Part 15 Goresan Luka 1

1126 Kata
Mencintaimu Tanpa Syarat Part 15 Goresan Luka 1 Aku mengambilkan obat dan kuberikan pada Hendri. Dia juga langsung meminumnya. Kubereskan bekas perban kemudian pamitan. "Saya permisi pulang!" "Di luar hujan deras. Bajumu juga basah." Dia menunjuk celana bahan, seragam yang aku pakai. "Ya, nggak apa-apa," jawabku sambil tersenyum. Malam ini tidak ada adu mulut di antara kami. Meski dengan sikap yang kaku, dia bicara agak panjang tapi tanpa membantahku. Yang katanya susah minum obat pun, dia akhirnya juga mau tanpa protes seperti kemarin. "Saya permisi!" Aku melangkah keluar kamar. Menyimpan obat di tempat biasanya kemudian turun ke bawah. Mencuci tangan di wastafel dapur, lantas pamitan pada Bu Atun. Wanita itu mengantarku hingga teras samping. "Tunggu, Mbak." Langkah kami terhenti ketika Pak Wahab dari arah dalam mengejar kami. Di tangannya ada kunci mobi. "Mari saya antar." "Nggak usah, Pak. Saya naik motor saja, lagian sudah terlanjur basah juga," tolakku halus. "Mas Hendri tadi menelepon supaya saya mengantarkan Mbak Embun pulang." "Motornya di tinggal saja. Mbak, pulang biar di antar Pak Wahab." Bu Atun menepuk bahuku. Aku diam sejenak. Mungkin memang lebih baik kalau aku di antar Pak Wahab. Ngeri juga pulang larut malam dan hujan deras pula. Di gang masuk dekat kosan itu terkadang ada beberapa anak muda yang suka mabuk. Inilah yang selalu membuatku was-was jika pulang dari shift malam. "Mari, Mbak!" ajak Pak Wahab sekali lagi. Dan aku tergesa mengikuti. * * * Aku melompat dari tempat tidur ketika kurasakan cahaya matahari sudah menerobos masuk lewat celah angin-angin kamar. Aku kesiangan lagi setelah tidur habis Salat Subuh. Bahkan mukena masih melekat di tubuhku, karena habis Salat aku langsung merebahkan diri di ranjang. Sungguh, aku benar-benar capek. Capek lahir dan batin. Buru-buru kulepas mukena. Aku hanya sempat cuci muka saja daripada nanti kesiangan sampai rumah Pak Darmawan. Ah, sampai luar aku baru ingat kalau motor tertinggal di sana. Untungnya ada teman di kamar sebelah yang hendak berangkat kerja, jadinya aku bisa numpang dia. Sampai di rumah itu, aku hanya menyapa Bu Atun sejenak, kemudian langsung naik ke lantai dua. Pintu kamar Hendri sudah terbuka. Aku permisi masuk setelah mengambilkan obat. "Maaf, saya telat lagi," ucapku merasa bersalah sambil mempersiapkan perban. Pasti dia juga buru-buru hendak berangkat kerja. "Kenapa?" Pria itu bertanya sambil menatapku tajam. Sungguh aku sebenarnya sangat capek. Capek badan dan pikiran. Terkadang aku ingin menyerah. Tapi menyerah sama saja seperti bunuh diri. Siapa yang akan menghidupiku, siapa yang bisa menjamin masa depanku jika aku tidak bekerja keras dari sekarang. "Maaf," ucapku serak dan mataku sudah memanas dan berkabut. Bahkan jemariku gemetar ketika menyiapkan obat. Aku merasakan gelombang kesedihan yang kembali menghantam. Bukan hanya karena perceraian itu, tapi juga karena mengingat pandangan orang dan kerabat mantan mertuaku yang selalu mempertanyakan kesuburanku sebagai perempuan. Sungguh sedih. Mereka tidak tahu bagaimana perjuanganku dan perasaanku mengalami itu. Hendri tambah mendekat. Dia menunduk untuk bisa melihat mimik wajahku. "Saya akan mengganti plesternya," kataku sangat lirih. "Kamu kenapa?" tanya Hendri dengan suara lembut sambil berusaha melihat wajahku yang menunduk kian dalam. Aku menggeleng, kemudian menyuruhnya duduk di kursi dan dengan cekatan melakukan pekerjaanku. Aku tak peduli ketika dia memerhatikan wajahku yang mungkin sangat kusut. Kusut karena pikiran dan juga tanpa sapuan bedak. Aku terburu-buru tadi. Hendri tak bertanya lagi, meski netranya masih terus memperhatikan. Lelaki yang tak banyak bicara ini sedang menyimpan tanya dalam hatinya saja. "Ini obat untuk Anda bawa." Aku memberikan obat untuk dibawanya bekerja. Hendri menerima dan memasukkan ke dalam saku celananya. Sementara aku membereskan bekas plaster dan menyimpan perlengkapan di tempat biasanya. Dia juga kembali memakai pakaiannya. Sekarang sudah bisa sendiri, meski agak kesulitan ketika mengancingkan kemeja. "Kamu ada masalah?" tanya Hendri lagi. Aku menggeleng sambil tersenyum. Dia kelihatan makin penasaran, terus menatapku tapi tanpa bertanya lagi. "Saya permisi!" pamitku. Dan dia mengikutiku keluar kamar dan menuruni tangga. Di ruang makan ada Bu Salwa yang sedang sarapan. Hendri bergabung dengan sang mama lalu mengambil nasi dan di letakkannya pada piring kosong yang tersedia di sana. Aku kaget karena dia ternyata belum sarapan. "Embun, mari sarapan bareng kami!" ajak wanita itu ramah sambil memandangku yang hendak pergi ke dapur. "Terima kasih, Bu. Saya bisa sarapan nanti di kosan," tolakku sopan. Wanita itu berdiri dan meraih lenganku. "Ayolah, duduk sarapan dulu." Aku tidak bisa menolak lagi. Aku duduk di sebelah Bu Salwa dan berhadapan dengan putranya. Hanya sedikit nasi yang kuambil. Karena memang tidak berselera makan, meski lauk di meja ada beberapa macam dengan aroma masakan yang sungguh sedap. Hendri serius makan tanpa bertanya keberadaan sang papa yang tidak ada di antara mereka sepagi itu. Ah, mungkin dia sudah tahu papanya ke mana. "Usiamu berapa?" Bu Salwa bertanya padaku. "Tiga puluh tiga tahun, Bu." "Hmm, mudaan setahun dari Hendriko," ujar wanita itu sambil menatap putranya. Namun sang anak tetap diam melanjutkan sarapan. Pria ini dan kakaknya, sudah termasuk cukup umur untuk berkeluarga. Tapi kelihatannya mereka masih pada sendirian. Entahlah, siapa tahu di luar sana mereka punya kekasih atau sedang bertunangan. Bu Salwa kemudian berdiri ketika telepon di rumahnya berbunyi. Di jangkaunya meja bulat di pojok ruang keluarga yang ada telepon rumah di sana. Wanita itu bicara entah dengan siapa. "Maaf, Mama pergi dulu, Sayang. Ada yang nunggu mama di butik," pamitnya pada sang putra sambil merangkul bahu kokoh Hendri. "Embun, saya pergi dulu ya!" pamitnya padaku, yang kujawab dengan anggukan kepala. Kini tinggallah kami berdua dalam hening. Sungguh aku canggung dalam situasi seperti ini. Aku yang kemarin bisa tegas, hari ini aku rapuh oleh suasana hati yang aku tidak bisa memahami sendiri. Kenapa? Lelaki yang membersamaiku bertahun lalu, pergi meninggalkan goresan yang teramat dalam. Aku memang yang menginginkan perpisahan itu, bukan dia. Sekarang rasanya sudah tawar jika harus membina hubungan baru. Lebih baik begini. Bekerja, mempersiapkan finansial untuk hari tua dengan sebaik-baiknya agar aku tidak merepotkan siapapun. Termasuk Roy yang baik itu. "Roy, nanti kalau aku tua dan sendirian. Jangan bosan menjengukku ya." Aku pernah mengucapkan hal ini pada adik tiriku itu saat ia datang menemuiku di sebuah kafe. Kami membesar bersama-sama, makanya kami sangat akrab. "Ngomong apaan sih, Mbak," jawabnya dengan mimik wajah tak suka. Setelah patah hati yang dahsyat itu, aku sering mengalami nyeri d**a dan sesak napas. Betapa tidak bergunanya aku. Hanya untuk membahagiakan diri sendiri saja tak bisa, bagaimana bisa membahagiakan orang lain. Yang paling aku benci setelah perceraian itu, tiba-tiba aku merasakan sedih yang mendadak begini, terlebih jika menjelang menstruasi. Emosi pasang surut dan tidak menentu. Satu kotak tisu di ulurkan Hendri ketika satu bulir air mata jatuh di piringku. Ternyata dia sedang memperhatikanku. Bodoh, harusnya aku tidak membiarkan perasaanku berlarut-larut di rumah orang. Bahkan di rumah orang yang baru ku kenal. "Aku tidak tahu kamu kenapa? Tapi jangan pernah membiarkan dirimu larut oleh sesuatu yang membuat kamu terluka." Dalam sekian hari ini, baru sekarang dia mau bicara sedikit panjang. Kalimatnya juga lugas.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN