Part 14 Namaku Andrean 2

888 Kata
Part 14 Namaku Andrean 2 Roy tidak seperti ibunya, dia sangat baik dan perhatian. Waktu aku bercerai, dia yang memberikan semangat dan menghiburku dengan kata-kata yang lucu. Dia kerja di sebuah bengkel mobil di kota kecamatan. Kira-kira satu setengah jam perjalanan dari tempatku tinggal sekarang ini. Entah, aku tidak tahu apa yang di rencanakan Tuhan untukku. Sudah susah di masa kanak-kanak kemudian berlanjut hingga sekarang ini. Kukecap bahagia di tahun-tahun pernikahanku dengan Mas Fariq, kemudian mendung kelabu dan badai datang ketika mertua yang kusayangi seperti menyayangi orang tuaku sendiri tega menghadirkan wanita lain di antara aku dan suamiku. Seperti memang menyingkirkan aku secara perlahan, meski sikap mereka tetap sangat baik padaku Berbulir-bulir air mata jatuh membasahi bantal. Aku ingin menghentikan derita ini. Ingin melupakan dan memasabodohkan, tapi aku belum bisa. Meski kadang jenuh dengan pekerjaan. Nyatanya pekerjaan itu yang menjadi hiburanku sekarang. Ponsel di meja kembali berdering. Aku tak melihat siapa yang menelepon, pandanganku hanya fokus ke icon warna hijau untuk menerima panggilan. "Halo, Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam. Kenapa suaramu serak?" Ah, ini suara Mas Fariq. "Nggak apa-apa," jawabku singkat. "Kamu menangis?" Tentunya dia sudah hafal bagaimana aku. Dari suara saja dia bisa tahu apa yang terjadi dengan perempuan yang pernah hidup bersamanya sepuluh tahun ini. "Enggak. Ada apa Mas meneleponku?" Diam. Dia sering seperti ini sejak kami berpisah. Menelepon tapi tidak tahu mau bicara apa. Karena tiap kali bicara mengajak rujuk, aku sering menolaknya. Berapa kali aku blokir nomernya, tapi ia akan selalu menghubungiku pakai nomer baru. "Mas, aku mau istirahat. Nanti aku mau kerja." "Embun, Mas mengirim makan siang via gofood untukmu." "Nggak usah, Mas." "Sudah Mas pesan." "Mas, stoplah untuk bersikap seperti ini padaku. Aku nggak ingin dikatakan zholim pada perempuan lain yang suaminya memerhatikanku. Hubungan kita sudah selesai. Aku ingin menikmati hidupku saat ini. Please, Mas." Kumatikan ponsel tanpa menunggu jawabannya. Kubiarkan benda itu jatuh di ranjang. Dan aku sibuk mengelap air mata. * * * Malam ini jalanan tidak seperti biasanya, sepi. Mungkin karena gerimis setelah hampir seminggu tidak ada hujan. Untungnya di jok motor selalu aku sediakan mantel. Gerobak-gerobak penjual makanan pinggir jalan depan rumah sakit itu juga sepi pengunjung. Aku menepi pada penjual martabak langgananku sejak dulu. "Mau berapa bungkus, Mbak?" tanya Bapak itu antusias. "Dua saja, Pak." Nanti aku mau memberikan satu bungkus pada Bu Atun. "Alhamdulillah," ucapnya penuh syukur. "Sepi ya, Pak?" "Iya sepi, Mbak. Gerimis sejak sore tadi. Mbak baru orang ketiga yang beli." Ya Allah, padahal ini sudah jam sepuluh lebih. "Pak, tambah satu lagi ya!" "Oh, iya Mbak!" Bapak itu terlihat sangat senang. Tampak sangat mensyukuri meski ada tambahan hanya beberapa ribu rupiah saja. Sambil menyiapkan pesanan, si bapak mengajakku berbincang. Hal-hal umum, tentang cuaca, tentang persaingan bisnis, dan tentang kafe-kafe yang makin menjamur di kota ini. Tentunya berpengaruh pada para penjual pinggir jalan seperti mereka. Apalagi kafe-kafe dan angkringan itu menjual makanan dengan harga sama seperti penjual kaki lima. Aku hanya bisa prihatin, tanpa bisa berbuat apa-apa. "Sudah lama Mbak nggak mampir beli martabak? Beberapa hari yang lalu, suaminya Mbak yang beli." "Oh ya?" Sampai bapak ini hafal dengan Mas Fariq juga. Sebab tiap kali aku pulang malam, dia akan menjemputku dan mampir beli martabak di sini. "Iya. Waktu saya tanya, Mbak ke mana? Kata si Mas-nya, Mbak lagi males keluar rumah." Aku hanya tersenyum menanggapi cerita si bapak. Suatu hari nanti, entah kapan itu, pasti bapak penjual martabak ini pasti tahu mengenai kami. Jika Mas Fariq beli martabak sambil mengajak istri barunya. "Ini, Mbak." Dia mengulurkan satu kresek ukuran sedang berisi martabak yang di taruh di tiga kotak. Aku memberikan uang lima puluhan, lantas pergi tanpa minta kembalian. Si bapak berteriak mengucapkan terima kasih. Hujan makin deras ketika aku memasuki halaman rumah Pak Darmawan. Motor ku taruh di depan garasi mobil yang sudah tertutup rapat. Aku melepaskan mantel dan menaruhnya di atas motor. Seperti biasa, Bu Atun menungguku di kursi dekat pintu samping. "Assalamu'alaikum," sapaku sambil tersenyum. "Wa'alaikumsalam. Bajumu basah, Mbak," ujarnya sambil memperhatikan celana warna biru yang kupakai basah bagian ujungnya. Juga jilbab warna putih basah sebagian. "Iya, nggak apa-apa, Bu. Nanti saya bisa ganti baju di rumah. Ini martabak buat Pak Wahab dan Bu Atun." Kuberikan dua kotak martabak padanya. Tadi aku sudah menyisakan satu kotak yang kutaruh di jok motor. "Kok repot-repot sih, Mbak." "Nggak apa-apa, Bu," jawabku sambil tersenyum. "Apa Mas Hendri sudah tidur?" "Belum. Baru saja naik ke kamarnya." Aku melangkah menaiki tangga. Kemudian mengambil obat di laci dan mengetuk pintu kamar setinggi dua meter itu perlahan. Tidak ada sahutan, tapi kamar langsung di buka dari dalam. "Masuklah!" Tubuhku makin menggigil saat masuk kamar itu. Suhu AC-nya terlalu dingin, apalagi aku baru saja kehujanan dari luar. Hendri dengan santainya melepaskan hem warna hitam yang dipakainya dan menaruhnya di sandaran kursi. Anda, sudah makan?" tanyaku sambil melihat lukanya. "Iya," jawabnya singkat. Tanpa banyak bertanya lagi, aku segera melakukan pekerjaanku. Kuganti perban itu dengan plester anti air. Hendri pun hanya diam sambil memperhatikan. "Besok kalau mau mandi, lengan ini boleh terkena air. Sebab saya sudah mengganti perban dengan plester." "Kapan luka ini sudah boleh terkena air?" "Sampai benar-benar sembuh. Karena air terkadang juga mengandung kuman yang berbahaya untuk luka yang terbuka. Jadi tunggu saja sampai benar membaik baru boleh terkena air. Atau Anda bisa pergi ke dokter untuk pengobatan yang lebih intensif." Hendri tidak menjawab. Dia diam dan hanya memandangku. * * *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN