Langkah kaki mendekat di lorong membuat Vivian cepat-cepat menghapus air matanya. Ia pikir mungkin itu hanya Maya atau Keira yang kembali karena lupa sesuatu. Tapi suara pintu diketuk ringan—tak seperti biasanya.
Vivian belum sempat bangkit ketika daun pintu terbuka perlahan.
Leonard berdiri di ambang pintu.
Vivian langsung tegak, nyaris panik. “Ma—maaf, saya sedang…”
Namun pria itu tidak berkata apa-apa. Ia hanya menatapnya sejenak, lalu masuk begitu saja. Vivian spontan berdiri, gugup, bingung harus berkata apa. Tapi yang terjadi berikutnya membuatnya membeku.
Leonard menarik kursi kecil dari dekat meja dan duduk di belakang Vivian. “Mana bagian yang belum bisa kamu tempel?” tanyanya datar.
Vivian mematung. “Maaf… apa?”
“Pundak kiri. Kau tidak bisa menjangkaunya, kan?” Tanpa menunggu jawaban, Leonard mengambil lembar koyo dari meja. Tangannya terampil namun tidak tergesa. Ia membuka plastiknya, lalu perlahan menempelkannya di bagian punggung Vivian yang kosong.
Vivian terdiam. Tubuhnya menegang, tidak percaya dengan perlakuan yang begitu… tak terduga.
Ketika Leonard selesai, ia hanya berkata singkat, “Jangan abaikan tubuhmu. Kalau tumbang, anak-anak yang repot.”
Lalu ia berdiri. Keluar begitu saja.
Meninggalkan Vivian terdiam dengan jantung berdegup keras.
Vivian masih duduk di tepi ranjang, memandangi pintu yang baru saja tertutup. Tangannya menyentuh pelan bagian pundaknya yang kini ditempeli koyo oleh Leonard. Masih hangat. Tapi bukan itu yang membuat kepalanya penuh—melainkan sikap pria itu.
Baru tadi malam dia dibentak nyaris tanpa ampun. Tatapan Leonard dingin, tajam, seperti tak sudi melihatnya ada di rumah ini. Tapi pagi ini... pria itu menempelkan koyo di punggungnya dengan tangan sendiri? Tanpa nada sinis, tanpa menyuruh, tanpa menghina?
Vivian menghela napas, bingung sendiri. Leonard seperti lautan yang tenang di permukaan, tapi menyembunyikan pusaran di bawahnya. Ia tidak tahu kapan pria itu akan marah, atau kapan akan bersikap biasa. Dan sikapnya yang datar pun malah jauh lebih sulit ditebak ketimbang amarah terang-terangan.
“Apa dia hanya merasa bersalah?” gumamnya lirih. Tapi dia tahu Leonard bukan tipe orang yang menunjukkan penyesalan dengan cara semacam itu. Ada sesuatu yang berbeda. Tapi apa?
Vivian mengusap wajahnya. Tubuhnya lelah, tapi pikirannya jauh lebih letih. Ia hanya ingin bekerja dengan baik, jujur, dan bertahan. Tapi semakin lama, semakin ia merasa... semua ini tak sesederhana itu.
**
Vivian melirik jadwal yang tertempel rapi di dinding dekat meja kecil kamarnya setelah membersihkan tempat bermain anak-anak.
Jadwal harian anak-anak Leonard. Pandangannya menelusuri daftar kegiatan yang tertulis dengan tulisan tangan Maya yang rapi.
“Pulang sekolah jam dua siang,” gumamnya, mengingat waktu saat ini masih menunjukkan pukul sebelas lebih sedikit.
Ia menarik napas lega, lalu memutuskan untuk memanfaatkan waktu singkat itu. Badannya masih terasa pegal, terutama di bagian pinggang dan bahu meski sudah dipasangi koyo. Ia duduk di tepi ranjang, bersandar perlahan, membiarkan kepalanya menyentuh bantal.
“Hanya lima belas menit saja,” bisiknya sambil memejamkan mata. Tapi tubuh yang terlampau lelah tak mendengar niatnya. Dalam hitungan menit, Vivian pun terlelap, dibawa mimpi oleh rasa lelah yang menumpuk sejak pagi.
Jam dua tepat, anak-anak Leonard kembali. Mereka masuk dengan ramai, suara langkah kaki dan tawa menggema di lorong rumah.
Kelvin, si kembar Keira yang berusia empat tahun, mencarinya lebih dulu. “Kak Vivi mana?” tanyanya sambil berlari kecil menyusuri lorong.
Saat mendapati pintu kamar pengasuh mereka tidak terkunci, Kelvin mendorongnya perlahan. Ia mendapati Vivian masih tertidur di atas ranjang, miring ke kanan, wajah lelahnya tampak damai.
Anak lelaki itu tersenyum nakal. Ia mengambil boneka dino kecil dari saku celananya, lalu dengan hati-hati menyelipkannya ke bawah selimut dekat tangan Vivian. Tak cukup di situ, ia menempelkan stiker kartun di pipi Vivian sambil menahan tawa.
“Jangan bangun dulu, Kak Vivi. Dino-nya jagain!” bisiknya puas, sebelum berlari keluar memanggil Keira untuk melihat "hasil kejahilannya".
*
Vivian terbangun dengan kening berkerut, tubuhnya masih setengah tertidur saat matanya menangkap sosok kecil di sampingnya. Sebuah boneka Dino hijau tergeletak manis di bawah selimut, seolah sedang menemaninya tidur.
“Astaga… ini dari mana?” gumamnya sambil segera duduk tegak. Jantungnya berdegup panik. Ia menoleh ke arah jam—sudah lewat jam dua. “Anak-anak…mereka sudah pulang?”
Ia sontak melompat turun dari ranjang, membetulkan bajunya yang kusut, lalu bergegas ke pintu. Tanpa menyadari bila sebuah stiker bergambar kartun lucu masih menempel di pipinya, Vivian berlari keluar, matanya celingukan ke segala arah, mencari jejak anak-anak.
Suara tawa tipis terdengar dari ruang tengah. Ia mengikuti suara itu dan menemukan Keira dan Kelvin tengah duduk di sofa sambil menyusun balok, Maya duduk di dekat mereka sambil membaca buku.
Vivian mendekat, napasnya masih belum teratur. “Sejak kapan kalian pulang?” tanyanya terburu-buru, tatapannya beralih dari satu anak ke anak lainnya.
Keira menutup mulut menahan tawa. “Kak Vivi tidur kayak bayi. Lihat pipinya, Kel!”
Kelvin langsung menunjuk pipi Vivian. “Itu stikernya! Hahaha!”
Vivian menyentuh pipinya, dan wajahnya langsung merah padam saat menyadari keusilan mereka.
Vivian menepuk pelan pipinya, buru-buru melepas stiker bergambar kelinci pink itu. Wajahnya makin memerah, antara malu dan tak percaya anak-anak itu sempat mengerjainya saat ia tertidur.
“Kalian ini…” gumamnya, tak sanggup marah meskipun hatinya geli sendiri.
Keira berdiri lalu mendekat, tangan kecilnya menggandeng Vivian. “Maaf ya, Kak Vivi. Tapi Kakak imut banget waktu tidur. Kami nggak tega bangunin.”
“Dan Dino itu aku yang taruh. Biar Kak Vivi nggak sendirian,” tambah Kelvin bangga.
Vivian tak bisa menahan senyum. Rasa lelah dan gugup yang tadi menimpanya perlahan luruh. Meski tadi sempat panik dan terkejut, ada kehangatan dalam perlakuan sederhana anak-anak itu. Mereka mulai menerimanya—dengan cara mereka sendiri.
“Lain kali bangunin Kakak, ya. Jangan malah ditempeli stiker dan dikerjain,” ujar Vivian sambil menyentil pelan hidung Kelvin.
Anak laki-laki itu tertawa renyah, bersembunyi di balik Keira.
Dari kejauhan, tanpa mereka sadari, Leonard berdiri di depan rak buku, diam-diam memperhatikan interaksi itu. Tatapannya tak sekeras biasanya, justru teduh—namun dalam. Seolah menyimpan sesuatu yang bahkan dirinya pun belum sepenuhnya mengerti.
Langkah kaki Leonard yang mantap membuat suara riuh tawa anak-anak seketika meredup. Vivian refleks menoleh, tubuhnya menegang saat melihat pria itu berjalan mendekat, tangan diselipkan ke saku celana, ekspresinya sulit ditebak seperti biasa.
Anak-anak segera menyapa, “Papa!”
Leonard hanya mengangguk, tatapannya kemudian beralih pada Vivian yang masih berdiri kikuk di dekat Keira dan Kelvin. Dalam sekejap, bayangan pagi tadi kembali melintas di kepala Vivian—saat pria itu tiba-tiba membantunya menempel koyo di punggung. Sentuhan tangannya, dingin dan tegas, masih membekas jelas di benaknya. Tubuhnya bergetar.
Vivian menunduk gugup, jantungnya berdetak tak karuan.
“Kamu yang ketiduran di kamar tadi, kan?” tanya Leonard tiba-tiba, suaranya tenang tapi cukup untuk membuat wajah Vivian memanas.
“I-iya, saya…hanya sebentar,” jawabnya tergagap juga takut.
Leonard berjalan mendekat hingga hanya berjarak satu lengan darinya. “Pastikan tidak tidur lagi saat mereka pulang,” ucapnya datar, tapi kemudian tangannya terulur dan... menepuk kepala Kelvin. “Tapi kamu, jangan ganggu Kak Vivian lagi, ya.”
Vivian terpaku. Tangannya masih memegang stiker yang tadi menempel di pipinya.
Leonard sempat melirik stiker itu dan bibirnya terangkat sedikit—samar, tapi nyata. Seulas senyum. Senyum yang ditahan tak dilepaskan seperti dirantai oleh pemiliknya.
“Kelinci pink, ya?” gumamnya ringan sebelum berbalik pergi.
Vivian masih berdiri di tempat, nyaris lupa cara bernapas. Sejenak rasanya hidupnya berhenti di titik ini.