Part 4 Situasi yang Rumit 2

998 Kata
Part 4 Situasi yang Rumit 2 Aku enggan memperhatikannya. Aku lebih fokus pada dokter Nanda yang sedang menulis resep di sebuah kertas biasa tanpa di tanda tangani olehnya. "Ini obat terbaik semua. Semoga apotek mau memberikannya tanpa ada surat keterangan jelas dari saya," ucap dokter Nanda sambil memberikan catatan itu pada Pak Darmawan. Tentunya dokter yang kukenal itu tidak mau menanggung resiko apapun jika ternyata pria yang ditolongnya ternyata residivis atau ODP. Dokter Nanda serius memandangku. "Mungkin malam ini dia akan demam. Jaga suhu tubuhnya agar tetap hangat dan menyelimutinya. Jangan sampai dia mengalami hipotermia yang bisa mengancam nyawanya." "Ya, Dok." "Hati-hati, Suster!" pesannya padaku. Aku mengangguk dan pergi bersama mereka. Pak Darmawan menurunkan seorang anak buahnya di depan sebuah apotek. Kami menunggu karena antrian sangat panjang. Hendri yang lengannya terbalut perban hanya diam saja sambil memejam. Lelaki kerempeng di sana tampak sedang menjawab pertanyaan dari petugas apotek. Namun akhirnya obat berhasil di beli. "Kamu rawat Hendri sampai kondisinya pulih. Aku akan membayarmu mahal," kata Pak Darmawan ketika kami sudah sampai di rumahnya. Kamar yang tadi penuh bercak darah sekarang sudah bersih, rapi, dan wangi. Lelaki berbadan kekar itu membantu bos mudanya berganti pakaian. Sedangkan aku menunggu di luar sambil mempersiapkan obat yang harus di minum. Sementara Bu Atun membawakan nampan berisi makanan dan air minum. "Besok saya shif siang, Pak." "Jam berapa?" "Jam dua. Sebelum jam dua saya harus sampai di rumah sakit." "Anak buah saya akan mengantar dan menjemputmu. Mereka akan membawamu kembali ke rumah ini." "Nggak usah, Pak. Saya akan berangkat sendiri seperti biasa. Daripada nanti saya jadi pusat perhatian." "Tapi kamu harus janji akan datang ke sini?" Aku mengangguk pada pria yang sebenarnya terlihat baik itu. Tapi entahlah, karena apa yang terjadi terlihat sangat misterius. "Bu Atun kasih makan dulu buat Mas itu. Dia harus makan setelah kehilangan banyak darah. Setelah itu saya akan menyuruhnya minum obat." Bu Atun mengangguk dan bicara dengan pria itu. Aku memperhatikannya dari ambang pintu kamar. Setelah beberapa saat membujuk dan tidak berhasil, aku mendekat. "Makanlah, Anda harus minum obat," bujukku. "Mana obatnya?" "Anda harus makan dulu, karena ini obat keras. Lagian Anda juga tidak mendapatkan infus jadi tidak ada cairan yang masuk." "Aku bisa minum obat tanpa makan," paksanya. "Jangan keras kepala. Saya tidak ingin di salahkan jika terjadi sesuatu dengan, Anda." "Aku tak akan mati semudah itu. Mana obat yang harus kuminum." Kusentuh kening pria yang mulai menggigil. Dan benar, suhu tubuhnya mulai naik. Kuambil piring dari tangan Bu Atun. "Cepat makan dan saya akan memberikan Anda obat. Suhu tubuh Anda mulai panas. Sebentar lagi pasti demam." Terpaksa aku menyuapinya. Namun, dia tetap enggan membuka mulut. Beberapa kali kucoba tapi dia tetap enggan makan. Kalau anak kecil aku bisa membujuk dan mengajaknya bercanda biar mau makan, tapi ini .... Piring kukembalikan pada Bu Atun. "Cari perawat lain saja. Saya mau pulang karena waktunya saya harus istirahat. Besok saya kerja," ucapku karena emosi. "Tunggu, Nona," lelaki berbadan kekar yang sejak tadi berdiri di dekat jendela kamar itu menahanku yang hendak melangkah. Dan dari arah pintu kamar, masuklah Pak Darmawan. "Hendriko, tak usah membantah. Apa kamu ingin mati?" "Itu kan yang diinginkan oleh anak kesayangan Papa?" Hendri menjawab dengan sinis. Dari sini aku bisa menangkap kalau mereka sedang terlibat konflik dalam keluarga. Anak kesayangan? Bukankah mereka berarti bersaudara? Kenapa antar saudara harus bertikai dengan menggunakan senjata api begini? Apa ini alasan mereka tidak mau ke rumah sakit yang akan berujung pengusutan oleh pihak aparat? Aku yang merasa lelah dan mengantuk tidak menghiraukan perdebatan papa dan anak. Aku diam memandang kamar yang minim perabot dan terlihat maskulin. Akhirnya pria muda itu mau makan meski tidak dihabiskannya. Kini giliranku memberikan beberapa obat yang mengandung pereda nyeri, antibiotik, dan untuk meredakan demam. "Jaga dia malam ini, Suster. Orangku akan membawakan ranjang lipat ke ruangan ini," ucap Pak Darmawan. "Biar saya tidur di luar saja, Pak." "Kamu harus menjaganya. Malam ini aku akan memberikan sebagian gajimu. Berapa nomer rekening kamu?" "Maaf, saya nggak ingat." "Baiklah, saya akan memberikan uang cash." "Nanti saja setelah pekerjaan saya di sini sudah selesai, Pak," tolakku. "Oh ya, biar Bu Atun menemani saya malam hari di sini!" pintaku. "Baiklah." Pak Darmawan memerintahkan beberapa anak buahnya untuk menyiapkan tempat tidurku di kamar ini. "Bu Atun, ambilkan pakaian ganti untuk Suster ...." Kalimat itu mengambang dan Pak Darmawan memandangku. "Siapa namamu?" "Panggil saja saya Embun." "Oke. Ambilkan pakaian ganti untuk Embun." Setelah memerintahkan ART-nya, lelaki itu memandang putranya sejenak lantas ke luar ruangan. Beberapa orang laki-laki masuk sambil membawa sebuah sofa yang kemudian diubah menjadi tempat tidur. Diletakkannya ranjang instan itu mepet dekat dinding. Aku akan menidurinya bersama Bu Atun. Tak lama kemudian wanita itu datang sambil membawakan pakaian untukku. Sebuah tunik dan celana panjang. Wangi dan terlipat rapi. Entah milik siapa. Kalau bajuku tidak ternoda darah, aku tidak akan memakainya. "Mbak, baju ini mungkin kebesaran sedikit. Tapi bisa Mbak pakai untuk sementara. Biar bajunya Mbak yang terkena darah besok saya cuci." Wanita itu memberikan baju itu padaku. "Nggak usah, Bu. Saya akan mencucinya sendiri." Benar, baju itu kebesaran di tubuhku. Aku menggunakan kamar mandi yang ada di ruangan itu untuk berganti pakaian. * * * Suara Azan Subuh di kejauhan membuatku terbangun. Rasanya berat sekali mata ini terbuka dan tubuh bangkit dari pembaringan. Mungkin baru satu setengah jam aku tidur setelah semalaman begadang. Pria itu mengalami demam tinggi hingga menggigil. Beberapa selimut aku tangkupkan di tubuhnya yang jangkung. Seperti yang dikatakan dokter Nanda, hampir saja Hendri mengalami hipotermia. Aku pinjam mukena pada Bu Atun. Aku Salat di kamar itu juga karena kamar Bu Atun masih ada Pak Wahab, lelaki yang menjemputku tadi malam. Meski keadaannya belum benar-benar membaik, tapi panas tubuhnya sudah menurun. Hendri bahkan sudah bisa berdiri siang itu, sepertinya dia memaksakan diri sekali. Di cegah pun percuma, dia pria yang keras kepala. "Saya harus pulang karena sebentar lagi saya masuk kerja," ucapku setelah memberikan obat yang harus diminum siang itu. "Pulang jam berapa?" tanyanya datar. "Jam sepuluh malam." "Biar dijemput oleh sopirku." "Nggak perlu." * * *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN