"Sebentar saya ambilkan." Aku melangkah cepat keluar kamar dan menuju dapur. Bu Atun kenapa lupa pula menaruh sendok di piring.
Hendri makan dengan menggunakan tangan kirinya. Aku menunggu pria itu hingga selesai makan. Tapi yang membuatku jengkel, dia makan sambil melihat layar ponselnya. Makan satu suap meletakkan sendok, lalu memegang ponsel. Kapan mau selesai, sedangkan jam terus berputar dan aku harus segera berangkat ke rumah sakit.
"Maaf, bisakah agak cepat makannya. Saya harus segera berangkat ke rumah sakit." Hati-hati aku bicara pada lelaki itu. Bagaimanapun aku di bayar untuk merawatnya, harus sabar dan tidak boleh membuatnya tersinggung.
"Kenapa harus menungguku? Kalau mau berangkat sekarang, pergi saja," jawabnya angkuh.
"Anda harus minum obat." Aku masih memegang kantung plastik berisi obatnya.
"Tinggalkan saja. Aku bisa meminumnya sendiri."
Bagaimana jika dia tidak meminumnya? Kenapa juga aku harus cemas. Toh, itu badan dia sendiri, sakit juga di rasakaannya sendiri. Apa dia mau sakit berkepanjangan? Tentu tidak bukan?
Namun laki-laki ini berbeda. Dia seperti tidak peduli dengan apapun, bahkan untuk tubuhnya sendiri.
Jadi kenapa pula aku yang harus khawatir?
Aku hanya merasa bertanggung jawab sebagai orang yang ditugaskan untuk merawatnya hingga benar-benar pulih. Kedua orang tuanya juga sangat baik dan sopan padaku. Makanya aku tidak bisa melepaskan tanggung jawabku begitu saja.
Ketika ia masih sibuk dengan ponselnya, entah chat dengan siapa. Kekasih atau pun siapa itu aku tak peduli. Kuambil paksa ponsel dari tangan kirinya dan kuletakan benda itu di atas meja. Di telapak tangan besarnya kutaruh empat jenis pil. "Anda minum ini dulu baru melanjutkan makan lagi," ujarku memerintah.
Hendri tidak melawan meski menatapku tajam. Di masukkannya pil itu ke dalam mulutnya. Namun tidak lekas-lekas minum air. Dibiarkannya obat itu di kecap indera perasanya. Apa tidak pahit? Aku saja yang telah terbiasa dengan berbagai jenis obat, merasa mual ingin muntah melihatnya menyimpan obat itu seperti permen di mulutnya.
Kuambilkan gelas air putih yang berada di dekat piringnya. "Minumlah!" Suaraku agak lembut. Anggap saja aku berhadapan dengan anak kecil yang bandelnya minta ampun.
Dia minum juga tapi masih dengan menatapku lekat. Jantungku berdebar-debar dan aku serba salah dibuatnya. Aku tidak bisa menyimpulkan, apakah dia sedang marah atau mempermainkan agar aku jengkel, entahlah aku tak tahu. Usianya tak lagi muda, kurasa bukan waktunya untuk bermain-main seperti ini.
"Makanlah lagi. Makan yang cukup bisa mempercepat proses pemulihan, Anda. Luka yang Anda alami mungkin memang bisa disembuhkan oleh obat. Tapi nutrisi yang cukup dari makanan yang Anda konsumsi juga berperan besar dalam proses penyembuhan dan pemulihan." Aku berkata panjang lebar sambil merapatkan wadah obat. Terserah dia mendengarkan dan mengingatnya atau tidak.
"Maaf, saya harus berangkat ke rumah sakit sekarang," kataku sambil berdiri. Membawa obat itu keluar kamar untuk kusimpan di laci bufet yang ada di luar kamarnya.
"Embun." Untuk pertama kalinya pria itu memanggil namaku. Langkahku yang hampir mendekati pintu terhenti. Aku menoleh.
"Jangan sekasar ini jika merawat pasienmu di rumah sakit. Bisa-bisa kamu di pecat dari pekerjaanmu," ucapnya pelan.
Aku tersenyum. "Nggak akan. Karena pasienku tidak ada yang sedegil Anda." Setelah menjawab aku membuka pintu kamar dan pergi dari sana.
Sepuluh tahun lebih bekerja, baru kali ini aku bergaduh dengan seorang pasien. Kenapa dia begitu menjengkelkan? Luka yang sudah mulai membaik itu pula kenapa tadi berdarah. Sepanjang menuruni tangga aku mengomel dalam hati.
"Bu Atun, selama saya pulang pagi tadi. Apa yang dilakukan Mas Hendri? Kenapa tangannya bisa berdarah lagi?" tanyaku setelah mendekati wanita yang sedang mencuci perkakas dapur.
Wanita itu menggeleng. "Saya nggak tahu, Mbak. Sejak kemarin Mas Hendri nggak pernah keluar kamar."
"Ya sudah, Bu Atun. Kalau begitu saya tinggal ke rumah sakit ya. Mas Hedri sudah makan dan minum obatnya tadi."
"Iya, Mbak. Hati-hati, ya!"
"Makasih, Bu."
Ketika aku sudah memakai helm, sebuah mobil memasuki halaman dan berhenti di depan garasi. Bu Salwa turun menghampiriku. "Kamu mau ke rumah sakit?"
"Iya, Bu."
"Jangan lupa nanti sepulang dari rumah sakit kamu datang lagi ke sini ya. Pokoknya sampai Hendriko sembuh. Biar nanti malam di jemput sama Pak Wahab atau Fadel."
Fadel? Siapa dia? Mungkin bodyguard yang selalu bersama pasienku si kulkas dua pintu.
Aku mengangguk. "Ya, Bu."
* * *
"Kamu sudah makan?" tanya Yani menghampiriku yang baru selesai memberikan obat pada pasien.
Jika Yani tidak bertanya, aku pun hampir lupa kalau belum makan apapun siang ini. Begitulah, aku sering abai makan dengan teratur setelah perceraian itu.
"Belum."
"Suka benget kamu telat makan. Sakit maag baru tahu kamu nanti. Nih, aku bawakan nasi kuning dari rumah. Makanlah dulu, sudah jam berapa ini." Yani menyodorkan satu Tupperware nasi kuning lengkap dengan lauknya. Ibunya Yani memang sering menerima pesanan nasi kotak dan kue. Makanya dia sering sekali membawakan aku makanan. Sebenarnya di motor tadi juga masih tergantung nasi yang dibelikan oleh Mas Fariq. Tapi biar saja, biar basi seperti hubungan kami saat ini.
Yani membiarkan aku makan, dua orang perawat yang satu shif dengan kami juga tak mengeluh. Alhamdulillah, aku punya rekan satu shif di ruangan ini semuanya sangat baik. Usia kami hampir sama semua. Dan ketiga orang itu juga sudah menikah. Hanya aku yang janda.
Kegiatan kami dalam ruangan ini sudah terkonsep dan akan berulang dengan pekerjaan yang sama. Kami berusaha tetap nyaman dengan rutinitas yang membuat bosan. Mereka bertiga membutuhkan pekerjaan ini untuk menopang perekonomian keluarga, untuk membantu suami mencari nafkah.
Sedangkan aku selain butuh untuk biaya hidup sendiri juga karena untuk mencari hiburan di tengah kandasnya rumah tanggaku. Bekerja membuatku terhibur dari rasa sakit setelah perpisahan itu.
Untuk menghindari rasa bosan dan jenuh, kami berusaha tetap mencintai pekerjaan ini dengan ketekunan, keuletan, dan kesabaran tentunya. Apalagi jika bertemu dan berhadapan dengan pasien seperti Hendri. Benar-benar harus ekstra sabar.
"Embun, untuk pasien kamar VIP-5 ada obat yang akan di ganti. Tadi dokter Yusuf sudah memberitahu, soalnya pasien itu ada alergi salah satu obat." Yani memberitahuku.
Aku hanya mengangguk. Sebab waktu pergantian shift tadi salah seorang perawat yang dinas pagi sudah memberitahuku. Dia juga memberitahu kalau ada pasien baru rawat inap di kamar VIP-8. Kebetulan aku jaga di lantai dua unit rawat inap untuk kamar VIP.
"Selamat malam, Suster. Infsus untuk pasien di kamar nomer delapan sudah mau habis," seorang wanita setengah baya memberitahu kami. Tanpa menunggu yang lain, aku lekas berdiri. Dan Yani sudah menyodorkan jenis infus yang sesuai dengan catatan pasien padaku. Ini infus kedua untuk pasien.
Bergegas aku ke kamar VIP nomer delapan. Aku tidak sampai mengetuk pintu karena pintu kamar sedikit terbuka. Aku tersenyum pada pasien dan tiga orang yang ada di dalam. Dan satu di antara dua pria itu aku mengenalnya. Andre. Apa hubungan laki-laki ini dengan pasien yang sedang menjalani perawatan karena typus.
Setelah selesai mengganti infus dan memastikan cairan itu mengalir dengan lancar, aku segera keluar. Tapi baru beberapa langkah meninggalkan tempat itu, ada yang memanggilku. "Tunggu!"
Andre berjalan menghampiriku. "Kamu bekerja di sini?" tanya laki-laki itu.
"Iya," jawabku singkat.
"Bagaimana perkembangan lukanya Hendri?" tanyanya dengan nada dingin.
"Alhamdulillah." Itu saja jawabanku. Aku tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi di antara kedua pria itu. Apakah pria yang berdiri di sampingku ini yang di maksud Hendri anak kesayangan papanya? Jika mereka bersaudara kenapa harus bermusuhan. Sepertinya laki-laki ini tidak tinggal sekalian di rumah besar itu.
"Maaf, saya permisi dulu," pamitku meninggalkan pria yang masih berdiri dengan kedua tangan di masukkan dalam saku celananya.