Bab 9. Dua Mobil Mencurigakan

1090 Kata
“Om, hari ini aku pulang malem ke rumah, ya? Aku mau ke kampus dulu ada urusan.” Audri berpamitan pada Aslan yang sedang sibuk di ruang kerjanya. Pria itu bahkan sama sekali tak menatap Audri, tatapannya fokus pada hamparan sketsa di atas meja. “Hm….” Hanya itulah yang keluar dari mulut Aslan. Audri mendengus. “Ya udah , pokoknya aku udah bilang sama Om. Makan malam cari sendiri, aku mau makan di kampus,” lanjutnya. Lagi-lagi Aslan hanya menjawab dengan cara yang sama, membuat Audri semakin kesal. Akhirnya ia keluar dari ruangan suaminya itu sambil mengomel dan segera memesan taksi online. Namun sebelum sempat menekan tombol ‘order’, sebuah telepon dari Naura sudah masuk ke ponsel Audri. “Ada apa, Ra?” sapa Audri cepat. Ia menelepon sambil berjalan keluar dari gedung kantor. “Lo jadi mau ke kampus? Ini gue di depan kantor suami lo.” “Oh, lo jemput gue? Oke, oke, ini gue keluar sekarang.” Audri bergegas berlari kecil melewati lobi gedung, berniat untuk tidak membuat Naura menunggu terlalu lama. Benar saja, satu-satunya teman dekat yang ia miliki itu sudah menunggu di sana dengan motor bebeknya. Audri tertawa. “Lo ngapain jemput gue segala?” “Gue habis nganter adek gue ke daerah deket sini, jadi sekalian deh. Pas banget gue juga bawa helm lebih. Nih.” Naura menyodorkan sebuah helm pada Audri. Audri segera mengambilnya dan mulai mengenakannya, duduk di belakang Naura dan membiarkan sahabatnya itu membawa mereka kembali ke kampus. “Lo jadi nggak mau ikutan magang di Angkasa?” Audri memulai percakapan, bertanya dengan sedikit berteriak. “Nggak tahu, gue belum dapet yang cocok lagi sih.” Naura balas berteriak. “Ya udah sama gue aja di Angkasa. Seru-seru kok seniornya.” Audri mulai melancarkan serangan persuasifnya. “Seriusan lo?” “Iya, serius. Mumpung gue pake orang dalem nih, bilang aja kalau mau dibantu.” Audri terkekeh pelan dengan kata-katanya sendiri. Naura tertawa dan mengangguk. “Nanti gue kasih tahu deh kalau gue jadi mau ke sana bareng lo.” “Sip. Kabari cepet, ya?” Naura mengacungkan jempol pada Audri dan terus menyetir motornya kembali ke kampus. Tanpa mereka sadari, ada dua buah sedan berwarna hitam yang sejak tadi mengikuti mereka sejak Audri keluar dari kantor Aslan. Dua sedan itu tampak berbaur dengan kendaraan lain. Sama sekali tidak kentara bahwa mereka sedang mengikuti motor Naura. Apalagi jalanan ibukota yang ramai membuat Naura tidak sadar saat sedan itu sesekali mendesak motornya. Hal demikian memang kerap terjadi. “Rame banget, ya?” gumam Audri, sedikit melirik ke arah sedan hitam yang moncongnya tadi sempat sangat dekat dengan motor Naura. “Iyalah, hampir jam pulang kerja ini.” Naura berkomentar, sama sekali tak menyadari gelagat dua sedan itu yang terlihat selalu mencoba mendekati mereka. Audri mulai menyadari gelagat dua sedan hitam itu yang terus mendesak mereka, bahkan beberapa kali terlihat dengan sengaja hampir menabrak sisi belakang motor Naura. Ia mengernyit, menepuk pundak Naura cepat saat mereka mulai memasuki area kampus. “Nau, belok di sini aja. Masuk lewat sini aja,” ujar Audri cepat. “Heh? Tapi ini kampus pasca, kita harus muter jauh dari sini.” “Nggak apa-apa, cepet masuk!” Naura segera membanting setir motornya ke kiri, memasuki gerbang kampus pasca sarjana dan menyusuri jalanannya yang dinaungi pohon-pohon besar. Audri menoleh ke belakang, dua sedan itu tidak akan mungkin masuk ke sini jika kecurigaannya benar. Dan benar saja, dua sedan hitam itu terus melaju melewati jalan di depan kampusnya. Sayangnya, ia tak bisa melihat wajah pengemudi dua sedan itu. *** Pukul tujuh malam, Audri akhirnya keluar dari kampus. Naura sudah pulang sejak tadi karena harus menjemput adiknya. Gadis mungil itu mengeluarkan ponselnya, memeriksa mungkin ada pesan dari Aslan namun ternyata tidak ada. “Ck, kayaknya seneng banget aku nggak ada di rumah. Nggak nyariin.” Tanpa sadar, Audri menggerutu karena tak ada pesan dari Aslan sama sekali. Padahal biasanya pria itu akan mencarinya jika tak melihatnya selama beberapa menit saja. Tapi entah mengapa hari ini Aslan terlihat fokus dengan hal lain dan agak mengabaikan Audri. Audri duduk di kursi dekat gerbang kampusnya, mulai memesan taksi online untuk kembali ke apartemen Aslan. Namun tiba-tiba ekor matanya menangkap dua sedan hitam itu sedang terparkir di dekat halte yang berada tak jauh dari kampusnya. Tanpa sadar, nafas Audri tertahan. Pikiran buruk mulai menghantuinya saat ini. Namun, sepertinya nasib baik sedang berpihak padanya saat ini, karena saat ia mulai kebingungan harus melakukan apa, sebuah mobil berwarna putih berhenti tepat di depannya. Kaca jendela mobil itu terbuka, menampilkan sosok Arkan yang tersenyum padanya. Membuat kedua bola mata Audri membelalak seketika. “Mau pulang?” sapa Arkan ramah. “Iya. Om– eh, Pak? Aduh… manggil apa sih?” Arkan tertawa. “Dibilangin manggil nama aja. Nunggu jemputan atau gimana?” “Tadinya mau pesen taksi online….” Audri menggantung kalimatnya dan melirik dua mobil sedan yang masih tetap bertahan di tempat. “Tapi… boleh nebeng nggak?” Arkan tampak cukup terkejut. Sebenarnya ia memang ingin menawarkan untuk mengantar Audri, tapi karena apartemen Aslan lebih jauh daripada rumahnya, jadi ia urung melakukannya. Namun karena kini Audri yang menawarkan diri, ia pun tak mungkin menolak begitu saja. “Yah, boleh sih. Tapi nggak apa-apa kalau mampir ke rumah sebentar?” “Oh, nggak apa-apa kok.” Audri mengangguk lega. Jika dugaannya benar, dua mobil sedan itu tidak akan berani mendekati mobil Arkan. “Aku masuk, ya?” Arkan mengangguk, segera membukakan pintu penumpang di sebelahnya dari dalam dan membiarkan Audri masuk. Dalam sekejap, mobil BMW berwarna putih itu segera meluncur di jalanan ibukota. Audri melirik pada dua mobil sedan hitam di belakang mereka. Benar saja, dua mobil itu segera putar balik begitu mobil Arkan melaju ke arah yang berlawanan. Mau tak mau, Audri menghela nafas lega. *** “Apa kalian bilang? Kalian bahkan tidak bisa mendekati anak kecil itu?” Panca berseru marah. Kesal karena rencananya gagal total. “Maafkan kami, Pak. Tapi jalanan Jakarta sedang macet waktu dia keluar dari kantor suaminya. Dan sepulang dari kampus, dia dijemput suaminya.” Salah seorang dari sopir mobil sedan itu melaporkan. “Apa? Dia bahkan dijemput suaminya?” Pria itu mengangguk mantap. Panca menggeram kesal setelah melihat anggukan itu. Ia sungguh tak menyangka Audri bisa menaklukkan Aslan, meski tentu saja dua sopir itu keliru mengira Arkan sebagai Aslan. Meski begitu, Panca tetap tidak akan pernah berhenti. Tidak sebelum ia memastikan posisinya dan keluarganya sudah aman. “Kalau begitu, awasi terus anak itu. Dan segera habisi begitu ada kesempatan. Ingat, lakukan seolah itu seperti kecelakaan. Kalian mengerti?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN