Kehidupan Seorang Duchess

1542 Kata
“UWAAAH!” Teriakan itu membuat Anne menutup telinganya spontan. Edith sudah dibawa ke ruangan milik Isabella dan dia langsung berlari untuk menatap pantulannya di kaca. Sedangkan Dave tengah mengambil beberapa menu untuk dimakan. Edith berpaling dari kaca dan menatap Anne dengan horror sembari menunjuk dirinya sendiri. “Anne, katakan padaku. Siapa dia?” “Apa maksud nyonya? Tentu saja anda Nyonya Isabella Porvich, istri pertama sekaligus Duchess of Porvich.” Anne menjelaskan siapa Isabella, tetapi entah kenapa justru dia yang terlihat begitu bangga. “Isabella Porvich?” gumam Edith lirih, dia seperti mengenal nama itu. Edith menatap pantulannya di kaca sekali lagi. Fitur wajahnya hampir sama dengan Edith, tetapi struktur yang membedakannya hanya warna rambut dan matanya. Di dunia Edith, tentu saja warna yang umum adalah hitam dan coklat, tetapi warna yang ia miliki saat ini begitu mustahil untuk dicerna. Pirang keabuan dengan mata coklat menyala terang, seperti manekin yang hidup. Edith berjalan mondar-mandir di depan kaca. “Apa aku bereinkarnasi? Namun jika begitu, seharusnya aku menjadi seorang bayi yang lucu bukannya terjebak di dalam tubuh istri orang lain. Apa yang terjadi padaku sebenarnya ....” Anne hanya bingung melihat tingkah Edith yang sangat mengherankan. Edith tiba-tiba berhenti dan tertawa, tawa yang sangat mengerikan. Anne dibuat takut olehnya, bahkan Isabella tidak pernah tertawa semengerikan itu hingga saat ini. Edith mendongak ke atas. “Benar begitu? Kau bahkan tidak mau menerima kematianku dan mengirimku untuk tetap hidup di tubuh orang lain? Terimakasih padamu, sekali lagi kuucapkan terimakasih padamu! Takdir sialan!” Edith meninju udara kosong dengan penuh kekesalan, ia merunduk dan terengah-engah. Sial, setelah semua ini, ia justru merasa lelah dan ingin segera tidur. “Anne, tolong keluarlah. Aku ingin tidur.” Edith mengusir Anne dengan mengibaskan tangannya. Anne mengangguk, dia cepat-cepat berbalik dan berjalan pergi, tetapi dia menoleh kembali. “Apa anda ingin berganti baju terlebih dahulu, Nyonya?” Edith menatap Anne horror sambil menyilangkan tangannya di depan d**a. “Tidak, tidak perlu. Aku akan mengganti bajuku sendiri, oke? Sekarang, kumohon keluarlah.” Anne mengulum bibirnya sendiri, dia tidak berkata apa-apa lagi dan segera keluar dari ruangan. Di depan ruangan, ada Dave yang sudah bersiap menunggu dengan senampan makan malam. Dia memberi isyarat pada Anne. “Apakah Duchess baik-baik saja?” Anne menggeleng lemah. “Dia terlihat begitu sehat, namun pikirannya sangat terganggu. Dia terus menyangkal dirinya sendiri dan bertingkah sangat aneh. Aku sangat khawatir dengan Nyonya Isabella.” “Benar seperti yang dikatakan oleh Duke dan tabib. Nyonya mengalami lupa ingatan yang parah hingga lupa siapa dirinya sendiri. Ini pasti efek dari racun yang membuatnya sempat menghadapi kematian. Tenanglah, kau pasti bisa membawa ingatannya kembali, jangan bersedih.” Dave memegang tangan Anne. Memang, mereka berdua adalah kekasih. Namun, Isabella tidak mengetahuinya, karena Anne dan Dave merahasiakan hal itu. Jika Isabella tahu, kedua orang itu akan disuruh menikah dan pergi ke sebuah wilayah untuk hidup dengan tenang sementara Anne dan Dave sendiri tahu bagaimana kehidupan Isabella selama ini. “Kau benar, aku pasti akan membuatnya mengingat segalanya.” Anne sudah membulatkan tekadnya, dia dan Dave lalu pergi ke dapur untuk mengembalikan makanan yang telah terlanjur dibawa. Tanpa mereka sadari, sejak tadi sudah ada sepasang telinga yang menempel dari balik dinding dan mendengarkan percakapan mereka berdua. Edith menarik kembali telinganya dan segera duduk di atas ranjang. “Mati karena racun ya, hm, aku tidak akan merasa kasihan padanya, lagi pula cara matiku lebih tragis. Jadi, aku tidak perlu merasa kasihan pada pemilik tubuh ini.” Edith mengangguk mantap, dia kemudian berbaring di atas ranjang empuk dan super besar itu. “Lalu, setelah itu apa?” Dia menggumam sendiri sambil menatap langit-langit kamar yang terlukis langit malam penuh taburan bintang. Sangat indah dan mempesona. Itu berbanding terbalik dengan miliknya yang sudah kecoklatan dan berjamur. Hanya tinggal menunggu waktu sampai atap-atap kamar lamanya untuk roboh. Edith mengucek matanya yang sudah sangat mengantuk, ia berganti posisi tidur dan mulai memejamkan mata. “Kapan lagi bisa mendapat kesempatan untuk hidup kedua kali? Nikmati sajalah, hidup menjadi seorang Duchess kukira tidak serumit itu. Hoam, selamat tidur diriku.”   ֍ “Geez, ini saaangat menyebalkan.” Itu adalah keluhan Edith yang ke-49 kalinya di pagi hari ini. Dia tengah bermimpi indah—berenang di kolam penuh dollar sebelum dibangunkan paksa oleh pelayan-pelayan rumah ini. Gorden kamarnya dibuka paksa sehingga sorot mentari langsung menusuk matanya yang sensitif. Tidak hanya itu, Edith diseret paksa lalu dimandikan dengan banyak sekali wewangian menyengat dan kini ia tengah dipakaikan pakaian super ketat serta mengembang di bagian bawah. “Argh! Sudah cukup!” Edith menghempaskan tangan pelayan yang tengah menarik korsetnya lebih ketat. Ia kemudian menatap pelayan itu dengan sengit. “Kau mau membunuhku dengan membuatku kesulitan bernapas ya? Hah?” Edith memang punya masalah dalam mengontrol emosi, dia anak paling tempramental di sekolahnya dan berkat itu pula dia menjadi salah satu orang yang paling ditakuti di daerahnya—meski ini bukan hal yang patut dibanggakan juga. Pelayan dengan banyak freckless—bintik kemerahan di wajahnya itu langsung menunduk cepat saat dimarahi, ia ketakutan. “Ti—tidak sama sekali, Duchess. Saya hanya melakukan sesuai permintaan Duchess setiap hari. Mohon maafkan saya Duchess, saya pantas dihukum mati.” Edith dibuat linglung, wajahnya terlihat kesal, tetapi ia tak bisa berkata apa-apa lagi karena saat ini dirinya hanya numpang di tubuh orang lain. Dia kemudian menghadap kaca besar di depannya, melihat pantulan tubuhnya yang terlihat seperti vas bunga di rumahnya. “Ehm, kalau begitu mulai hari ini tidak usah memakaikanku korset yang terlalu ketat, dan juga, berikan baju atau gaun yang sederhana dan mudah dibawa gerak saja. Apa kau mengerti?” “Baik, Duchess.” Edith menghela napasnya lelah saat ritual pelilitan kain ini dilanjut. Haaah, aku kangen style 2000-an, koleksi celana training yang sudah kukumpulkan sejak dulu sekarang sia-sia. “Sudah selesai,” Edith yang tengah merindukan jamannya itu kemudian melirik kaca lagi, pantulannya kini terlihat cantik dan mempesona. Edith menyunggingkan senyum sinis, yah, di tubuh lamanya juga ia bisa menaklukan buaya terliar sekaligus dalam hitungan detik meski tidak ada satu pun pria yang mau mendekatinya. Sudah, jangan bahas kenyataan pedih itu lagi di hadapannya. “Apa sekarang waktunya sarapan?” tanya Edith pada pelayan yang memiliki bintik-bintik itu, dia mengangguk tanpa menatap Edith. Hal itu membuatnya semakin merasa bersalah karena tadi sempat meneriakinya. Oh ayolah, Edith tidak bisa kasar dengan perempuan manis dan menggemaskan sepertinya. “Ehm … siapa namamu?” tanya Edith. Pelayan itu mendongak. “Nama saya Poppin, Duchess Isabella.” “Poppin, hmm, nama yang cantik. Maafkan aku karena sudah berteriak padamu tadi, ya, Poppin.” Gadis itu sedikit berkaca-kaca, entah terharu atau ketakutan. Dia menunduk dengan wajah yang memerah total. Edith memiringkan wajahnya, apa dia mengatakan sesuatu yang salah lagi, ya? “T-tidak apa-apa, Duchess Isabel. Kalau begitu saya akan mengantar anda ke ruang makan.” Poppin berjalan sambil menunduk, itu membuat Edith semakin kepo untuk melihat bagaimana wajahnya saat ini, tetapi Poppin justru berjalan lebih cepat di depannya. “Cih.” Edith memajukan bibirnya sebal, ia mengikuti Poppin dari belakang sambil menguap karena masih mengantuk. Di sepanjang lorong, ia menangkap beberapa tempat terbuka seperti taman di antara jalan yang menghubungkan dua gedung atau kolam kecil dengan ikan berwarna-warni di sana. Edith memang selalu dekat dengan alam, karena rumahnya dulu di pinggiran kota, ia lebih banyak bermain di hutan. Itulah yang membuatnya mendapat stamina dan keseimbangan setara atlet professional. “Tunggu, Poppin.” Edith berhenti, Poppin yang sudah beberapa langkah jauh di depannya juga berhenti dan menengok ke belakang. Ia melihat Edith yang tengah menatap ke salah satu ruangan di seberang mereka. “Itu ... pria m***m gila yang kemarin, ‘kan?” tanya Edith sambil menunjuk salah satu jendela di gedung tersebut. Pria m***m gila? Poppin tidak paham, tetapi ketika ia mengikuti telunjuk Edith, ia kemudian membelalakan matanya. Dia melihat Duke Aiden yang tengah b******u mesra dengan Luna di sana, memang tidak sampai telanjang, namun pria itu tengah fokus memberikan beberapa tanda di leher Luna dengan intens. Poppin langsung menengok khawatir ke arah Duchess, tetapi tidak disangka justru Duchess tertawa seperti orang gila. Apa Nyonya depresi sampai kehilangan kewarasannya? “Gila, pagi hari sudah main panas saja dia, hahaha.” Edith terbahak-bahak melihat pemandangan ajaib itu. Mata Aiden langsung melirik ke luar jendela dan melihat istrinya dengan salah seorang pelayan wanita tengah menatap ke arahnya. “Isabella?” Dia membelalak tak percaya, Luna ikut menengok dan reflek langsung menyembunyikan diri agar tidak terlihat. Aiden langsung memasang kemejanya kembali dan mengancingkannya cepat. “Oh, dia menghadap kemari.” Edith menyipitkan matanya dengan menaruh tangan kanannya di atas pelipis untuk menghalangi cahaya matahari. Kemudian Edith melambaikan tangannya riang. “Lain kali, jangan lupa tutup gordennya yaaa!” Setelah berkata demikian dan tertawa kembali beberapa saat, Edith kemudian melanjutkan perjalanannya ke ruang makan sambil mengabaikan kedua sejoli tersebut. Aiden bengong, melihat tingkah laku istrinya yang terlihat 180° derajat berbeda dan justru terlihat seperti orang lain. Dia kemudian membuat raut kesal. “Apa otaknya benar-benar terbentur gerbang akhirat dan bergeser jauh? Bagaimana ia bisa berteriak seperti itu tanpa merasa malu?” Luna tak mampu membalas apa-apa dan hanya menyelimuti tubuhnya yang setengah telanjang dengan pakaian Aiden. Ia juga tidak paham apa yang telah terjadi setelah kejadian waktu itu. Namun, Luna tak dapat mengatakan kejadiannya atau Aiden akan marah besar kepadanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN