“Ah!” Pekikan mengaduh itu terdengar dari seorang gadis dengan kaki yang lecet karena tergesek ranting jatuh. Dia meringis kesakitan saat melihat darah mengalir segar dari balik kulit sepucat salju miliknya. Ia cepat-cepat menghapus air mata sebelum itu dapat membanjiri pipi dan langsung berdiri kembali. Ia menggenggam erat dua surat dengan cap kerajaan di tangannya. “Aku harus menyampaikannya apapun yang terjadi, aku harus.” Bibir tipis nan pucat itu terus-terusan menggumamkan hal yang sama, seolah berpegang teguh akan hal itu. Pikirannya melayang ke waktu dua jam sebelumnya, tentang alasan mengapa ia harus berlari sendirian di dalam hutan seperti ini. “Kenapa kakak melakukan semua itu? Memangnya apa yang ada di dalam pikirannya! Dia pasti sudah tidak waras mengorbankan rakyat dan adikn