Pukul lima pagi, langit di luar masih gelap ketika Vivian membuka matanya. Biasanya, dia baru terbangun sekitar pukul enam, tapi pagi ini ia merasa tak bisa tidur lebih lama. Kepalanya masih berat oleh peristiwa semalam, tapi ia tahu tugas tak menunggu.
Setelah mencuci muka dan bersiap sebisanya, Vivian menuju kamar anak-anak. Suara tangisan Kelvin, si bungsu, langsung menyambutnya begitu ia membuka pintu. Si kembar itu rewel, entah karena haus atau lapar. Vivian segera menggendongnya, menepuk-nepuk pelan sambil berusaha menenangkan tangisannya.
Sementara itu, Elan dan Keira sudah mulai bangun, tapi bukannya langsung menuju kamar mandi, keduanya malah saling lempar bantal. Vivian kewalahan memisahkan mereka sambil tetap menggendong Kelvin yang masih merengek. Setelah membujuk Elan masuk ke kamar mandi lebih dulu, Vivian harus ikut berdiri di pintu, menyuruhnya gosok gigi dan tak main-main dengan air.
Saat berganti memandikan Keira, gadis kecil itu menolak keramas karena katanya airnya dingin, meski Vivian sudah menyiapkan air hangat. Vivian harus membujuk, bahkan bernyanyi sedikit agar Keira mau.
“Ayo Keira, airnya tidak dingin. Air ini sudah hangat.”
“Dingin, aku nggak mau mandi dalam air dingin, aku bisa demam,” balasnya sambil berlari keluar.
Vivian mahalan napas sejenak kemudian berjalan cepat untuk menangkap Keira sebelum gadis kecil itu menjauh.
“Airnya sudah ganti hangat tapi kamu belum mencobanya dan masa bilang dingin. Coba dulu,” ucapnya setelah berhasil menangkap Keira.
Dia menggendongnya di sisi lain dengan erat kemudian membawanya masuk ke kamar mandi dan menguncinya dengan rapat, hingga Keira pun mandi.
Baru selesai dengan Keira, Kelvin yang sudah agak tenang harus dimandikan terakhir. Vivian melakukannya dengan hati-hati—takut air mengenai telinga atau hidungnya. Saat akhirnya semua selesai, rambut Vivian basah, bajunya juga. Napasnya terengah, dan matanya mulai berkunang. Ia bersandar sebentar di dinding kamar mandi, bergumam, “Baru pagi… tapi rasanya seperti habis perang.”
Baru beberapa detik napasnya tersambung, terdengar suara Maya memanggil dari kamar. “Kak Vivian, ke sini sebentar!”
Dengan cepat Vivian merapikan rambutnya yang berantakan dan berjalan menuju kamar Maya. Gadis kecil itu duduk di depan meja rias dengan sikat rambut di tangan, ekspresinya serius.
“Aku mau rambutku dikepang. Tapi jangan kepang biasa, ya. Aku mau yang kayak Elsa,” pintanya sambil menyodorkan gambar dari majalah—French braid menyamping yang rumit, dengan helaian rambut dikeluarkan sedikit di sisi-sisinya agar terlihat lembut dan anggun.
Vivian mereguk saliva dengan berat. “Model ini agak sulit, Maya. Tapi aku coba, ya.”
Tangannya mulai bekerja, mencoba mengatur rambut Maya yang halus dan sedikit licin. Setiap helai harus diambil dengan rapi agar kepangan tidak berantakan. Maya sesekali mengerang tak sabar. Vivian menahan napas, berkonsentrasi penuh. Sekali salah, harus mengulang dari awal.
Butuh hampir dua puluh menit hingga akhirnya selesai. Kepangan melingkar rapi di sisi kepala Maya, dengan sentuhan longgar seperti gambar yang dia tunjukkan.
Maya bangkit, menatap cermin dengan senyum puas. “Bagus juga, ya. Kamu ternyata bisa.”
Vivian tersenyum lega, meski tangannya pegal. Tapi setidaknya kali ini—dia berhasil membuat satu penghuni rumah ini tersenyum.
Baru saja selesai mengepang rambut Maya, Vivian belum sempat duduk sejenak ketika suara tangisan Kelvin menggema dari ruang tengah. Ia bergegas ke sana dan mendapati bocah laki-laki berusia empat tahun itu duduk di lantai dengan wajah berkerut, satu tangan menunjuk mainan yang terjatuh di bawah sofa. “Ambilkan mainanku, Ma.”
Vivian terpaku sejenak dirinya dipanggil mama. Dia kembali teringat pada kemarahan Leonard semalam yang mengira dirinya meminta anak-anak mereka memanggilnya dengan sebutan itu.
“Kakak. Panggil aku Kak Vivian. Ingat itu ya. Jangan sampai salah panggil nama.”
Kelvin hanya diam mengangguk.
Dengan sabar, Vivian kemudian menunduk, menyusupkan tangan ke bawah sofa yang sempit dan berdebu untuk mengambil mainan itu.
Begitu mainan kembali ke tangan Kelvin, Elan memanggil dari dapur. “Kak Vivian, aku nggak nemu kaus kakiku! Yang warna hijau!” teriaknya panik karena mereka harus segera bersiap ke sekolah. Vivian berlari ke kamarnya, membuka laci-laci pakaian, dan akhirnya menemukan kaus kaki hijau itu terlipat di balik baju tidur. Ia kembali ke Elan yang sudah berdiri dengan satu kaki menahan sepatunya.
Saat ia hendak menarik napas sebentar, Keira datang dengan wajah cemberut. “Kak Vivian, kancing bajuku susah dikancingin. Aku telat nanti!” Vivian segera jongkok, menyusun barisan kancing kecil di blus sekolah Keira satu per satu, tangannya sempat gemetar karena terburu-buru.
Lalu terdengar suara benturan dari kamar mandi—Kelvin kembali masuk ke sana dan menjatuhkan ember kecil berisi air. Lantai basah, bajunya kuyup, dan Vivian harus mengganti pakaian si bungsu lagi. Keira, si kembarannya, malah tertawa geli melihat kekacauan itu.
Semua terasa seperti tak ada ujungnya. Vivian menatap jam. Baru pukul tujuh kurang lima belas menit. Tapi tubuhnya seperti sudah berlari seharian.
“Kami lapar sekarang,” ucap Maya mewakili tiga saudaranya.
“Baik, aku akan siapkan sarapan untuk kalian.” Vivian kemudian menuju ke dapur.
Di dapur, Vivian bergerak cepat. Roti panggang harus cukup renyah untuk Elan, si sulung yang tak suka tekstur lembek. Keira dan Kelvin si kembar berusia empat tahun, hanya mau telur dadar dengan keju meleleh di atasnya—tanpa bawang, tanpa sayur. Maya, si bungsu, justru ingin bubur oat hangat dengan madu dan potongan pisang kecil, tapi tak boleh terlalu manis. Vivian harus memastikan semuanya matang bersamaan, tidak gosong, tidak terlalu dingin, dan disajikan tepat waktu sebelum anak-anak mulai rewel.
Tangan kirinya mengaduk bubur, tangan kanan membalik telur, matanya terus melirik pemanggang roti. Sementara itu, suara anak-anak bersahutan dari ruang makan—semuanya ingin dilayani duluan.
Saat keempat anak itu mulai sarapan dengan riuh—Kelvin menjatuhkan potongan keju, Keira merengek karena rotinya kurang garing, dan Maya menyuap buburnya pelan—Leonard muncul di ambang pintu dapur.
Langkahnya terhenti, matanya menyapu meja makan, memperhatikan anak-anaknya satu per satu. Mereka tampak sibuk, nyaman… dan untuk sesaat, suasana rumah terasa hidup.
Tatapannya kemudian beralih pada Vivian. Sorot matanya tajam, tak bicara sepatah kata pun. Vivian yang sedang menuang s**u ke gelas Keira sejenak membeku, merasakan hawa dingin dari pandangan itu menembus kulitnya. Tangannya sedikit gemetar, tapi ia menunduk, berusaha tetap tenang.
Leonard masih berdiri di sana, seolah menimbang sesuatu yang belum ia putuskan.