Eps. 5 Menahan Tangis

1002 Kata
Leonard melangkah masuk, pelan namun pasti. Suara sol sepatunya terdengar jelas menjejak lantai kayu dapur, menambah ketegangan yang telah mengambang di udara. Vivian menahan napas saat pria itu mengambil posisi di belakang kursi Maya, pandangannya tetap tak beranjak darinya. “Kamu yang masak semua ini?” tanyanya, suaranya datar, nyaris tanpa intonasi. Vivian mengangguk cepat, tak berani menatap langsung. “Iya, Pak. Saya—saya coba buat yang mereka suka…” Leonard menoleh pada anak-anaknya. “Ada yang tidak suka dengan sarapannya?” Keira menggeleng pelan, Kelvin menyuap sereal dengan antusias, dan Maya hanya mengangkat bahu. Elan, yang paling tenang, berkata pelan, “Roti kejunya enak.” Leonard tidak menanggapi pujian itu. Ia hanya menarik napas, panjang dan berat, lalu mengambil sepotong roti dari piring Keira. Ia mencicipinya, perlahan, seolah sedang menguji ketulusan Vivian dalam setiap gigitannya. Vivian nyaris tak berkedip. Setelah menelan, Leonard menaruh roti kembali dan berjalan melewatinya tanpa berkata apa-apa. Tapi sebelum keluar dari dapur, ia berhenti di ambang pintu, suaranya terdengar lirih namun tegas, “Lain kali, pastikan s**u Kelvin tidak dingin.” Vivian menunduk dalam, menggenggam kuat botol s**u yang baru saja ia letakkan di meja. Setelah Leonard pergi, suasana dapur tetap membeku sejenak. Vivian menatap botol s**u di atas meja, menyadari kesalahannya—ia lupa memanaskannya sedikit seperti biasanya Kelvin suka. Napasnya tercekat, rasa lelahnya semakin menumpuk. Anak-anak melanjutkan sarapan tanpa banyak bicara, seolah mereka pun terbiasa dengan ketegangan seperti itu. Vivian mencoba tersenyum, tapi rasanya kaku. Ia mengelap meja pelan, berusaha menenangkan detak jantungnya yang berdebar tidak karuan. Baru saja ia hendak duduk, Maya menoleh dan bertanya pelan, “Dia marah lagi, ya?” Vivian hanya menatapnya, dan belum sempat menjawab… suara langkah berat kembali terdengar. Langkah itu makin lama makin dekat. Vivian memutar tubuhnya, refleks berdiri tegak. Leonard kembali masuk ke dapur tanpa sepatah kata pun. Sorot matanya menyapu meja, anak-anak, lalu berhenti pada Vivian. “Piring Kelvin kenapa masih kosong?” tanyanya, dingin. Vivian segera menoleh. “Maaf, tadi saya—” “Jangan beralasan,” potong Leonard, suaranya tenang tapi tajam. “Kalau kamu tidak bisa mengurus empat anak, katakan saja. Biar aku cari pengganti.” Ucapan itu menusuk seperti belati. Vivian menunduk, menahan napas. Anak-anak membeku, bahkan Elan yang paling cerewet tidak berani menyuap makanannya lagi. “Maafkan saya,” ucap Vivian pelan, nyaris tak terdengar. Leonard menatapnya sesaat, lalu berbalik keluar tanpa melanjutkan perkataannya. Pintu dapur tertutup kembali. Vivian menghela napas panjang, tubuhnya terasa kosong. Tapi ia tak sempat larut dalam perasaannya, karena Kelvin tiba-tiba berseru, “Aku masih lapar!” Vivian tersentak, lalu kembali bergerak—tanpa sempat memikirkan apa yang sebenarnya ia rasakan. Vivian segera menyendokkan nasi dan lauk ke piring Kelvin dengan tangan sedikit gemetar. “Maaf ya, ini makanannya,” ujarnya lembut, berusaha tersenyum meski hatinya belum tenang. Kelvin menerima piring itu tanpa protes, langsung menyantapnya dengan lahap. Vivian duduk kembali, memandangi anak-anak yang kini perlahan melanjutkan sarapan mereka. Keira sempat melirik Vivian, seolah ingin berkata sesuatu, tapi urung. Suasana meja makan tetap hening. Vivian mencoba menenangkan dirinya, meski da-da masih terasa sesak. Ia tahu, pagi ini baru permulaan. Dan jika setiap harinya seperti ini… mungkinkah ia bertahan? Namun sebelum pikirannya menjawab, suara tangis dari kamar terdengar pelan. Vivian refleks menoleh ke arah suara itu. Tangis lirih, seperti rintihan kecil yang tertahan, datang dari salah satu kamar anak. Ia segera bangkit dari duduknya, meninggalkan piringnya yang belum sempat disentuh. Anak-anak di meja makan ikut melirik, tapi tak berkata apa-apa—seolah sudah terbiasa dengan tangis seperti itu. Dengan langkah cepat tapi tetap hati-hati, Vivian menuju kamar sumber suara. Pintu sedikit terbuka, dan saat ia mengintip ke dalam, terlihat Keira duduk di sudut ranjang sambil memeluk lututnya. Matanya sembab, pipinya basah oleh air mata yang baru saja jatuh. “Keira…” Vivian memanggil pelan, tak ingin mengejutkan anak itu. “Kamu kenapa, Sayang?” Gadis kecil itu tidak menjawab langsung. Ia hanya menggeleng perlahan, menggigit bibirnya, seolah menahan agar tidak menangis lagi. Vivian mendekat, duduk di tepi ranjang dan menunggu, memberi ruang bagi Keira untuk membuka dirinya. “Papa marah lagi,” bisik Keira akhirnya. “Aku nggak suka lihat Papa kayak tadi… dia beda sekarang.” Vivian menatapnya, hatinya menghangat sekaligus miris. Ia mengusap rambut Keira dengan lembut, berusaha menenangkan. “Kamu nggak sendiri, Keira…aku di sini.” Tapi di dalam hati, Vivian tahu… tak semudah itu menenangkan badai yang tersembunyi di balik pintu rumah ini. Suara klakson pelan dari luar membuat Vivian mengangkat kepala. Ia melongok lewat jendela dan melihat mobil sekolah sudah berhenti di depan gerbang. Sejenak napasnya terasa lebih ringan. “Mobilnya datang!” serunya, membantu anak-anak mengenakan sepatu dan membawa tas masing-masing. Satu per satu mereka berlari kecil keluar rumah, masuk ke mobil dengan riang. Vivian berdiri di ambang pintu, melambaikan tangan. Begitu mobil itu menjauh dan menghilang di tikungan, ia menutup pintu perlahan. Rumah mendadak senyap. Untuk pertama kalinya pagi itu, Vivian duduk dan meneguk napas lega. Sepi yang singkat terasa seperti anugerah. Vivian masuk ke kamarnya sambil memijat pelan bahunya yang pegal. Setiap sendinya terasa seperti baru saja digilas waktu. Baru beberapa hari kerja di rumah itu, namun tubuhnya sudah berteriak minta ampun. Ia membuka laci dan mengeluarkan beberapa lembar koyo, lalu mulai menempelkannya satu per satu—di pundak kanan, kiri, lalu di punggung bawah yang terasa seperti kaku sejak pagi tadi. “Aduh…” desahnya pelan, saat tangan kanannya menjangkau titik yang sulit dijangkau. Ia duduk di tepi ranjang, mencoba menenangkan napas. Mata Vivian berkaca, bukan karena sakit yang teramat, tapi karena kelelahan yang mulai menggerogoti semangatnya. Tanpa ia tahu, Leonard berdiri di ujung lorong, baru saja akan berangkat kerja. Suara rintihan pelan yang lolos dari celah pintu menarik langkahnya terhenti. Matanya menyipit, dan rahangnya mengeras. Vivian tidak sadar sedang diawasi. Ia menunduk, kedua tangannya menutupi wajah, bahunya terguncang halus seperti sedang menangis—meski tak ada suara isak yang terdengar. Leonard masih berdiri di tempatnya. Tak bergerak. Tak bersuara. Entah apa yang dipikirkannya saat itu, namun sorot matanya menyimpan sesuatu yang belum sempat terbaca. 'Ada apa dengannya?'
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN