Part 16 Goresan Luka 2

971 Kata
Aku tersenyum lantas memaksakan diri untuk menghabiskan sarapan. "Kenapa tadi Anda nggak bilang kalau belum sarapan?" Aku mengalihkan pembicaraan. "Kamu tidak menanyakan itu." Kami berpandangan. Dia memang pria yang tidak mempedulikan diri. Tidak ada rasa was-was pun terhadap apa yang dilakukannya. Hendri mengelap mulutnya menggunakan tangan bukan tisu, kemudian dia berdiri. "Mau sekalian kuantarkan pulang?" Dia bertanya sambil menatapku. "Saya bawa motor." Dia masih diam sejenak lantas melangkah pergi. Bu Atun menghampiri dan aku membantunya membereskan meja makan. Sebenarnya aku penasaran mengenai dua pria di rumah besar itu. Orang-orang yang menurutku aneh. Namun kuurungkan niatku untuk bertanya. Setelah membantu Bu Atun mencuci piring aku segera pamit pulang. Angin pagi menyapaku ramah. Membuat tubuhku yang belum mandi ini merasakan kesegarannya. Terkadang ada keinginan untuk pulang, kangen Bapak, kangen Budhe, juga kangen suasana tenang di sana. Tenang jika ibu tiriku tidak sedang mengomel. Aku benar-benar kalut. Masa iddahku sebentar lagi habis. Aku benar-benar jadi insan yang bebas. Menyandang gelar sebagai janda, status yang tak pernah terbesit dalam benakku sebelumnya. Kupikir aku akan bahagia bersama Mas Fariq hingga kami sama-sama menua. Impian itu sekarang sia-sia. "Mbak Embun!" Ada yang berteriak memanggilku. Seketika aku menoleh ke seberang jalan depan kosan, saat aku baru berhenti di depan pintu pagar. Di seberang jalan aku melihat seorang cowok masih memakai helm duduk di atas motornya. Dia melambaikan tangan padaku lantas menyeberang. "Hai, sepagi ini kamu sudah sampai sini?" tanyaku. "Ini sudah hampir jam delapan, Mbak," jawabnya sambil melihat jam di pergelangan tangannya. "Mbak, habis dari mana ini?" "Aku barusan pulang dari rumah seorang pasien yang di rawat di rumah. Aku masuk kerja nanti jam dua." "Ayo kita keluar. Kemarin aku gajian dan hari ini aku cuti. Ku traktir Mbak makan," ajak Roy antusias. "Aku sudah sarapan tadi. Aku juga belum mandi." "Halah, nggak usah mandi. Mbak nggak ada bedanya mandi atau enggak," ujarnya sambil terkekeh. Pengen rasanya memukul tubuhnya pakai helm. "Ayolah, langsung jalan saja." Akhirnya aku menerima tawarannya dan pergi ke arah pusat kota. Kami naik motor sendiri-sendiri. Aku di depan dan dia mengikutiku di belakang. Aku menemani Roy membeli sneaker untuknya dan untuk Rini di sebuah toko sepatu. Dia memaksaku untuk memilih mana satu yang aku sukai, tapi aku menolaknya. Roy juga memintaku untuk memilih baju, tapi aku juga tidak mau. "Ambillah tas, Mbak. Jangan khawatir, aku punya uang lebih bulan ini," rayunya. "Nggak usah, simpan saja uangmu. Untuk masa depanmu juga. Apa kamu nggak ingin lekas menikah," jawabku sambil melihat-lihat deretan tas yang harganya lumayan mahal. Bagaimana bisa aku memilih satu tas dan membiarkan Roy membayarnya. Dia bekerja keras sebagai mekanik dan gajinya akan habis sekelip mata untuk membayar tasku. Tidak. Aku tahu diri. Walaupun dia memang sangat baik. Kami keluar toko dan berjalan di trotoar. Kemudian dia mengajakku berhenti. Lantas menunjuk seorang perempuan yang beberapa meter di depan kami. "Itu istrinya mantanmu, Mbak," tunjuknya pada seorang perempuan bergaun merah maroon dengan rambutnya yang tergerai sebawah bahu dan masuk sebuah salon kecantikan. Andai dia mau menoleh ke kanan, pasti melihat kami. "Mas Fariq itu ibarat membuang berlian dan memungut pecahan kaca di pinggir jalan." "Hush, jangan bicara begitu. Nggak usah lagi membahas mereka. Kami sudah memiliki jalan hidup yang berbeda, Roy." Aku kembali mengajaknya berjalan menyusuri trotoar. Berusaha tegar tapi hatiku masih merasakan remuk di dalam. Kami terus berjalan di trotoar menuju tempat parkir motor kami tadi. Jalanan tengah kota lumayan padat. Apalagi jam segini banyak penjual pulang dari pasar kota yang tempatnya tidak jauh dari deretan pertokoan. "Kapan kamu dan cewekmu berencana mau nikah?" tanyaku setelah kami terdiam cukup lama. "Kami udah putus, Mbak," jawab Roy lirih. "Kenapa putus?" Aku kaget. Mereka pacaran sudah dua tahun ini. "Sudah sebulan ini kami putus. Dia sudah mendapatkan laki-laki yang jauh lebih baik dariku. Lebih kaya dan mapan. Biarlah, dia pasti juga mau hidup enak," jawab Roy sambil tersenyum getir. Ternyata kami sama-sama merana saat ini. Tapi dia jauh lebih tegar dariku. Karena dia hanyalah pacaran, bukan menikah yang sudah bertahun-tahun sepertiku. Makanya sakitnya jelas berbeda. "Kita ke mall, Mbak!" ajaknya. Dan aku mengiyakan dengan anggukan kepala. Kami menyeberang lewat jembatan penyeberangan yang lengang pagi itu. Saat turun kami hanya berjalan sepuluh meter untuk sampai di satu-satunya mall terbesar di kota ini. Di sinilah ada butik Bu Salwa. Aku lupa butiknya ada di tingkat berapa. Mall yang baru di buka mulai ramai pengunjung. Tampak ada beberapa orang yang berpakaian kantoran masuk ke mall. Mereka pasti bukan mau shopping di jam kerja begini. Sebab di mall itu ada beberapa kafe yang menyediakan ruangan meeting untuk menampung beberapa instansi yang butuh tempat di luar kantor mereka untuk mengadakan pertemuan bisnis. Untuk janjian para bos-bos perusahaan yang saling bertemu dan membahas perniagaan tentu saja. "Mbak, makan yuk di KFC. Aku dari pagi tadi belum sarapan. Rencana mau ngajak Mbak sekalian sarapan." Saat itu kami berhenti tepat di depan ruangan yang tersekat kaca. KFC merupakan jaringan restoran cepat saji yang berkantor di Amerika. Ini jaringan restoran terbesar kedua di dunia setelah McDonald's. Dan sejak kecil tiap kali kami diajak ke kota oleh Bapak dan Ibu, KFC-lah tempat makan favorit bagi Roy. Sejak dulu kami adalah saudara yang kompak, meski Roy tahu kalau ibunya tidak begitu menyukaiku. Kami dekat sejak orang tua kami menikah. Dia kehilangan ayahnya dan aku kehilangan ibuku. Aku dan dia saudara yang saling melengkapi. Kami masuk juga di ruangan itu. Aku langsung memilih tempat duduk sedangkan Roy memesan makanan. Meski sudah kenyang, aku tetap juga harus makan menemaninya. Saking asyiknya ngobrol sampai kami lupa waktu beranjak siang. "Kita pulang, aku mau mandi dan istirahat sebentar, Roy." "Oke." Kami pergi dari sana. Namun aku harus menunggunya lagi yang sedang membeli paket data di sebuah counter yang kami lewati. Aku yang sedang memperhatikan beberapa toko yang berderet di sepanjang koridor mall dikejutkan oleh seorang laki-laki yang berjas rapi berhenti tepat di sebelahku. "Kamu sedang apa di sini?" * * *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN