Part 6 Tatapan yang Dingin 2

989 Kata
Seorang wanita setengah baya dengan mata yang terlihat sembab menyambutku di depan pintu. Sepertinya dia habis menangis. Namun masih tampak cantik nan anggun. Di belakangnya ada Bu Atun. "Ini Mbak Embun yang merawat Mas Hendri, Nyonya." Aku mengangguk pada wanita cantik itu. Senyumnya ramah, tangannya yang berkulit putih bak pualam terulur untuk menyalamiku. "Saya mamanya Hendriko." "Saya Embun." "Masuklah. Waktunya untuk mengganti perban, 'kan?" "Iya, Nyonya." "Jangan panggil Nyonya, panggil saja Bu Salwa." Aku kembali mengangguk, kemudian mengikutinya menaiki tangga. Bu Atun juga ikut serta, karena wanita itu yang membantuku sejak kemarin malam. Pintu kamar terbuka, laki-laki itu terbaring sekenanya di atas ranjang besarnya. Tangannya yang sakit menumpang di atas bantal. "Hendri, bangun dulu, Nak. Perbanmu mau di ganti." Lembut sekali Bu Salwa membangunkan putranya. Pria itu membuka mata, Bu Salwa hendak membantu putranya duduk tapi tidak mampu. Badannya terlalu ringkih untuk ukuran tubuh putranya. Kemudian laki-laki bertubuh kekar yang selalu menjaga Hendri kemarin malam buru-buru mendekat dan membantu bosnya untuk duduk. Biar memudahkan aku untuk menggantikan perban. Bu Atun turut membantuku menyiapkan kotak tempat segala obat dan perlengkapan untuk merawat luka. Kulihat obat yang harus di minum masing-masing sudah berkurang empat butir. Berarti obat untuk malam ini pun sudah di minumnya. "Jam berapa minum obat tadi, Bu?" tanyaku pada Bu Atun. Bu Atun tampak kebingungan hendak menjawab, sepertinya beliau takut hendak bilang sesuatu. Terlebih tatapan dingin pria itu sedang memperhatikan tanganku yang sedang bekerja. "Aku meminumnya sejam setelah kamu pergi," jawab Hendri. Aku kaget dan menatapnya. "Kalau obatnya cepat habis lebih baik kan? Penyembuhannya juga cepat." Astaga! Apa lelaki ini tidak takut kalau over dosis? Dia pria yang tampak cerdas dan terpelajar, tak mungkin kalau tidak tahu aturan minum obat. "Maaf, sebaiknya mengikuti aturan saja daripada nanti terjadi sesuatu. Ini obat dengan dosis tinggi. Untuk meminumnya ada aturan dan jarak waktunya." Aku menjelaskan. Namun pria itu tidak mempedulikannya. Aku juga tak lagi bicara. Dia bukan anak kecil yang harus berulang-ulang di kasih tahu. Melihat luka yang memerah dan agak kehitaman itu membuatku bisa merasakan bagaimana sakitnya. Bahkan Bu Salwa langsung keluar kamar karena tidak tahan pastinya. Tapi pria ini tetap dingin dan membeku. Tak tampak ekspresi kesakitan di raut wajahnya. Namun giginya terkatup rapat untuk menahan nyeri. Ponsel yang lupa aku silent beberapa kali berdering di dalam sling bag. "Siapa yang berisik menghubungimu? Kekasihmu?" tanya Hendri tampak terganggu. Tidak suka dengan nada dering ponselku yang mungkin sangat mengganggu. Segera kulepaskan sarung tangan dan meraih sling bag. Kuambil ponsel dan ku non aktifkan nada deringnya. Hendri tidak bertanya apa-apa lagi hingga aku selesai mengganti perbannya dengan rapi. Tapi suhu tubuhnya lumayan hangat. Kuambil termo gun untuk mengecek suhu tubuhnya. 38°C. Aku bingung harus bagaimana. Benarkah obatnya untuk jatah malam sudah di minum? Bagaimana aku bisa tahu kalau laki-laki ini enggan bicara. Nanti obatnya aku simpan di tempat terpisah saja. Daripada menyusahkan aku seperti ini. Aku memanggil laki-laki bertubuh kekar, ah sebut saja bodyguard. Mungkin memang dia seorang pengawal pribadi bosnya. Aku memintanya untuk membantu Hendri berbaring. Kemudian meminta Bu Atun untuk menyiapkan air untuk mengompres. Bu Atun kembali membawa baskom dan handuk kecil. Di belakangnya ada Pak Darmawan dan Bu Salwa. Aku menepi ketika mereka menghampiri putranya. Sejenak mereka memperhatikan sang putra yang sudah memejam. "Kamu rawat putraku sampai benar-benar pulih. Biar Pak Wahab yang mengantar jemputmu ke kosan," kata Pak Darmawan sambil mendekatiku. "Biar saya naik motor saja, Pak," jawabku menolak. "Jangan. Pak Wahab yang akan mengantar jemputmu." Aku tidak bisa membantah lagi, karena lelaki itu segera mengajak keluar istrinya. Tinggallah aku dan Bu Atun di dalam kamar. Sementara bodyguard tadi berjaga di luar kamar. "Mbak, sudah makan?" tanya Bu Atun lirih setelah kami duduk di tempat tidur kami. "Sudah, Bu." "Saya buatkan teh panas, ya!" "Nggak usah Buk, saya minum air putih saja." Aku menunjuk botol air mineral di atas meja. Bu Atun kusuruh tidur terlebih dulu, kasihan. Setelah seharian bekerja. Tapi tadi pagi kulihat ada satu lagi wanita setengah baya yang membantu Bu Atun. Mungkin dia hanya pekerja paruh waktu. Pak Darmawan dan istrinya terlihat sangat baik, juga ramah. Tidak seperti sikap orang kaya kebanyakan. Jika Hendri bukan satu-satunya putra mereka, lalu mana anaknya yang lain? Terutama yang telah menembak Hendri. Sekilas waktu aku hendak naik ke lantai dua, aku melihat foto keluarga menempel di dinding ruang keluarga. Namun aku tidak bisa dengan jelas melihatnya karena buru-buru menaiki tangga. * * * Pagi itu aku terbangun jam tujuh, ketika sinar matahari menerobos jendela dan membuatku silau. Kusingkap selimut yang menutupi tubuhku. Kulihat Hendri duduk di kursi depan jendela, menghadap ke timur, ke arah matahari terbit. Tidak ada siapapun di kamar itu selain kami. Bu Atun sudah pasti sudah ke dapur, beliau tidak membangunkanku tadi, bahkan aku tidak Salat Subuh. Segera kubenahi bergo yang kupakai, lantas kudekati pria yang diam membelakangiku. "Maaf, aku kesiangan," ucapku lirih. "Aku sudah sarapan, mana obat yang harus kuminum?" tanyanya datar. Aku bergegas mengambil obat yang aku sembunyikan tadi malam. Kuletakan obat itu di telapak tangan kirinya dan segelas air putih masih kupegang. "Lain kali nggak usah di sembunyikan. Aku nggak perlu merepotkan kamu untuk mengambilkan." Bagaimana tidak kusembunyikan, nanti dia bisa meminum obat itu tanpa aturan. Namun sangkalan itu cukup terucap dalam hati saja. Aku membawa gelas bekas minumnya ke bawah. Namun di tangga aku berpapasan dengan Bu Atun yang hendak naik dan membawa senampan sarapan. Aku kaget, itu sarapan buat siapa? Bukankah tadi Hendri bilang sudah sarapan. "Ini sarapan untuk siapa, Bu?" "Untuk, Mbak. Mas Hendri sudah sarapan tadi." Aku lega mendengar jawaban Bu Atun. Pria itu tidak berbohong. "Aku sarapan di bawah saja, Bu." Kami kembali turun. "Kenapa Bu Atun nggak bangunin saya tadi?" "Sudah saya bangunin, tapi sama Mas Hendri nggak boleh, Mbak." Ah, mungkin pria itu kasihan melihatku kecapekan. Tapi pria seperti dia apa punya rasa kasihan? Ketika kami sampai bawah, dari arah pintu utama melangkah seorang pria tegap yang wajahnya sangat mirip dengan Hendri. Wajah yang sama-sama dingin. Apa mereka bersaudara? * * *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN