Malam ini jaket yang dikenakan Nathan penuh dengan air mata dan ingus Azkia. Bagian d**a Nathan terasa basah juga karena saking derasnya air mata Azkia yang mengucur. Dengan sabar Nathan mengelus punggung Azkia berharap gadis itu akan tenang. Namun sudah lebih dari satu jam menangis, Azkia tidak kunjung diam. Andai itu bukan Azkia, sudah pasti Nathan akan ngomel-ngomel karena menilai suara Azkia sangat berisik.
"Nathan," panggil Azkia dengan suara seraknya.
"Hem." Nathan menjawab dengan deheman pelan.
"Maaf aku sudah basahin jaket kamu," ucap Azkia menjauhkan kepalanya dari d**a Nathan. Namun karena dia lama menangis di posisi yang sama, Azkia merasakan pusing di kepalanya.
"Pusing?" tanya Nathan yang seolah mengerti.
"Iya," jawab Azkia mengangguk. Nathan membantu Azkia untuk duduk dengan tegak. Remaja itu juga menjaga keseimbangan tubuh Azkia saat Azkia kehilangan keseimbangannya.
"Badan lo panas," pekik Nathan saat tanpa sengaja meneyntuh kening Azkia. Tiba-tiba tubuh Azkia gemetar lagi, dengan sigap Nathan membantu Azkia untuk berbaring di ranjang. Azkia menolak, tapi dia tidak ada tenaga saat Nathan sudah merebahkan tubuhnya.
"Lo tunggu di sini dengan tenang, gue ambil handuk buat ngompres kening lo," ucap Nathan yang suaranya terdengar sangat khawatir. Mata Azkia memanas, mungkin efek tubuhnya yang demam tinggi. Azkia menatap haru ke arah Nathan yang hilang ditelan pintu kamar mandi, Nathan yang cuek kini menjadi sangat perhatian kepadanya.
Di kamar mandi, Nathan menutup sebelah matanya saat melihat harta karun para wanita yang tergantung indah di gantungan kamar mandi Azkia. Dengan usil Nathan mengecek label kecil pakaian dalam Azkia, "Ukuran tiga puluh enam b, kecil banget," dumel Nathan menatap benda berwarna putih itu.
Pepatah mengatakan buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, sepertinya itu juga berlaku untuk Nathan. Bahkan kadar kemesuman Nathan lebih parah dari papanya. Kalau Yogi hanya godain cewek-cewek, kalau Nathan suka berimaginasi yang aneh-aneh meski dari luar seperti remaja yang bodo amat.
"Nathan, kamu kok lama?" tanya Azkia setengah berteriak. Nathan kalangkabut, laki-laki itu mengambil gayung dan handuk rambut Azkia. Nathan memutar tombol air hangat dan mengisinya pada gayung.
Remaja itu keluar kamar mandi dan segera mendekati Azkia, "Lo kenapa teriak-teriak? Kalau orangtua lo tau gue ada di sini, sudah pasti gue pulang tinggal nama. Lo tega kalau papa dan mama gue kehilangan anak setampan gue?" omel Nathan mengambil duduk di dekat Azkia.
"Kamu narsis banget. Kalau kamu babak belur di sini, mama dan papamu masih punya adek kamu," jawab Azkia terkekeh. Nathan menarik hidung Azkia dengan kencang membuat Azkia mengaduh kesakitan.
"Sudah gue bilangin jangan teriak-teriak! Nanti ketahuan," ujar Nathan.
"Santai aja kali, kamar ini kedap suara," jawab Azkia.
"Wah yang bener?" tanya Nathan antusias. Bahkan remaja itu sudah mengusung senyumnya yang menawan.
"Kok kamu senyum-senyum begitu?" tanya Azkia memicing. Azkia ingin bangun karena merasakan hawa-hawa tidak enak dari Nathan. Namun, Nathan segera mendorong tubuhnya sampai dia terbaring lagi.
"Kalau kamar ini kedap suara, maka lo harus hati-hati kalau sewaktu-waktu gue khilaf!" bisik Nathan tepat di wajah Azkia. Napas Nathan yang berbau nasi soto tadi sore juga tercium jelas di penciuman Azkia. Meski ada aroma-aroma mint, tetap saja sotonya masih terasa.
"Awas kalau khilaf, kamu pulang gak punya senjata kakek moyang yang selalu kamu bangga-banggakan," ujar Azkia menusuk kening Nathan dengan kuat. Gantian Nathan yang tertawa dengan tingkah Azkia. Tidak Nathan kira kalau Azkia yang di sekolah selalu introvent, sebenarnya adalah gadis yang sangat manis dan lucu.
"Sudah diam lo, gue kompres kening lo biar kadar kegilaan lo menurun," ucap Nathan mencelupkan handuk kering ke gayung. Nathan mengikuti cara mamanya ini karena setiap dia sakit, mamanya akan mengompres dengan handuk basah, dan itu memang manjur membuat tubuhnya kembali pecicilan.
Dengan telaten Nathan mengompres kening Azkia. Lagi-lagi Azkia hanya menurut dengan perlakuan Nathan. Pasti teman-temannya akan memekik iri bila mereka tau Nathan sangat baik terhadapnya. Azkia tidak tau harus menganggap Nathan sebagai apa, teman tapi begitu intens, pacar juga tidak mungkin. Azkia berada di tengah-tengah status antara teman dan pacar.
"Nathan," bisik Azkia.
"Apa?"
"Kamu gak dimarahi mama kamu keluar malam-malam begini?" tanya Azkia. Azkia tentu tidak mau menyusahkan Nathan atau membuat Nathan dalam masalah.
"Gak usah pikir gue, pikirian aja kesehatan lo. Oh iya, besok ada tugas yang harus dikumpulin, udah lo kerjain belum?" tanya Nathan mengalihkan pembicaraan. Azkia menggeleng, jelas dia belum memegang buku barang sebentar pun. Pulang tadi dia langsung mengunci diri dan menangis sekencang-kencangnya sampai Nathan datang.
"Di mana buku-buku lo? Biar gue kerjain. jangan sampai lo kena omel guru. Sama tugas gambar lapangan sama ukurannya itu, gue kerjain sekalian biar lo gak repot besok ngerjain di sekolah," ujar Nathan menuju meja belajar Azkia. Nathan mengobrak-abrik buku-buku Azkia di laci.
"Nathan, jangan diobarak-abrik!" ucap Azkia dengan suara lemasnya.
"Sorry, kebiasaan," jawab Nathan membuka buku gambar Azkia. Laki-laki itu segera berbaring di lantai tepat di bawah ranjang Azkia setelah mengambil buku gambar juga peralaan menggambar lainnya.
"Kok kamu tiduran di lantai?" tanya Azkia terpekik.
"Gue biasa ngerjain tugas di lantai. Lo tidur saja, setelah lo tidur lo bakal dapat kabar yang baik," ucap Nathan tanpa menoleh ke arah Azkia.
"Kabar baik? Iya, dalam mimpi," cicit Azkia. Selama hidupnya Azkia merasa dia tidak pernah mendapat kabar baik, yang ada hanya kabar buruk soal dia harus menuruti tuntutan mamanya ini dan itu.
"Gak usah mikir macam-macam lo! Kasihan kalau stres, masih muda soalnya," ucap Nathan. Azkia melempar boneka gurita pada Nathan sembari mendengus kesal. Nathan tidak menanggapi Azkia lagi, remaja itu sibuk menggambarkan lapangan untuk Azkia. Untung hobbynya menggambar di tembok waktu kecil membuatnya menjadi ahli saat sudah remaja.
Nathan tidak mengajak Azkia bicara lagi karena menginginkan gadis itu tidur. Nathan sungguh prihatin dengan kehidupan Azkia yang menurutnya kurang beruntung dalam mendapatkan kasih sayang. Nathan menggambar dengan fokus, hp nya yang bergetar di saku celananya tidak dia hiraukan, sudah pasti hanya pesan dari grub chat teman-temannya. Maklum, ganteng-ganteng Nathan jomblo, jadi tidak ada yang spesial di whatsappnya.
Pukul sembilan malam Nathan baru selesai mengerjakan tugas Azkia. Laki-laki itu memberesi segala buku-buku Azkia. Suara dengkuran halus membuat Nathan menatap temannya itu, Azkia tengah tidur pulas dengan napas yang teratur. Nathan tersenyum tipis, setelah memberesi buku Azkia pria itu mendekati Azkia.
Nathan menaikkan selimut Azkia yang melorot, remaja itu mendekatkan wajahnya ke wajah Azkia, Nathan mendaratkan ciumannya di kening Azkia dengan intens. Nathan tidak tau apa yang menggerakkan dirinya melakukan ini, yang Nathan tau dirinya sangat ingin menjaga Azkia. Ciuman kening selalu diartikan bahwa orang itu menyayangi kita, kalau Azkia sadar Nathan sudah mencium keningnya sudah pasti Azkia akan berjingkrak kegirangan.
Tidak Nathan sadari, sejak beberapa jam yang lalu papa Azkia memantau Nathan dari Cctv yang tersambung di laptop pria paruh baya itu. Bram membiarkan air matanya yang menetes dengan deras. Saat melihat Nathan bertingkah bak superhoro yang memanjat rumahnya, Bram sudah ingin melayangkan tembakannya pada anak ingusan itu. Namun dia mengurungkan niatnya saat Nathan menuju kamar putrinya. Nathan remaja yang sama yang mengajak putrinya makan di warung soto dan melindungi Azkia saat orang-orangnya menjemput Azkia. Bahkan Nathan sudah babak belur tapi masih nekat menemui Azkia.
Bram melihat Nathan sangat perhatian pada putrinya. Kasih sayang yang tidak pernah Bram berikan pada putrinya, malah diberikan oleh Nathan.
"Papa tidak suka kamu tumbuh besar, Azkia. Papa ingin kamu tetap menjadi putri kecil papa, Nak," ujar Bram dengan suara seraknya.
"Kamu makin lama makin dewasa, sudah merasakan tertarik dengan lawan jenis. Kalau papa tua renta nanti, masihkah kamu mau menemui papa, Nak?" tanya Bram seorang diri.
"Kalau kamu dewasa nanti, sanggupkah papa melepasmu dengan orang yang kamu cintai? Dapatkah papa meyakinkan diri bahwa pilihanmu benar? Papa tidak ingin kamu kekurangan apa-apa, Nak. Tapi papa lah penyebab kamu kekurangan kasih sayang."
"Papa tidak ingin tugas papa yang menjagamu berakhir. Papa ingin kamu tetap menjadi putri kecil papa."
Racauan demi racauan Bram keluarkan dengan suara eraknya. Isak tangis tidak terbendung lagi saat melihat Nathan mencium kening putrinya. Bram tidak ada tenaga bila harus menghajar Nathan yang sudah lancang. Bram terlarut dalam kesedihannya sendiri. Dia menghabiskan banyak waktu dengan sia-sia karena tidak bisa memberikan kasih sayang yang penuh kepada putri semata wayangnya. Kini putrinya yang dulu dia ajak sengsara merintis karir, sudah beranjak dewasa. Sedangkan Bram masih belum merasakan kehangatan hubuang antara papa dan anak. Keluarga yang harusya harmonis, ada papa, mama dan putri yang cantik, tapi harus hambar karena keegoisan masing-masing.
"Inikah rasanya orangtua saat akan melepas anaknya pada pria pilihannya?' tanya Bram lagi. Meski Azkia masih SMA, Bram tetap merasa cepat atau lambat, Azkia akan fokus pada laki-laki yang dicintai gadis itu.