“Tidak, tidak, tidak! Meski apapun alasannya, mati tanpa diketahui siapapun adalah hal paling buruk yang pernah ada!” Seiring dengan teriakan frustasi yang datang, seorang gadis terengah-engah karena berlari secepat mungkin untuk menghindari beberapa pembunuh bayaran yang mengincar nyawanya. Ia berlari dan melompati pagar dengan menakjubkan, seperti seorang atlet yang terlatih secara profesional.
“Kejar gadis itu, hadang dia di seluruh tikungan!” perintah salah seorang kru, membuat beberapa orang yang lain langsung berpencar untuk menjaga di setiap titik dan membuat gadis itu terhenti.
“Sial,” umpatnya kesal, kini dirinya dihadang oleh empat pria berbadan besar dengan setelan ala man in black, film favoritnya. Namun, mulai malam ini, ia akan membenci film itu seumur hidupnya. Suara senapan api yang disetel ulang membuat bulu kuduk gadis itu meremang. Dia mengumpat dalam hati, apa mereka itu orang gila yang punya hati untuk menembak gadis cantik dan manis sepertinya?
“Tunggu! Tunggu sebentar, oke?” Dia langsung mengangkat tangannya, memberikan sinyal agar keempat pria itu belum siap menembakan peluru. Kini kepalanya yang kecil harus memutar otak 100 kali lebih keras agar dia bisa tetap hidup. “Tuan-tuan sekalian, tetap tenang, oke? Aku mau menjelaskan sesuatu pada kalian.” Gadis itu mencoba untuk mengajak mereka berbicara selagi ia berpikir jalan untuk kabur dari sini. Keempat pria itu saling berpandangan, kacamata hitam mereka nampak berkilat di bawah cahaya rembulan.
Gadis itu menarik napas panjang, ia menariknya dan menghembuskannya kuat. “Fuh, pertama, aku bukan orang yang berhutang dengan bos kalian atau siapapun itu.” Dia lalu menimpali ucapannya sendiri. “Aku juga memiliki masalah dengan wanita itu, maksudku Mary. Dia tidur bersama teman kencanku dan aku datang untuk melabraknya. Tapi kalian tiba-tiba datang di hadapanku dan langsung menembakiku secara membabi-buta, dan swalla! Kita sudah sampai di sini. Ngomong-omong namaku Edith, kalian bisa menyimpannya jika mau.” Edith menaikkan bahunya singkat, salah satu pria itu membuka kacamatanya, dan Edith langsung dibuat ngeri dengan bekas luka melintang di sekujur pelipisnya.
“Lalu, di mana Mary?” tanya salah satu dari empat pria berbadan besar tersebut.
“Jika aku tahu keberadaan si lacur itu, aku akan langsung melumatnya hidup-hidup dan menjadikan kepalanya sebagai gantungan di ruang tamuku.” Edith menggertakan giginya kesal. Ia pasti akan menemukan keberadaan Mary meski harus mencari ke ujung dunia sekali pun. Kenapa? Karena ini adalah kencan pertama yang pernah Edith lakukan. Semua teman datingnya yang lain langsung memblokir akunnya atau menolak untuk pergi setelah melihat wajah Edith yang sangar seperti harimau.
“Jadi kita impas, oke? Kumohon pergilah, aku tidak ada kaitan apapun dengan masalah kalian dan si Mary lacur itu.” Edith menyatukan tangannya, ia memohon ampun pada mereka. Pria yang memiliki luka melintang itu langsung meludah kesal, dia kemudian berbalik menatap rekannya yang lain.
“Ubey yego1:bunuh dia.”
“Ubey yego?” Edith mengernyit sendiri, tetapi dia tak mau memikirkan hal itu lagi dan segera bersiap untuk kabur.
“Da2: baik.” Suara tembakan terdengar keras seolah memecah malam.
Edith yang sudah berbalik lantas terhuyung dan jatuh tengkurap. “Lho?”
Edith merasakan seluruh badannya panas dan pusing hebat, peluru yang menembus dadanya membuat darah mengucur deras dari sana dan langsung menjadi kubangan darah di tengah malam. Keempat pembunuh bayaran itu lantas pergi, meninggalkan Edith yang perlahan mulai kehilangan kesadarannya.
Aaah ... sekarang tubuhku menjadi sangat, sangat dingin.
Dia menghabiskan energi terakhirnya untuk tertawa, ia menertawai takdirnya yang begitu lucu. Tapi tak terasa tawanya berubah menjadi tangisan, Edith menangis tanpa suara, hanya air mata yang terus-terusan keluar bersama darah di dadanya. Entah ilusinya semata atau memang orang-orang yang hendak dilanda kematian mengalaminya, Edith melihat semua flashback dari masa kecilnya yang menurutnya sangat biasa saja. Sialan kau takdir, setidaknya beri aku hidup yang lebih seru jika ada tayangan ulang seperti ini.
Kesadaran Edith mulai meredup, bahkan tatapannya sudah blur dan tidak jelas. Hampir seluruh indranya telah mati. Tapi Edith tidak berpaling atau menutup matanya, ia hanya menatap wanita yang selalu bersamanya sejak kecil. Wanita yang ia panggil ibu, yang selalu menjaganya hingga ia sebesar ini. Edith meringis kecil, setidaknya, setidaknya ia ingin melihat wajah ibunya untuk yang terakhir kalinya. Aaah ... sudah kubilang, 'kan, mati tanpa diketahui siapapun adalah hal yang paling buruk yang pernah ada.
“Senin, 12 Desember 2020 lebih tepatnya pada pukul 22.34, seorang gadis berusia 18 tahun ditemukan meninggal di gang samping kota. Motifnya adalah pembunuhan.”
֍
“Ibu!” Edith membuka matanya dengan segera, ia langsung melihat langit-langit ruangan yang berbentuk kubah. Matanya bergerak cepat ke kanan dan ke kiri, ia melihat dirinya berada di dalam kotak dengan bagian yang terbuka di atasnya. Sial, apa aku ada di peti mati?
Edith lantas menegakkan dirinya dan beranjak duduk. Ia langsung mendengar teriakan histeris dari arah samping. Ada begitu banyak barisan orang-orang dengan pakaian serba hitam dan membawa bunga putih—lambang kematian. Edith hendak beranjak turun sebelum rasa sakit yang teramat sangat tiba-tiba saja menyerang lengan atas bagian kanannya. Panas dan perih membuatnya tak mampu mengatakan apa pun dan hanya meringis kesakitan. Apa yang terjadi padaku?
“Astaga!”
“Bagaimana mungkin?”
“Nyonya Isabella!”
Edith mengernyit bingung, ia menunduk dan melihat dirinya memakai pakaian yang aneh, dengan memegang sebuket bunga putih yang ia tidak tahu namanya. “Siapa yang kau panggil Nyonya Isabella?”
Mereka nampak lebih terkejut lagi, bahkan beberapa dari mereka ada yang pingsan. Salah satu dari mereka kemudian maju, dengan penuh kecurigaan dan terkejut. Edith sedikit bergeser, takut dan bingung. Pria yang kini berjalan mendekatinya sangat tampan, bahkan mungkin ia pria tertampan yang pernah Edith lihat selama hidupnya. Tapi instingnya mengatakan bahwa dia adalah musuh, musuh yang berbahaya.
Pria itu mendadak memeluknya erat. Edith yang kaget langsung mendorongnya sekuat tenaga. Dia benar-benar pria m***m gila yang tampan, baru bertemu sudah main nyosor saja. Edith menutupi dadanya dengan kedua tangan sebagai bentuk perlindungan. Aiden mengusap matanya yang hampir mengeluarkan air mata tersebut dan tersenyum lega.
“Kau baik-baik saja, istriku?”
Istriku. Edith mencerna kata itu dengan baik dan cukup lama. Ia kemudian menatap pria tampan itu dengan tatapan kebingungan sekaligus merasa jijik dan mengatakan, “Apa kau waras?”
“Apa?” Pria itu terkejut bukan main. Tunggu sebentar, ia merasa jika wanita di depannya ini sangat berbeda dari Isabella yang biasanya. Ia tidak melihat aura ketenangan seperti angsa cantik di dalam dirinya, melainkan seekor harimau ganas yang siap menerkamnya kapan pun.
“Tidak, tidak. Maksudku, kenapa aku ada di sini dan kenapa kau mengaku sebagai suamiku sedangkan aku belum pernah menikah hingga saat ini!” Edith mengutarakan kekesalannya, belum selesai ia punya masalah dengan pembunuh bayaran sialan itu, kini dia justru terjebak dalam kultus yang berisi orang-orang gila.
“Apa kepalamu terbentur ketika hendak memasuki gerbang akhirat atau bagaimana? Tentu saja kita sudah menikah, lihat apa yang melingkar di jarimu itu!” Aiden membalas tidak kalah kesalnya. Edith memutar bola matanya jengah, mana mungkin ia akan memiliki seorang suami orang gila—
“Kau benar! Aku memilikinya! Tunggu, kenapa aku bisa memiliki cincin ini?” Edith terkejut sendiri saat melihat cincin dengan berlian super berkilau yang menempel manis di jari manisnya. Aiden menyisir rambutnya kesal dan hendak membalas ucapan istrinya kembali.
“Aiden, sudah cukup.” Luna tiba-tiba datang dan mencekal tangan Aiden. Edith menatap gadis berambut perak itu dengan takjub, dia tidak pernah melihat kecantikan mistik seperti itu selama hidupnya. Edith memandangnya intens, tetapu Luna justru gugup dan mengalihkan pandangan dengan cepat.
“A-ayo kita kembali,” ajak Luna, terdengar sedikit merengek. Aiden mendesah berat, dia kemudian menahan pegangan Luna. “Maaf Luna, tapi aku harus membereskan masalah ini terlebih dahulu.” Aiden menatap Edith yang berada di dalam tubuh Isabel dengan intens, dibalas dengan tatapan nyalang Edith namun justru lebih mirip dengan orang yang mengajak berkelahi. Tanpa disangka, Aiden justru meletakkan tangannya di kening Edith dan menghela napas lega.
“Apa kau mengingat siapa aku?”
Pipi Edith berkedut kesal. “Mana mungkin aku mengenal pria m***m sepertimu!”
“Anne, Dave, tolong kalian bawa Duchess ke ruangannya kembali dan panggilkan tabib untuk merawatnya. Kemungkinan, ingatannya sedang mengalami sedikit gangguan saat ini. Kalian bisa melaporkannya padaku setelahnya.” Setelah berkata seperti itu, Aiden kemudian pergi menggandeng Luna ke luar dari ruangan besar ini. Orang-orang yang berpakaian hitam lainnya sudah lari tunggang-langgang terlebih dahulu setelah melihat orang yang bangkit dari kubur.
“B-baik, Tuan.” Dave menjawab perintah tuannya itu. Setelah mereka berdua pergi, barulah Edith bisa melemaskan ototnya yang ia paksa untuk terus menegang sejak tadi agar tidak terlihat ketakutan.
“Sial, itu tadi sangat menakutkan!” umpatnya sendiri sambil beranjak turun dari peti mati yang lumayan empuk itu. Jika boleh, Edith ingin membawanya pulang dan menjadikannya sebagai ranjang barunya di rumah.
“Nyonya Isabella! Anda tidak apa-apa?”
“Duchess!”
Anne dan Dave, nama kedua orang yang kini berada di depan Edith dan tengah memandanginya dengan emosi yang begitu kompleks. Sedih, bahagia, terharu, tidak percaya hingga bingung tercampur aduk di raut wajah mereka berdua. Edith meringis kecil, ia masih tidak tahu kenapa bisa terdampar kemari. Sebenarnya, di mana ini?
“Err, siapa kalian?” Anne dan Dave lalu bertatapan satu sama lain. Mereka lalu menatap Edith kembali yang berada di dalam tubuh Isabella. Memakai pakaian serba putih, riasan tipis dan memegang sebuket bunga putih. Persis seperti manekin yang hidup. Bibir Anne bergetar menahan tangis, Edith sedikit terkejut melihatnya.
“Ada apa? Apa … aku melakukan sesuatu yang salah?”
Jujur, Edith tidak suka melihat orang lain menangis atau terluka karenanya.
“Tidak, aku tidak apa-apa, Nyonya. Boleh ... bolehkah aku memeluk Nyonya?” Anne meminta seperti seekor puppies yang lucu dan menggemaskan, Edith mana mungkin bisa mengabaikan keimutan yang luar biasa itu.
“T-tentu saja! Kemarilah!” Edith merentangkan tangannya, membiarkan dirinya menjadi samsak Anne yang terlihat begitu sedih meski Edith tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya saat ini. Maklum saja, di sekolahnya dulu, Edith selalu menjadi peringkat kedua.
Dari urutan terakhir.