya terasa semakin merinding. Kedua tangannya yang mencengkram baju Aslan pun semakin mengerat.
“Atau… sayang?” lanjut Aslan, kali ini meninggalkan satu kecupan ringan di bawah telinga Audri.
Audri menghela nafas berat dan sedikit gemetar. Tubuhnya terasa memanas hanya karena gerakan kecil dan halus yang dilakukan sang suami. Ia bahkan tak bisa membalas perkataan Aslan yang biasanya selalu bisa ia lakukan.
Mendengar suara nafas Audri yang semakin berat, Aslan seperti dihujani hasrat yang tak terbendung tiba-tiba. Ia kembali menempelkan bibirnya ke leher Audri, menelusuri leher jenjang dan kulit lembut sang istri dengan bibirnya. Padahal, tadinya ia hanya ingin menggoda Audri, tapi kini justru dirinyalah yang tergoda.
“Ah, Om….” Audri menggigit bibirnya ketika Aslan tiba di salah satu titik sensitifnya. Cengkramannya di baju Aslan semakin erat.
Sial, erangan lembut itu justru menjadi seperti bensin bagi Aslan. Mengobarkan nyala api yang tadinya hanyalah setitik bara.
Tangan Aslan yang berada di sisi kepala Audri berpindah ke pinggang sang istri, mencengkram lembut pinggang ramping Audri sementara bibirnya terus menelusuri di sepanjang tulang selangka dan bahu sang istri.
Semakin jauh bibir itu berkelana di tubuh sang istri, Audri sendiri semakin kehilangan akal sehatnya. Kedua tangannya yang mencengkram baju Aslan telah berpindah melingkari bahu sang pria. Desahan lembutnya memenuhi ruang tengah apartemen itu.
Tepat ketika bibir Aslan turun semakin jauh ke d**a Audri, pria itu semakin kesulitan menahan diri ketika melihat belahan d**a sang istri. Ia segera membenamkan wajahnya di sana.
“Audri….” Suaranya bergetar karena hasrat yang membanjir tiba-tiba.
“Ya?”
Tanpa banyak bicara, Aslan segera berdiri dan mengangkat tubuh Audri, menggendongnya ala bridal dan membawanya ke kamarnya sendiri. Audri hanya bisa berpegangan pada leher Aslan untuk menahan tubuhnya sendiri.
Begitu tiba di kamar utama di apartemen itu, Aslan kembali melancarkan serangannya. Menciumi leher, bahu, d**a, apapun dari tubuh Audri yang tidak tertutupi pakaian. Saat pergerakannya mulai terhalang pakaian Audri, jemarinya mulai bergerak naik, menyentuh kancing baju Audri, memainkannya sesaat sebelum akhirnya membukanya perlahan.
Sementara Audri sendiri seolah berperang dengan akal sehatnya yang semakin lama semakin menyusut. Membuatnya tak mampu menahan desahan dan erangannya sendiri. Membuatnya tak menyadari bahwa kini tubuh bagian atasnya semakin lama semakin terekspos pada sang suami.
Barulah ketika tangan hangat dan besar milik Aslan menyentuh langsung kulit lembut Audri, gadis itu sedikit terlonjak kaget.
“Om?”
Panggilan halus itu membuat Aslan mendongak, menatap Audri lekat. Ia mencari penolakan di sana, namun yang ia temukan hanyalah keterkejutan dan kebingungan.
Tangan Aslan terus bergerak pelan dari pinggang polos Audri hingga ke tulang rusuknya, jempolnya membelai lembut kulit di bawah dadanya.
“Kenapa?” Suara Aslan pun terdengar bergetar dan serak. Matanya terus terkunci pada wajah Audri yang merona. Ia tak berani menurunkan pandangannya pada tubuh Audri yang terekspos sebagian. Khawatir akal sehatnya menghilang begitu saja dan menerkam sang istri dengan kasar.
“Panas,” lirih Audri pelan.
Aslan terkekeh pelan. Ia menunduk, mendekatkan bibirnya pada bibir Audri yang sedikit terbuka karena terengah. “Mau didinginkan?” godanya.
Audri menelan ludah dan mengangguk.
Anggukan lemah itu sudah cukup untuk meledakkan hasrat Aslan yang sudah tertahan sejak tadi. Pria itu segera memangkas jarak bibir mereka dan mulai melumat bibir lembut itu. Semakin lama, ciumannya semakin rakus dan agresif sementara tangannya terus bergerak menyusuri setiap inci tubuh Audri yang terbuka sebagian.
Audri yang minim pengalaman hanya bisa mencoba mengikuti ritme permainan sang suami. Nafasnya terengah karena semakin lama, tubuhnya semakin memanas dan ritme ciuman mereka pun semakin liar.
Pikiran Aslan semakin berkabut saat Audri menggeliat pelan di bawah tubuhnya. Celananya semakin terasa menyesakkan saat ini, ia sudah tak tahan lagi.
“Audri…,” lirihnya serak.
Bukannya menjawab, Audri justru mendesah pelan yang membuat Aslan harus menggertakkan giginya agar mampu menahan diri.
“Jangan begitu,” bisik Aslan serak. “Jangan mendesah begitu. Aku takut….”
Audri tersentak tiba-tiba. “Takut apa?”
Cengkraman tangan Aslan di pinggangnya terasa semakin erat, sampai pada titik akan menyakiti Audri. Namun sebelum sampai pada titik itu, Aslan tiba-tiba melonggarkan cengkramannya dan menghela nafas panjang, mengubur wajahnya di d**a Audri.
“Takut apa, Om?” kejar Audri penasaran.
“Aku takut menyakitimu, Audri. Aku… sekali aku memulai, aku tidak akan berhenti. Dan mungkin… mungkin aku akan berbuat kasar padamu. Jadi, kalau kamu belum siap, jangan mendesah begitu. Jangan membuatku semakin sulit menahan diri.”
Audri terdiam seketika. Perasaannya campur aduk setelah mendengar ucapan Aslan yang terdengar lemah dan rapuh. Amat berbeda dengan Aslan yang biasanya begitu percaya diri dan beringas.
Ada apa ini?
Untuk beberapa saat, sepasang suami istri itu hanya saling berpelukan. Audri melingkarkan lengannya di bahu Aslan, membelai rambut Aslan lembut. Sementara Aslan terus mengubur wajahnya di d**a Audri, menghirup dalam-dalam aroma tubuh sang istri yang entah bagaimana amat candu baginya.
Tepat ketika Audri telah membuat keputusan soal apa yang akan mereka lakukan selanjutnya, ponsel Aslan justru berdering nyaring.
“Sial!” Aslan mengumpat pelan. Ia juga sedang menikmati posisi mereka saat ini. “Siapa sih?”
Ia buru-buru menarik diri dari tubuh Audri, menyambar ponsel di atas nakas dan mendapati nomor paviliun neneknya yang menelpon.
Kening Aslan berkerut bingung.
“Kenapa?” tanya Audri penasaran. Ia bangkit dari posisinya, mengintip ponsel Aslan. “Coba angkat,” pintanya.
Aslan mengangguk dan segera menjawab telepon itu, kembali mendorong tubuh Audri ke atas kasur dan ia pun merebahkan tubuhnya sendiri di atas tubuh sang istri, kembali ke posisi tadi.
“Mas Aslan, ini Kayla.” Itu suara perawat khusus nenek Aslan.
“Ya, cepat bicara,” sahut Aslan dingin.
“Nenek mau bertemu dengan istri Mas Aslan.”