Eps. 3 Bimbang

1004 Kata
Vivian mundur dua langkah, punggungnya hampir menempel pada dinding. Wajahnya pucat, dan tangannya gemetar tak mampu menutup kotak musik yang masih berputar pelan di atas meja kecil. “Saya… saya nggak masuk sengaja,” ucapnya pelan, nyaris tak terdengar. “Tadi pintunya terbuka… aku hanya lewat dan mau menutupnya…” Leonard tidak bergeming. Matanya menatap lurus ke arah Vivian, dingin dan tajam seperti pecahan kaca. “Alasan yang sangat buruk untuk menjelaskan kenapa kamu ada di sini, memegang barang-barang istri aku.” “Saya tidak bermaksud melanggar apa pun…” Vivian berusaha menenangkan napasnya, tapi nada takut jelas terdengar. “Saya tahu tempat ini bukan untuk saya. Tapi saya benar-benar cuma mau menutup pintu, saya kira… angin yang membukanya.” Leonard melangkah mendekat, satu langkah, dua langkah. Jarak mereka kini tinggal sehembus napas. “Angin? Dan kamu berpikir angin juga menyuruhmu menyentuh kotak musik Karen?” Vivian menggigit bibirnya, menunduk. “Saya minta maaf, Pak…” “Permintaan maafmu tidak menghapus jejakmu di tempat ini, Vivian!” bentaknya, suara rendah tapi menggelegar. Vivian merasa hatinya menciut. Matanya berkaca. Ia ingin berkata lagi, menjelaskan, tapi lidahnya kelu. Dalam keheningan yang menyiksa itu, hanya suara melodi kotak musik yang terdengar, mengalun sendu… seakan mengenang sesuatu yang telah pergi, dan takkan kembali. Vivian tercekat. Kata-kata tak lagi mampu ia susun. Hanya udara yang terperangkap di tenggorokan, sesak dan menyakitkan. Ia mencoba membuka mulut, namun yang keluar hanya helaan napas gugup. Wajahnya menegang, tubuhnya membeku—tak tahu harus mundur, meminta maaf lagi, atau sekadar menunduk dan menghilang. Tangannya yang tadi menyentuh kotak musik kini menggenggam ujung blusnya sendiri, berusaha menyembunyikan kegugupan yang tak terbendung. Dia salah tingkah, langkahnya goyah, ingin keluar dari ruangan itu tapi ragu harus melewati Leonard atau mencari celah lain. Leonard tidak berkata apa pun. Matanya masih menatapnya seolah Vivian adalah luka yang terbuka—menyakitkan dan tak diinginkan. Tanpa aba-aba, lelaki itu berjalan melewatinya, lalu dengan satu gerakan cepat, membanting pintu kamar itu hingga tertutup rapat. Suara kayu beradu menggema di sepanjang lorong, menyisakan keheningan yang membuat Vivian menggigil. Ia berdiri terpaku di depan pintu tertutup itu, napasnya memburu, jantungnya seperti ingin lepas dari da-da. Dari ujung lorong, langkah kecil terdengar. Keira, salah satu anak, menatapnya dari balik sudut dinding dengan mata besar dan bingung. Vivian buru-buru mengusap matanya dan memaksakan senyum, tapi rautnya tetap muram. Dalam hati, Vivian bertanya, Apakah ini saatnya aku pergi dari rumah ini? Sebuah rasa asing menjalari dirinya—tercampur malu, takut, dan… kehilangan yang entah kenapa begitu dalam. Langkah kecil terdengar di ujung lorong. Keira, dengan boneka kelinci di pelukannya, berdiri diam menatap Vivian. Mata gadis kecil itu menyiratkan tanya, tapi juga kecemasan. Ia tak pernah melihat Vivian sekuat ini menahan tangis, pada kasus yang sama pengasuh lain sudah menangis dan langsung memutuskan untuk berhenti kerja detik itu juga. Wajah Vivian tegang dan bahunya sedikit bergetar meski tak setetes pun air mata jatuh. Pelan-pelan, Keira mendekat. Ia menatap Vivian dari bawah, lalu menggenggam tangan wanita itu yang terasa dingin dan kaku. “Papa marah, ya?” tanyanya lirih. Vivian hanya tersenyum kecil, tak sanggup menjawab. Tapi Keira mengerti. Ia bisa membaca suasana, bisa merasakan ketegangan yang baru saja terjadi—ia selalu tahu kapan ayahnya marah, dan ini… lebih dari sekadar marah biasa. “Ayo… jangan di sini,” bisiknya sambil menarik lembut tangan Vivian. “Kita pergi, yuk…” Vivian menatap Keira sejenak, lalu mengangguk perlahan. Mereka berjalan beriringan, menjauh dari pintu yang kini tertutup rapat, membawa keheningan yang berat dan menyisakan denting samar kotak musik di benak Vivian. Dan untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasa begitu asing di rumah ini. * Vivian tiba di depan kamarnya dengan langkah berat. Pintu kayu berwarna gading itu tampak biasa saja, tapi baginya kini terasa seperti batas antara kekacauan di luar dan sisa harga dirinya yang masih ingin dipertahankan. Kamarnya berada di lantai atas, hanya berjarak satu pintu dari kamar anak-anak. Lokasinya memang sengaja dipilih agar mudah jika sewaktu-waktu Keira atau adiknya membutuhkan sesuatu di malam hari. Kamar itu tak luas, tapi cukup nyaman. Sebuah ranjang single berseprai putih bersih berada di sudut ruangan, berdampingan dengan meja kecil dan lampu baca. Dindingnya dihiasi lukisan bunga sederhana, dan sebuah jendela besar menghadap taman belakang, tempat sinar matahari pagi sering menembus masuk. Keira masih menggenggam tangannya. Gadis kecil itu menatapnya lekat-lekat, lalu berkata lirih, “Masuk, Kak Vivian… istirahat aja dulu, ya?” Vivian tertegun. Ada kehangatan dalam suara Keira yang nyaris membuat pertahanannya runtuh. Ia mengangguk pelan, membelai rambut Keira sekilas sebelum membuka pintu dan melangkah masuk. Hatinya masih bergemuruh, tapi setidaknya… di ruangan ini, ia bisa bernapas sejenak. Setelah memastikan Keira masuk ke kamarnya sendiri dan menutup pintunya, barulah Vivian melangkah masuk ke ruang pribadinya. Ia menarik napas panjang, lalu menutup pintu kamarnya perlahan, seolah tak ingin menciptakan suara sedikit pun. Begitu terdengar bunyi klik lembut dari kunci pintu, tubuhnya seketika kehilangan tenaga. Vivian menyandarkan punggungnya ke daun pintu, kedua bahunya turun berat, dan matanya memejam. Dingin kayu di belakangnya terasa seperti satu-satunya yang menyangga tubuhnya saat ini. Ia mengusap wajahnya, menyapu kegelisahan yang membekas di kulitnya. Hatinya gemetar. Ia tak menyangka akan seperti ini. Pekerjaan sebagai pengasuh, awalnya ia kira hanya soal perhatian dan tanggung jawab. Tapi di rumah ini—dengan segala jejak duka yang belum pulih, dengan sorot mata Leonard yang menusuk setiap niat baik—bebannya terasa jauh lebih besar. Ia berada di persimpangan. Haruskah ia tetap bertahan? Atau cukup sampai di sini saja? Ia menunduk, menatap lantai kayu yang mengilap di bawah kakinya. Ingin rasanya menyerah. Ingin berhenti sebelum semuanya semakin rumit. Tapi… bagaimana dengan ibunya? Ibunya membutuhkan biaya untuk pengobatannya. Selain itu dia juga sudah tidak punya tabungan lagi untuk menyambung hidup. Hanya pekerjaan ini satu-satunya solusi jalan keluar dari masalah yang menghimpitnya. Vivian memejamkan mata lagi. Diam. Bimbang. Letih. Di balik kelopak matanya yang terpejam, Vivian menarik napas panjang, berusaha menenangkan badai di dadanya. Tapi suara-suara dari masa lalu dan sorot mata Leonard tadi terus terngiang. Ia membuka mata perlahan, menatap jendela yang remang. Lalu terdengar… ketukan pelan di pintu kamarnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN