Part 5 Tatapan yang Dingin 1

1072 Kata
Aku duduk di sebelah Yani yang sedang minum teh di kursi ruangan kantor kami. Aku mengambil gelas teh lain yang tadi di buatkan Yani untukku. Rasanya lama sekali menunggu jam sepuluh malam. Sungguh capek dan mengantuk malam ini. Rasanya tubuhku ingin segera rebah saja. Menunggu satu jam lagi kenapa terasa lama sekali. "Embun, kamu kenapa? Kelihatan lelah begitu. Kamu nggak tidur semalaman?" Aku masih menyesap teh. Apa harus kuceritakan pada Yani tetang peristiwa tadi malam? "Kamu masih mikirin mantan kamu itu?" tanya Yani lagi. Aku tersenyum getir. Kejengkelan Yani melebihi kekecewaan yang aku rasakan sendiri. Yani tahu bagaimana aku dan Mas Fariq melewati sepuluh tahun kebersamaan kami. Dialah saksi susah senangku bersama pria yang kucintai sepenuh hati. Dan sekarang semua tinggallah kenangan yang amat menyakitkan. "Sudah setahun yang lalu, lupakan itu. Kamu masih muda, cantik juga. Masih banyak kesempatan untuk mendapatkan pria yang jauh lebih baik daripada Mas Fariq." "Aku sekarang sedang nggak ingin memikirkan itu, Yan. Aku nggak ingin mencintai siapapun. Aku ingin menikmati hidupku. Lagian siapa juga yang mau dengan perempuan yang nggak bisa punya anak sepertiku." Yani meletakkan gelas kosongnya di atas meja. Dia menggeser kursinya hingga lebih dekat lagi denganku. "Dokter bilang kamu tuh nggak mandul." "Mungkin diagnosis mereka salah. Buktinya hingga menjelang perceraian aku juga belum hamil," bantahku pada Yani. "Aku yakin kamu kelak bakalan punya anak." Yani lebih mencondongkan tubuhnya ke arahku. Ibu satu anak ini benar-benar ingin melihatku kembali bangkit. Seorang keluarga pasien datang memberitahu kalau infus suaminya hampir habis. Yani segera berdiri dan mengambil infus untuk menggantinya. Aku telungkup di atas meja dengan kedua lengan sebagai tumpuan. Mataku memejam, aku capek banget hari ini. Ingin rasanya langsung saja pulang ke kosan. Tapi aku harus kembali ke rumah itu. Yani kembali, duduk lagi di sebelahku kemudian memijit bahuku. Sumpah, rasanya nyaman sekali. Dan itu mengingatkanku pada Mas Fariq yang sering melakukan itu disaat aku benar-benar kecapekan. "Capek ya, Mas pijitin." Aku segera mengangkat wajahku, sebelum semua kenangan timbul ke permukaan dan membuatku kembali tenggelam dalam kenangan. "Thanks," ucapku pada Yani. "Buka hati kamu lagi. Kamu juga harus bahagia seperti mereka. Seperti mantan suamimu dan perempuan itu." Bahagia? Apakah mereka bahagia? Pria yang sangat hangat, romantis, dan penyayang itu tampak tidak begitu peduli pada istri barunya. Aku melihat sisi romantis seorang Fariq telah lenyap, berganti dengan sosok dingin dan pendiam. Terkadang saat ini masih ada keinginan untuk tahu tentang pria itu. Tentang segala aktifitas dan sikapnya setelah aku memutuskan pergi dari hidupnya. Namun semua itu hanya akan membuatku kembali terluka dan tidak waras saja. "Hatiku udah tawar untuk memulai semuanya lagi, Yan. Capek." "Jangan gitu. Ada dokter Fajar yang kwueeren dan care itu mau kamu sia-siain juga?" Aku memandang sahabat yang duduk di sampingku. Aku mengalihkan percakapan kami dengan menceritakan peristiwa semalam setelah kami pulang dari belanja makan malam. Sontak mata bulat Yani terbelalak. Aku menutup mulutnya agar dia tidak bicara sebelum aku selesai cerita. "Pantesan kamu kelihatan kelelahan gitu." "Untungnya hari ini aku shif sore. Aku nggak enak banget sama dokter Nanda. Tapi aku benar-benar bingung mau bertindak bagaimana." "Nanti kamu ke rumah besar itu lagi?" Aku mengangguk. "Hati-hati, cukupkan juga istrirahatmu. Jangan sampai kamu tumbang." "Ya. Makasih untuk support darimu. Jika nggak ada kamu, aku nggak tahu sudah jadi seperti apa." Yani tersenyum sampai mengusap lembut punggungku. * * * Sebenarnya aku capek malam ini. Tapi tidak enak juga kalau aku tidak pergi ke rumah Pak Darmawan, bahkan sekarang pun sudah jam setengah sebelas malam. Bagaimanapun juga aku punya tanggung jawab pada lelaki yang sedang terluka itu. Apapun permasalahan mereka, itu tidak ada urusannya denganku. Aku hanya bekerja di sana. Jika pria bernama Hendriko itu sembuh dengan cepat, selesai sudah tugasku. Kusapukan cream malam pada wajahku. Kemudian memakai bergo warna abu-abu yang baru kuambil dari lemari. Jaket yang kemarin terkena darah belum sempat aku cuci, masih terendam di ember dalam kamar mandi. Aku mengambil satu jaket lagi, yang sebenarnya enggan untuk kupakai lagi. Jaket yang menyimpan banyak kenangan dari seseorang yang pernah menjadikan aku ratu di hati dan rumahnya. Jaket itu dibelinya untukku, ketika kami liburan akhir tahun waktu itu. Kupikir cinta kami tidak akan bisa mati. Tapi kenyataannya tidak seperti yang pernah aku impikan. Ketukan di pintu kamar membuatku kaget dan menoleh. "Mbak." Pak Wahab memanggilku dengan suara lirih, mungkin beliau juga tidak ingin mengganggu penghuni kosan yang sudah tertidur. Gegas aku membuka pintu. "Ya, Pak. Saya ambil jaket dulu." Kusambar jaket yang tadi kuletakan di kursi. Aku kembali keluar dan mengunci pintu. Pada saat yang bersamaan, pintu kamar sebelah terbuka. Mbak Sri tampak heran melihatku bersama seorang laki-laki setengah baya berseragam sopir. "Mau ke mana?" tanyanya lirih. "Aku ada pekerjaan merawat seseorang yang sedang sakit, Mbak. Mungkin hanya beberapa hari saja sampai dia sembuh." "Oh, hati-hati ya!" pesan Mbak Sri. Aku mengangguk, sambil melangkah mengikuti Pak Wahab. Mbak Sri masih memandangku dari balik pintu kamarnya. Wanita itu juga seorang janda dengan dua anak yang tinggal bersama ibunya di desa. Mbak Sri bekerja di sebuah restoran yang cukup terkenal di kota kecil ini. Dia juga yang sering memberiku banyak nasehat jika punya waktu untuk duduk ngobrol berdua. Suaminya berselingkuh dengan seorang sales girl. Terus kabur dengan perempuan itu setelah kepergok istrinya. Kata Mbak Sri, sampai sekarang belum tahu kabar di mana rimbanya. Ketika aku masuk mobil mewah itu beberapa orang laki-laki yang masih duduk di pos ronda depan sana memandang ke arahku. Mereka tadi juga melihatku naik motor saat pulang kerja, sekarang melihatku di jemput oleh mobil mewah. Mungkin mereka juga tahu kalau kendaraan ini milik keluarga kaya itu. Entah apa yang dipikirkan oleh mereka. Sekarang aku tidak peduli apapun tentang pandangan orang terhadapku. Jika kupikirkan hanya menambah beban pikiran saja. "Tadi saya di suruh Tuan untuk menjemput, Mbak Embun." Pak Wahab bicara padaku sambil memandang kaca spion di atas kemudi. "Iya, nggak apa-apa, Pak. Sebenarnya tadi saya juga sudah mau berangkat. Saya pulang dari rumah sakit jam sepuluh lebih seperempat." Pak Wahab mengangguk, kemudian kembali fokus ke jalanan. Sebenarnya aku bisa berangkat sendiri naik motor, jarak antara kosan dan rumah megah itu hanya beberapa menit saja. Ponselku di sling bag berdering. Saat kulihat nama Mas Fariq yang menelepon. Untuk apa dia meneleponku malam-malam begini? Apa tidak khawatir kalau diketahui istrinya? Aku tak peduli, kukembalikan lagi ponsel ke dalam sling bag. Kubiarkan panggilan itu tak terjawab hingga berkali-kali. Aku turun setelah mobil berhenti di garasi. Di sebelah mobil yang menjemputku berjajar mobil mewah lainnya. Pekerjaan mereka apa hingga sekaya ini. Ah, bodo amat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN