Vivian meneguk napas pelan, berusaha menenangkan degup jantungnya yang masih kacau. Wajahnya memerah menahan gugup, terutama karena tatapan Leonard yang terus tertuju padanya. “Saya…awalnya cuma disuruh bantu sebentar,” ucapnya pelan, suaranya agak serak. “Saya sudah menolak, tapi anak-anak terus memohon, jadi akhirnya saya ikut juga. Tapi aku nggak sadar kalau malah ketiduran di balik tirai…” Dia menunduk, merasa bersalah. “Saya benar-benar nggak bermaksud ganggu. Tadi kupikir yang duduk itu Kelvin…” Leonard masih terdiam. Ekspresinya sulit ditebak, entah bingung, jengkel, atau justru menahan tawa. Vivian makin salah tingkah. Anak-anak di belakang mereka mulai saling berbisik pelan, tak merasa bersalah sedikit pun. Maya malah tersenyum puas, seperti baru saja menyatukan dua tokoh utam