Belum juga aku bisa melupakan kandasnya pernikahanku, sekarang aku berhadapan dengan rumitnya hubungan sebuah keluarga. Siapa juga yang memberitahu keluarga Pak Darmawan kalau aku seorang perawat? Tiba-tiba saja beliau menyuruh orang untuk datang ke kosanku.
Jam sepuluh kurang lima belas menit tiga orang perawat yang shift malam sudah datang. Yani memberitahu tentang catatan pasien baru. Sedangkan aku minta izin untuk Salat Isya di mushola.
Tepat jam sepuluh malam, kami pulang. Yani di jemput suaminya, sementara aku dan dua rekan kami pulang sendiri naik motor. Namun aku mampir sebentar ke kantin untuk membeli roti. Jika nanti malam lapar tinggal makan roti sama bikin teh. Rencanaku setelah melihat kondisi Hendri dan memastikan dia telah minum obat aku akan langsung pulang.
Ketika aku menenteng bungkusan melewati lorong rumah sakit, seperti ada yang mengikutiku di belakang. Aku menoleh. Andre. Tapi laki-laki itu tidak bicara apa-apa selain terus melangkah di belakangku.
Saat aku hendak berbelok ke tempat parkir motor, aku sempatkan menoleh dan mengangguk sejenak padanya. Bagaimanapun juga dia adalah putra dari pria yang membayarku.
"Kamu naik motor?" tanya Andre.
"Iya," jawabku sopan.
"Kamu tinggal di mana?"
"Nggak jauh dari sini, Mas. Maaf saya permisi dulu."
"Tunggu! Boleh tahu siapa namamu?"
"Embun."
"Oke, Embun."
Aku tersenyum lantas bergegas ke arah motor dan cepat-cepat memakai helm. Lelaki itu sesekali masih memandang ke arahku meski sudah sampai di dekat mobilnya.
Malam ini aku tidak pulang ke rumah dulu, melainkan langsung ke rumah Pak Darmawan. Daripada nanti aku bolak-balik, dijemput pula oleh mobil mewah itu, hanya akan membuat orang-orang curiga. Meski aku tak peduli apapun ucapan orang, menghindari fitnah juga kewajiban.
Bu Atun membukakan pintu samping untukku. Suasana rumah sudah sepi. Pak Darmawan dan Bu Salwa juga tidak tampak di sana, mungkin mereka sudah tidur.
"Mas Hendri sudah makan, Bu," tanyaku berhenti di ruang makan.
"Sudah, Mbak."
"Biar saya lihat ke atas dulu. Dia harus minum obatnya."
"Mari saya antar."
Kami berdua menaiki tangga. Kuketuk pintu kamar tiga kali setelah mengambil obat yang tadi kusimpan di laci.
"Masuklah," suara bariton terdengar dari dalam.
Setelah membuka pintu aku melihat lelaki itu sedang berbaring di ranjang. Aku mengambilkan air minum di gelas dan dia sudah bisa bangun dan duduk sendiri.
"Sampai kapan aku minum obat ini?" tanya Hendri.
"Sampai luka Anda benar-benar pulih. Waktu pengambilan peluru kemarin di lakukan dengan alat seadanya. Jadi biar nggak terjadi infeksi sebaiknya Anda minum obat sampai luka ini sembuh total."
Hendri minum obat yang kuletakkan di telapak tangannya. Perbannya masih rapi karena tadi siang baru ku ganti. "Besok pagi saja saya ganti perbannya. Saya mau pulang."
Lelaki itu hanya memandangku. Namun diam tanpa bicara. Aku segera membereskan sisa obat dan membawa gelas keluar kamar. Dia sudah cukup sehat untuk aku tinggalkan. Tak perlu lagi menjaganya malam ini.
Aku dan Bu Atun keluar kamar. Obat kusimpan di tempat tadi.
"Mbak Embun nggak menginap malam ini di sini?" tanya Bu Atun saat kami menuruni tangga.
"Nggak, Bu. Mas Hendri sudah jauh lebih baik. Lagian ini tadi sudah minum obat."
Bu Atun mengajakku pergi ke dapur. Dari dalam sebuah lemari makan beliau mengeluarkan sebuah kotak yang sudah di masukkan ke dalam kantong plastik. "Ini brownis kukus. Mbak, bawa pulang. Tadi Ibu yang ngasih."
"Ibu ke mana, Bu? Saya nggak melihatnya."
"Beliau sudah tidur."
Aku belum beranjak. Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan pada Bu Atun. Rasa penasaran mengenai keluarga ini.
"Tadi saya bertemu Mas Andre di rumah sakit. Dia sedang membesuk seseorang di sana. Apa dia nggak tinggal di rumah ini, Bu?"
"Enggak, Mbak. Mas Andre tinggal di tempat lain. Sejak kecil beliau memang nggak tinggal di rumah ini."
"Kenapa?" tanyaku makin penasaran.
"Mas Andre sama Mas Hendri itu beda ibu. Mamanya Mas Andre sudah meninggal sejak Mas Andre baru berumur empat tahun. Kemudian Tuan menikah dengan Nyonya dan punya anak Mas Hendriko dan Mbak Nia. Tapi Mbak Nia meninggal ketika umur dua tahun."
Apa karena ini mereka bermusuhan? Kenapa harus bermusuhan dengan saudara sendiri. Bahkan sampai baku hantam dengan menggunakan senjata api. "Apa mereka nggak akur, Bu?"
Bu Atun menggeleng pelan.
"Kenapa?"
"Mas Andre nggak suka dengan Bu Salwa, Mbak. Dia menuduh Bu Salwa yang merebut Pak Darmawan dari mamanya hingga membuat mamanya meninggal."
"Bagaimana dia menuduh seperti itu? Sedangkan waktu itu dia masih sangat kecil."
"Tentu ada yang menanamkan kebencian dan dendam di hatinya. Entah siapa yang melakukannya."
Aku melihat jam di pergelangan tanganku. Sudah setengah sebelas lebih, aku harus segera pulang sebelum tengah malam. "Bu, saya pulang dulu ya. Sampaikan terima kasih saya pada Bu Salwa."
"Iya, Mbak. Besok saya sampaikan."
Ketika aku keluar rumah, di depan sudah menunggu bodyguard-nya Hendri. Entah dari mana pria itu muncul. Aku tidak melihatnya ada di kamar bosnya, juga tak melihatnya ketika aku datang tadi. "Saya antar, Mbak. Mas Hendri yang menyuruh saya mengantarkan Mbak," ucap laki-laki itu sambil memandang ke atas balkon kamar. Sekilas aku melihat bayangan seseorang yang masuk kamar.
* * *